"Rea itu cocoknya cuma buat dijadiin temen, gak cocok kalo dijadiin pacar, apalagi istri."
Realine Anjani, langkahnya urung untuk memasuki ruang VIP di sebuah kafe. Tempat di mana acara reuni persahabatan yang dijalin sejak SMA itu dilaksana.
Nyaris semua sobat Rea sejak lulus sekolah berpencar ke kota, termasuk Rea. Mata pencaharian di kampung kurang mumpuni, berbondong-bondong anak muda mengadu nasib di tanah metropolitan.
Dan di sini, Rea dengan gaya khasnya berdiri. Mendengar obrolan bernada tinggi dari orang-orang di dalam.
"Tapi Rea kayaknya suka sama lo, Nat."
Lama merantau di kota, gaya bahasa mengikuti arus yang ada. Rea mengenal suara sesosok barusan, juga dapat menebak siapa yang orang itu sebut 'Nat'.
"Emang."
Jonathan.
Itu suara yang sangat familier di telinganya.
Rea makin urung untuk mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Ada celah yang membuat obrolan di dalam sana kedengaran sampai ke tempat Rea berada.
"Lha, lo tahu?"
"Tahulah. Orang kelihatan banget, kok. Tapi gue pura-pura gak peka aja. Haha!"
Suara Nathan begitu jelas terdengar, termasuk tawanya.
"Parah, lo! Padahal kalo gak mau sama dia, lo jangan nerima tiap pemberian dan perhatian yang Rea kasihlah!"
"Eh, eh. Malah kayaknya gue pernah liat lo ngelus pala Rea, deh, Nat. Terkesan PHP-in anak orang lo entar. Bikin Rea baper aja sama kelakuan."
"Lho, kok, PHP? Gue ngasih apa yang dia kasih, keleus! Kalo dia ngasih perhatian, ya, gue perhatiin balik. Namanya juga temen, dan itu hubungan timbal balik yang sehat. Kalo baper, salah sendiri nafsirinnya beda."
Refleks, Rea mengusap cincin di jari manisnya kala mendengar penuturan tersebut dari seorang Jonathan.
"Nat ... Nat. Lagian kenapa lo bilang Rea gak cocok dijadiin pacar, apalagi istri. Kenapa?"
"Iya, ya? Pinter nyari duit lagi, pendidikannya bagus, body juga oke ... kurang apa dia, njir?"
"Kurang penurut. Penganut paham independent woman yang seolah-olah dia gak butuh cowok mentang-mentang pinter cari duit. Terus, kurang muda kalo buat gue. Selera humornya juga kurang, Rea seriusan banget orangnya. Oh, ya. Kurang modis! Bayangin aja lo jalan sama dia dengan penampilan jadulnya itu, apa gak malu? Tapi, ya, it's okay kalo cuma temen."
"Haha! Parah lo, Nathan. Tapi iya, sih. Apalagi kalo Rea pake rok bunga-bunga yang nabrak sama motif kemejanya juga. Beuh!"
"Norak, kan?" seloroh Jonathan.
Di tempatnya, Rea menunduk. Menatap rok bunga yang dikenakan, lalu melihat kemejanya. Ini vintage, modelan style retro, hanya mungkin tidak familier di mata orang-orang, termasuk di mata tunangannya sendiri—Jonathan Fernandez—yang selama ini terjalin hubungan backstreet.
"Satu lagi!"
Nathan meninggikan suaranya.
Rea meremas tali tas selempang, masih berdiri di dekat pintu.
"Kacamata culunnya itu, lho! Ganggu."
"Pantes lo malah jadinya sama Anggi, padahal deketnya sering keliatan sama Rea."
"Haha! Gila aja kalo gue sama Rea. Dia cukup jadi best friend, udah, tok. Gak lebih."
Fix, Rea tidak jadi masuk. Dia memutar arah setelah menaikkan kacamata yang serasa melorot di hidung.
Ternyata seperti itu Nathan memandangnya, lalu kenapa menerima perjodohan? Kenapa bersedia untuk menjalin hubungan, bahkan sudah saling tukar cincin dengannya?
