"Jonathan mau nikah, Re. Ah, kamu, sih! Nggak pernah merhatiin penampilan. Tuh, liat, calonnya Jojo di sebelah. Cantiiik banget."
Sebenarnya Rea anak ibu atau bukan, sih?
"Rea juga cantik, kok, Bu. Cantikan Rea malah. Si Anggi mah lewat!" sahutnya sesantai mungkin.
"Oh, jadi namanya Anggi?"
Ibu habis mengintip dari jendela. Ada mobil Jonathan di bulan puasa ini. Sehabis putus hubungan dengan Rea, kan, si Jojo-Jojo itu jarang pulang kampung. Nah, ini sekalinya muncul rupanya membawa gandengan. Terus ibu mendengar desas-desus pernikahan Jonathan.
Well, Rea sedang mencari pekerjaan baru karena bekerja di tempat yang masih sewilayah dengan Jonathan sangat mengganggu, sekali pun beda perusahaan. Terkhusus bagi perasaannya yang belum pulih benar.
Kabar pernikahan booming atas nama Jonathan Fernandez dan Anggi Jenita, Rea lelah terus-terusan hatinya perih ketika orang-orang membicarakan itu. Sirkel Rea, kan, sirkelnya Jonathan juga.
Sementara di satu sisi, tak ada yang tahu tentang hubungan Rea bersama Jonathan sebelumnya. Risiko dari hubungan diam-diam. Lalu sekarang ... sedihnya pun diam-diam, kesalnya diam-diam, marahnya juga diam-diam.
Adalah penyesalan terbesar dalam diri Rea; backstreet.
Dia merasakan sesak sendirian dan patah hati tanpa bisa diceritakan.
Teringat pada saat pemutusan pertunangan sekaligus perjodohan, Jonathan cuma bilang 'oke' setelah Rea bicara panjang-lebar. Habis itu Jonathan pamit ke ibu.
Yang membuat Rea geram, ibu menyalahkannya karena Rea tidak bisa menjaga penampilan, karena Rea tidak modis mengikuti perkembangan zaman.
Artinya, ibu mendengar obrolan Rea dan Jonathan. Namun, begitulah ibu ... Rea yang disalahkan.
Rea sampai kebal.
Meski diam-diam sering nangis.
"Untung kalian hubungannya diem-diem. Kalo sampe woro-woro dan orang sedesa tahu, duh ... betapa malunya Ibu, Re."
"Ngapain malu, Bu? Yang salah, kan, pihak sana. Nathan selingkuh, lho, Bu. Dan perlakuannya ke Rea nggak banget. Ibu, kan, denger sendiri pas itu."
"Itu karena kamu nggak menarik." Ringan bibir tipis ibu bergetar melisankan untai katanya. "Di mana-mana kita itu tengok diri sendiri dulu. Diri sendirinya kayak gimana sampe orang lain memperlakukan kita kayak gitu."
Geraham Rea saling menekan.
Terserah, deh.
"Eh, mau ke mana kamu? Rea!"
Sialnya, saat buka pintu rumah, ternyata sudah ada Jonathan di depan.
Teman masa kecil.
Mantan tunangan.
Dan ... yang masih ada sisa-sisa perasaan di hati Rea untuk orang itu.
Move on itu tidak gampang, kan? Apalagi baru kemarin rasanya, dan yang sedang belajar di-move on-kan malah sudah punya gandengan baru untuk dibawa ke pelaminan.
Kasusnya selingkuh pula, menjelek-jelekkan Rea. Dipikir beranjak dari rasa sakit itu bisa dalam sekali jari menjentik?
Tapi Rea tidak mau menunjukkan rasa sakitnya ini. Dia bersikap seolah apa yang Jonathan lakukan sama sekali tidak melukainya.
"Re ... apa kabar?" Jonathan menyapa dengan senyum.
Bahkan lelaki itu bersikap seolah tak pernah ada kaca yang digoreskan ke hati Rea.
