3 | Kesepakatan Sensual

1502 Kata
"Jayakarsa." "Realine." Yang saling berjabat tangan. Dapat Rea rasakan hangatnya kungkungan jemari pria lebat itu—cambangnya. Agak seram, well. Rea dipersilakan duduk kembali dengan bahasa tubuh. Tapi ngomong-ngomong ... pria bernama Jayakarsa itu memesona juga. Yang paling penting, dia wangi. Rea menilai-nilai di pertemuan pertama. Ini, lho, yang kawan SMP-nya bicarakan minggu lalu. "Re, sori, nih. Gak ada maksud menyinggung, cuma mau nawarin. Aku ada temen kerja yang dianya butuh istri." Rea agak kaget bila bahasannya seolah tentang perjodohan. Makanya Rea jawab, "Eh? Tapi kebetulan aku belum pengin punya suami." Di umurnya yang sudah 33 tahun itu, bahkan sampai kabur ke Jakarta sebab di kampung nyaris seluruh omongan keluarga mengganggunya. Rea si perawan tua, kata mereka. "Ah, sayang banget. Tapi aku izin promo soal dia dulu, ya? Siapa tahu habis denger ini kamu berubah pikiran." Yena bilang begitu. Masih banyak omongan Yena yang lain, sekarang mari fokus pada apa yang ada di depannya dulu saja. Seorang Jayakarsa. Gelagatnya seperti manusia dari kalangan borjuis, seolah memiliki kasta beda kelas dengan Rea. Dengar-dengar cowok mapan. Ya, kelihatan memang. Tapi ini lebih tinggi di atas ekspektasi Rea. Semua yang Jaya kenakan tampak mahal. Oh, atau Jaya keturunan aristokrat, ya? "Sudah memesan?" Tapi orangnya agak formal, ya? "Sudah, Mas." Boleh, kan, Rea langsung sebut 'Mas'? Atau 'Aa', ya, seperti sebutan Rea kepada golongan pria matang di kampungnya? Tapi, kan, ini di Jakarta. Mau sebut 'Aa', sosok Jayakarsa ini agak ketuaan. Ehm. Maaf, kematangan. Yena bilang sudah umur 40 tahun. Masih okelah, Rea 33 soalnya. Beda tujuh tahun saja, sih, no problem. Lelaki itu lantas memesan. Dari gerak tubuh juga kelihatan sangat berkarisma. Ini serius cuma karyawan biasa? Eh, kartap, sih. "Tapi gajinya gede, Re. Pokoknya nanti kamu makmur kalau nikah sama doi, sekali pun cuma nikah siri. Eits, tenang! Ada harapan naik pangkat jadi istri sah secara sipil, kok. Cuma doi penginnya siri dulu, kalau sama-sama cocok bisa lanjut." "Kenapa nggak nyoba pacaran dulu aja daripada langsung nikah kalo cuma buat nentuin kecocokan?" Rea agak kurang 'klik' di bagian nikah siri. "Dosalah. Doi penginnya bisa sambil indehoy." Yena mesem setelahnya. "Lha ... nikah siri dengan tujuan seks doang emangnya nggak dosa?" Yena meringis. "Wallahualam, Re. Intinya, ya, ini terserah kamu gimana. Tapi aku tahu banget sosok Pak—eh, Mas Jaya ini. Coba kamu baca dulu aja profil doi, ini aku sampe sengaja di-print karena biar bisa kamu bawa balik. Kalo kamu oke, tanda tangan aja di situ, ya? Terus hubungi aku. Oh, ya, maksimal tiga hari buat pikir-pikir, Re. Doi kebelet." You know-lah. "Kebelet ngewong?" decak Rea sompral. Yena cuma cengangas-cengenges. "Pokoknya itu kamu simak aja, kekurangan dan kelebihan Mas Jaya udah aku sertakan." Di sini, Rea sesap milkshake stroberinya yang baru saja datang kala pikiran jalan-jalan ke pertemuan awal dengan Yena. Tak lama setelah itu, pesanan Jayakarsa juga mendarat di meja. "Kamu asli sini?" Rea geleng-geleng. "Cuma numpang cari uang aja di sini." "Orang tua di?" "Papaku di luar negeri, terakhir kali kata ibu di Itali. Kalau ibu, di Banyuliang. Desa. Oh, ya, mereka pisah." "Sorry." Suara masnya benar-benar seksi. Rea senyumi. "Bukan perkara besar. Santai aja, Mas. Mm ... kalau Masnya, asli Jakarta?" Bingung, Sis, mau bahas apa kalau bukan mengembalikan pertanyaan. "Lahir di sini, orang tua blasteran." Rea ber-oh ria. Pantes, terlihat dari