Namun, sepertinya inilah alasan di balik ajakan pacaran diam-diam, tunangan privat, lebih masuk akal dibanding alasan yang Nathan berikan waktu itu.
***
"Aku mau hubungan kita jadi kejutan buat temen-temen, khususnya yang kenal deket sama kita, Re."
Rea dengan tanpa mencurigai apa pun menyetujui. Saat itu.
"Gak pa-pa, kan, backstreet? Hubungan diem-diem dulu aja gitu. Entar orang-orang tahunya pas kita sebar undangan. Pasti seru. Apalagi kita, kan, temen kecil. Sahabatan. Rame nih nanti, Re. Mau, kan?"
Backstreet.
"Mm ... oke."
Dan pipi Rea dikecup, hal yang membuatnya salah tingkah sendiri oleh kelakuan Jonathan. Lelaki yang merupakan putra dari sobat baik ibunya itu lantas melingkarkan lengan di perut Rea. Sontak Rea bersemu. Selama ini dia sudah lama menyukai teman kecilnya.
Sampai di suatu waktu ....
"Eh, Nat. Sama siapa, lo?"
Rea yang berjalan di sisi Jonathan—pria super modis dengan gaya kekinian khas Jaksel yang agak bertolak belakang dari Rea ini menjawab, "Eh, Sin! Ketemu di sini kita. Oh, ya, ini Rea. Temen gue."
Teman.
Selalu dikenalkan sebagai teman.
Rea senyum. Paham karena ini hubungan diam-diam.
Yang disebut Sin—atau namanya mungkin Sinta—itu bilang, "Oh, ya. Ada salam dari Anggi!"
Nathan tertawa.
Begitu Sinta melenggang, Rea bertanya, "Anggi siapa?"
"Temen kantor aku, tuh. Biasalah. Suka disalam-salamin gak jelas. Nggak tahu aja aku udah punya kamu, Re. Nanti kaget, tuh, pasti pas dapet undangan kita."
Anggi.
Sekarang namanya didengar jelas oleh Rea berikut dengan keterkaitannya bersama Nathan. Mungkin sejak pertemuan dengan sosok 'Sin' di mal, seorang Anggi dan Jonathan ini sudah saling berhubungan.
Perempuan yang tampaknya orang-orang kenali sebagai gadis pilihan Nathan, bahkan mungkin ... pacar Jonathan?
Wah.
Sialan.
Lalu Rea apa? Perjodohan ini apa? Pertunangan dengannya juga apa?
Di tempatnya, Rea menarik napas panjang.
See!
Ponselnya bahkan berdering atas nama Jonathan sekarang.
Sebelumnya lelaki itu meminta datang terpisah, sementara Rea sengaja bilang tak akan ikut acara reuni. Namun, itu alibi. Aslinya, Rea hanya ingin memberi kejutan untuk Jonathan saat ternyata dirinya muncul.
Setahu Rea, Nathan menginginkannya hadir walau tidak datang bersama, tetapi itu salah ternyata.
Nathan tidak benar-benar menginginkan Rea hadir.
Nathan malah terkesan lebih senang tak ada Rea.
Nathan cuma formalitas waktu bertingkah seolah mengharapkan Rea ikut serta.
Jonathan ....
"Kamu beneran nggak datang, Re?" Tunangannya bicara di telepon.
Formalitas juga?
Rea menahan sesak yang menyerbu.
'Cincinnya aku pake di kalung aja, ya, sampe nanti undangan pernikahan kita disebar? Gak pa-pa, kan, Re? Soalnya biar nggak ada yang mengendus hubungan kita. Kan, biar dapet 'ngagetinnya'. Pasti nanti heboh, nih, mereka tahu-tahu kita mau nikah.'
"Iya, Nat." Rea duduk di jok motornya. "Have fun, ya."
***
Pulang. Dari kafe, Rea langsung tancap gas ke kampungnya. Perjalanan empat jam itu Rea tempuh sambil menangis setelah berpuas diri memandangi penampilan di cermin toilet pom bensin.
Dibilang tipe wanita mandiri yang seolah tidak butuh laki-laki juga kodrat seorang 'perempuan' tak lantas kabur menyeluruh. Ada sisi manja, lembek, rapuh, dan tak pantang menangis kala hatinya dilukai. Apalagi ini soal cinta.