"Alhamdulillah, sangat baik. Ada perlu apa, nih? Tahu-tahu bertamu."
"Oh, ini." Jonathan menyodorkan sebuah kertas gold berplastik.
Tatapan Rea sontak jatuh ke sana.
Sebuah undangan pernikahan.
"Nanti datang, ya, Re?"
Guguklah.
Rea pasang wajah terkejut. "Oh, wow! Akhirnya, ya, Jo? Sukses, nih, selingkuhnya. Semoga lekas dikasih momongan, ya!" plus karma.
"Kami nggak selingkuh, kok, Re. Waktu itu—"
"Haha. Oke, oke. Ya udah, ya? Aku buru-buru ada perlu. Atau mau ketemu ibu?" Sambil Rea bukakan daun pintu, dia juga melenggang masuk meletakkan kertas undangan pernikahan Jonathan di bufet. "Bu!"
Begitu ibu muncul, Rea langsung pamit.
Hari itu.
Hati Rea hancur sehancur-hancurnya. Patah sepatah-patahnya.
***
Dan Rea di dua puluh enam tahun sudah lewat seiring kelopak matanya terbuka.
Tidak ada lagi Rea versi 26 tahun yang mencintai Jonathan, yang berpenampilan jadul dan berkacamata, yang menangisi nasib cinta pertama secara diam-diam.
Di usia 33 tahunnya ini, Rea bangun di salah satu gedung apartemen studio dengan fasilitas layak huni.
Berapa lama Rea belum pulang kampung, ya? Dia sudah hampir empat tahun jadi Bang Toyib. Tempatnya kini di pusat kota metropolitan yang apa-apanya serba mahal.
Rea membawa langkahnya ke dekat jendela. Lebih banyak gedung pencakar langit di sini. Oh, ponsel Rea bergetar pendek-pendek.
Ada notifikasi pesan masuk, Rea cek.
Nyonya Santi: [Jangan betah-betah jadi perawan tua, Ibu udah pengin gendong cucu! Boleh, deh, sama siapa aja.]
Oh, ini sudah biasa. Saking biasanya, Rea sampai sudah merasa terbiasa.
Tak perlu Rea balas pesan ibu. Lebih baik dia cek pesan satunya dari nomor asing.
[Pagi. Ini Rea SMP 1 yang dari Banyuliang, bukan? Oh, ya, aku Yena. Dulu sekelas. Masih inget, nggak?]
***
Rea duduk sambil sesekali menyesap kafein di sebuah coffee shop. Dekat jendela adalah tempat pilihan Rea.
Ini hari Minggu, hari libur bagi para b***k korporat.
Rea dengan blouse crop top lengan pendek dipadu white palazzo panjang dengan belahan di sisi, lalu sepatu ankle strap pump yang membalut kakinya benar-benar menjadikan Rea seperti seorang paham mode.
Tak ada lagi Rea yang dulu dibilang tidak modis atau jadul.
"Sorry, Re. Nunggu lama, ya?"
Oh, ya. Yena, teman SMP Rea yang tiba-tiba menghubungi ini meminta bertemu.
"Gimana, kabar?"
Selepas saling jabat tangan.
Bertanya kabar adalah basa-basi paling klasik, tetapi itu yang paling sering digunakan oleh orang-orang.
Rea jawab, "Baik. Kamu? Kayaknya baik juga, nih."
Basa-basi itu terus berlanjut hingga ke pertanyaan sibuk apa sekarang, kerja di mana, dan ujungnya ... "Masih sendiri atau—sorry kalau sensitif—langsung aja, deh, ya. Udah merit apa belum, nih, Re? Terus, terus, udah ada calonnya belum?"
Ini sudah bukan basa-basi lagi.
Rea senyum.
Di umur 33 tahunnya ini, jelas pertanyaan seputar menikah atau pasangan di kala Rea belum punya adalah hal yang sangat mengganggu. Namun, tak lantas membuat Rea bad mood.
Rea jomlo itu pilihannya, kok. Belum menikah sampai detik ini juga pilihannya, bukan karena tidak laku atau apalah itu.
Dibawa santai saja.
"Kebetulan belum. Kenapa, nih, Yen? Awal ketemu setelah sekian lama yang dibahasnya itu. Jangan salahin kalo aku jadi curiga, lho." Sambil terkekeh.
***
Suara entakan pantofel diiringi bunyi heels menumbuk marmer di gedung tinggi kenamaan Luxe furniture menjadi dering sehari-hari kala bos besar datang.
Sekretaris wanita mengimbangi langkahnya dengan kepayahan mengingat tinggi sang bos mencapai angka 190 sentimeter. Langkahnya lebar, kakinya panjang.
Memasuki lift, auranya mulai terasa mencekam. Meski terbilang ramah, sosok Jayakarsa Atmaja—CEO Luxe Company naungan Atmaja Group ini seram juga di beberapa situasi. Salah satunya sekarang. Tahun ini sedang persiapan pergantian penerus, Jaya begitu serius.
"Oh, ya." Masih di lift. "Pesanan saya sudah sampai mana progresnya?"
"Ini, Pak. Sudah dapat. Mau dibahas di sini atau—"
"Oke. Di ruangan saya saja."
Pas sekali, pintu lift terbuka.
Yena, sekretaris bos besar Atmaja Group itu ikut serta memasuki ruangan.
Fyi, Luxe adalah merek dari produk perusahaan furniture yang Jaya pimpin.
Duduklah dia di kursi kebesaran. Yena menyodorkan sebuah map dengan sangat sopan. Jaya lekas meraihnya. Hal pertama yang dia lihat adalah foto.
"Saya minta jangan yang terlalu muda. Umur empat puluh sudah yang paling minimal."
"I-iya, Pak. Itu empat puluh."
Jaya cek data kelahiran. Pas, empat puluh tahun. "Tapi kenapa di foto kelihatan seperti masih tiga puluhan awal?"
"Baby face, Pak."
Yena adalah salah satu orang kepercayaan. Jaya tatap lagi foto seorang wanita bernama ... Realine Anjani.
"Cari yang lain. Targetnya janda." Saat Jaya membaca status 'belum menikah' di berkas, keputusan dibuat.
"Anu, Pak. Walau bukan janda, tapi Mbak Realine ini sudah tidak perawan."
Tatapan Jaya menyingsing tajam. "Kamu sembarangan nyariin calon istri buat saya?"
Sang sekretaris menggeleng cepat. "Mana berani saya, Pak. Ini kebetulan saya kenal sama orangnya. Beliau bukan wanita nakal, ta-tapi pernah sekali ketiban nahas yang bikin—maaf—tidak perawan lagi. Makanya itu sampai umur segini memutuskan untuk tidak menikah, sebelum saya datang tadi ... Mbaknya mau."
Menikah.
Jaya bersedekap. "Kamu jangan sampai mengecewakan saya."
"Tidak akan, Pak. Saya jamin, Mbak Realine ini sudah yang paling cocok, lolos semua tahap penyaringan, dan tentunya sesuai kriteria Bapak—cuma statusnya saja, tapi yang penting bukan perawan, kan, Pak?"
Jaya menelisik raut sekretarisnya. Sepersekian detik saja. Selanjutnya Jaya membaca berkas terkait Realine Anjani. Paling penting rekam medis, jangan sampai ada riwayat HIV karena tujuan utama Jaya dalam pernikahan ini adalah '... untuk menyalurkan hasrat biologis.'
Tertanda, Realine Anjani.
Wanita itu sudah menandatangani.
Jaya mengusap dagu.
Menutup berkas.
"Buatkan janji temu untuk kami. Oh, ya, kirim nomor teleponnya ke saya." Karena Jaya malas menyalin nomor ponsel dari berkas.
***