Bukan cuma cinta malah, tetapi rasa dari ikatan hubungan pertemanan yang sudah terjalin sejak dini membuat Rea semakin merasa ditikam dalam-dalam.
Jonathan berengsekk!
Cowok tengik!
Awas saja.
Rea perdalam tarikan gasnya membuat laju motor semakin kencang.
Tak terasa, akhirnya Rea sampai di rumah khas pedesaan. Tidak mewah dan bukan gedongan. Ini rumah sederhana yang bahkan baru berdiri dengan batu bata, dindingnya belum sempurna dibuat, tetapi sudah ditempati karena mendesak.
Hasil jerih payah Rea kerja di kota adalah tanah dan rumah ini.
"Eh, eh ... calon man—Rea!"
Hampir saja.
Mama Jonathan nyaris kelepasan sebut calon mantu kala Rea turun dari motor.
"Libur, Neng?"
Rea mencium tangan ibunya, lalu mama Jonathan. Disenyuminya dengan ramah.
"Iya, Ma. Libur sehari."
"Aih, kamu! Libur sehari aja, kok, pulang?" Ibu Rea ngomel-ngomel.
Bertolak belakang dengan mama Nathan yang justru menyambutnya sukacita. Fyi, mereka bertetangga. Sebutan Rea ke mama Jonathan juga 'mama', sedangkan kepada ibu kandungnya sendiri adalah 'ibu'.
Ah ... bagaimana menyampaikannya, ya? Hari ini sebetulnya Rea pulang kampung mau mengabarkan berita buruk. Dan apa yang akan Rea sampaikan itu bisa jadi membuat renggang perkawanan, baik milik ibu dan mama Nathan maupun Rea dengan Jonathannya langsung.
Lama Rea berpikir hingga tak terasa suara jangkrik sudah saling bersahutan di Desa Banyuliang. Tempatnya lumayan jauh dari perusahaan di mana Rea bekerja.
"Bu, kayaknya ... Rea nggak bisa lanjut sama Nathan."
Tuh, kan.
Lihat!
Tolehan beserta lirikan mata ibu menyeramkan.
Rea menggigit bibir bagian dalam. "Kami nggak cocok ternyata, Bu."
Masih berusaha menutupi alasan sebenarnya. Rea menghargai hubungan baik ibu dan mama Nathan. Biarkan hanya pertemanan Rea dan putra tetangga yang memburuk.
"Kamu—!"
Kabur ke kamar. Ibu mengambil sapu lidi soalnya. Kan, Rea waswas.
"Rea!"
Aduh.
Suara ibu selalu menggelegar. Bisa-bisa membangunkan harimau di puncak gunung Himalaya.
"Pokoknya keputusan Rea udah bulat buat nggak lanjut, Bu!"
Titik!
***
Tujuh panggilan tidak terjawab dari Jonathan.
Senin, Rea masih di kampung. Bolos kerja. Dia duduk di tepi ranjang reyot yang jika ada guncangan maka menghasilkan bunyi decitan khas.
Kadang Rea berpikir, kenapa ibu begitu egois berpisah dari ayah. Padahal kalau mereka tidak memutuskan untuk bercerai, mungkin sejak lama Rea tinggalnya di luar negeri, mungkin juga tidak jadi semiskin ini karena ayah keturunan aristokrat.
Dan ayah yang seperti itu sangat tega tidak memberikan sepeser pun gono-gini atau sekadar nafkah anak untuk Rea. Ibu juga tampaknya tidak menuntut. Rea tidak mengerti dengan mereka, apalagi saat itu masih terlalu dini.
"Rea!"
Pintu kamar digedor-gedor, suara ibu juga melengking memanggilnya.
"Re! Ada Jojo, nih!"
Si putra tetangga, sosok yang tiga bulan lalu menyematkan cincin di jari manis Rea dan disaksikan langsung oleh kedua orang tua Jonathan, lalu ibu dan adik Rea.
Saat orang tua Rea bercerai tak akur, maka orang tua Nathan sebaliknya. Mereka sampai detik ini masih berhubungan baik, malah di tanah rantau itu Nathan tinggal dengan papanya.
Rea buka pintu. Terlihat raut merongos di wajah ibu, lalu sosok Jonathan di belakangnya. Lagi-lagi sangat modis, style Jonathan memang jomplang dengan Rea yang sekenanya.
Sekarang saja Rea mengenakan celana jogger batik merah dan kaus hitam kebesaran. Memang, sih, ini karena sedang di rumah.
Lepas itu, ibu berlalu.
Sisa Rea dan Nathan, diajaknya duduk di kursi ruang tengah. Oh, ya, Rea melupakan sesuatu.
"Bentar, Nat." Balik ke kamar dulu.
Obrolan ini sudah Rea ketahui ke mana arahnya. Pasti ibu yang membuat Jonathan pulkam, bilang-bilang soal omongan Rea semalam.
"Ini." Rea to the point di sebelum Jonathan menyampaikan tanya atau apa pun dari tujuannya pulang, sambil Rea serahkan cincinnya. "Aku udah bilang sama ibu. Aku nggak bisa lanjutin hubungan kita."
Tatapan Jonathan tertuju di benda berkilau yang selama ini melingkari jari manis Rea.
"Jadi, bener ... kamu ngebatalin pertunangan?"
Rea mengangguk. "Juga perjodohan."
Nathan mengernyit. "Kenapa?"
"Kamu yang paling tahu," gumam Rea.
"Nggak. Aku gak tahu. Aku aja kaget denger omongan ibu di telepon semalem, padahal kita lagi baik-baik aja. Sangat baik-baik aja malah."
Rea menghela napas. Melirik sekitar, memastikan tak ada ibu yang seliweran. Detik di sebelum dirinya gumamkan, "Rea itu cocoknya cuma buat dijadiin temen. Gak cocok kalo buat dipacarin, apalagi buat dijadiin istri."
Rea ucapkan sebisa-bisa sama persis dengan yang pernah dia dengar, dengan intonasi rendah.
"Aku denger sendiri kemarin, Nat."
Dan disimaknya perubahan ekspresi Jonathan, lelaki itu menggigit pipi bagian dalam, lalu memalingkan wajah sesaat.
"Jadi, kamu bohong?" tukas si teman masa kecil Rea. "Bilangnya nggak bakal datang."
Kenapa jadi itu yang dipermasalahkan?
"Kamu gak suka sama penampilanku, Nat, makanya selama ini kita backstreet. Kamu malu kalau jalan sama aku sebagai pasangan, makanya kamu selalu ngenalin aku ke orang-orang sebagai temen." Rea kembalikan topik bahasan. Tak langsung mengindahkan apa yang baru saja Jonathan ucapkan tentang kebohongan.
Terlihat raut panik dari wajah lelaki itu.
Kenapa?
Takut kedengaran oleh ibu Rea, ya?
Makanya sekarang tangan Rea diambil. Mau dibawa ke mana? Rea tentu menepis, kembali duduk di kursi tadi.
"Asal kamu tahu, Nat. Aku sengaja bilang gak mau dateng karena mau kasih kejutan buat tunanganku, kedengerannya cowokku pengin banget aku dateng. Siapa yang tahu kalo itu formalitas? Dan siapa yang tahu kalo ternyata malah aku yang dapet kejutan? Apalagi soal Anggi."
"Re ...."
Tak bisa berkata-kata, hm? Sampai menggantung begitu. Yeah, karena yang Rea paparkan ini terlalu nyata, jadi tak bisa ditangkis, ya?
"Betewe, makasih atas kritiknya." Soal penampilan.
Nathan meraup kasar wajah tampan itu. Menatap Rea dan bilang, "Re. Kamu salah paham dan ... please. Jangan baperan gini, ok?"
"Salah paham? Baperan?" Hati Rea tercubit dibilang begitu oleh orang yang dia cintai. Untuk mengutarakan pembatalan pertunangan ini pun Rea butuh waktu, butuh ruang untuk nangis-nangis sendiri dulu di perjalanan pulang selama empat jam.
Rea terkekeh miris untuk hatinya. "Ternyata yang gak cocok buat dijadiin pacar apalagi suami itu kamu, Nat. Bahkan aku sangsi kalo kamu masih cocok untuk dijadiin temen."
***