bagaimana bentukan masnya. Di Indo sudah banyak anak-cucu Adam hasil kawin silang dengan para bule-bule luar, kan? Apalagi Jakarta pusat kota, meski tidak secampur sari Bali, sih. Aduh. Terus bicara apa lagi, nih? Sudah lama Rea tidak bersosialisasi dengan makhluk batangan dan dengan tema kenalan menuju arah hubungan pasang-pasangan. Terakhir kali dan bisa dikatakan yang pertama juga itu ... dengan Jonathan. Pria yang membuat Rea menjauh dari keinginan untuk menikah, bahkan tak selera sekadar buat pacaran. Jonathan benar-benar menghancurkannya. Well, tatapan Mas Jaya ini dari tadi agak ... apa, ya? Bikin Rea ser-seran tak nyaman, berasa terlalu intens. Rea sontak memalingkan tatapan. Dia menikmati suasana kafe ini. "Soal saya." Kembali Rea berikan atensinya untuk mas-mas empat puluhan di depannya. "Kamu sudah tahu banyak dari Yena, kan?" Oh, itu. Rea mengangguk. "Tapi pasti itu nggak seberapa banyak dari yang belum kutahu sisanya." "Benar. Makanya silakan barangkali ada yang mau kamu tanyakan. Oh, ya, kamu juga sudah tahu arahnya ke mana pertemuan kita ini, kan? Tujuan saya disampaikan juga oleh Yena, kamu sudah dengar?" Rea mengulum bibir, lalu mengangguk-angguk. "Iya ... of course, sudah dengar." "Jadi?" "Mas ini katanya duda, ya?" Rea boleh tanya-tanya, kan, tadi? "Iya." "Cerai? Maaf kalau sensitif." "Santai saja. Dan, ya, saya duda cerai." Rea berdeham. Alasan cerainya sudah dia baca di lembaran kertas yang Yena beri, sih. Tak perlu lanjut bahas itulah, ya. Rea sedot dulu minumannya. "Kenapa mau nikah siri, Mas? Maksud saya, nggak nikah beneran aja? Siri ini banyak ruginya buat kami—perempuan." Walau Rea sudah tanda tangan 'mau' dinikah. Rea menelan samar salivanya, tatapan Mas Jaya membuat detak di jantung Rea agak kocar-kacir. Bukan karena cinta, lho, ya! Ini memang aura lelaki itu agak lain. "Kamu sudah baca alasan saya cerai dengan istri, kan?" Karena lebih mencintai pekerjaan daripada pasangan sehingga pihak istri merasa terabaikan. Ngeri, sih. Kenapa Rea menandatangani kertas itu, ya? "Sudah." "Saya tidak mau mengulang perceraian yang sama, repot mengurusnya. Kamu jangan khawatir rugi karena saya pribadi tidak ada niat bercerai. Soal perceraian ada di tangan kamu, saya hanya tinggal kabulkan. Nanti kalau kamu yakin dan bersedia selamanya jadi istri saya, bisa kita daftarkan ke KUA. Karena yang akan merasakan berat atau tidaknya hubungan pernikahan ini ... itu di pihakmu sebagai istri. Saya hanya butuh seks." Uhuk! Rea sampai terbatuk. Di mana Jayakarsa lantas menyodorkan air mineralnya, dia memesan kopi dengan air putihnya juga tadi, sementara Rea hanya pesan milkshake stroberi. Rea berterima kasih. Wajahnya sampai memerah. Ehm. "Kamu bisa membatalkan kesediaanmu sekarang kalau keberatan dengan gagasan saya tadi." *** Nama: Jayakarsa Atmaja. Usia: 40 tahun. Status: Duda cerai, anak satu. Pekerjaan: Karyawan tetap di perusahaan Sastra Edu. Rea langsung searching perusahaan tersebut. Rupanya sebuah perusahaan di bidang pendidikan, yang didirikan oleh seorang Wiliam Budiman bersama Gentareksa Utama. Rea sempat mencari nama Jayakarsa Atmaja, tetapi tidak muncul data lengkap ala wikipediaa. Ada media sosialnya saja, itu pun dikunci. Kalau Rea follow, nanti ketahuan sedang stalking, dong? Di dalam berkas juga tertera keterangan terkait kekurangan dan kelebihan. Di mana kekurangannya adalah: Workaholic, waktu lebih banyak dihabiskan dengan pekerjaan. Salah satu alasan cerai, istri sebelumnya merasa terabaikan dan tidak dicintai. Aromantis, anti romantis. Istri sebelumnya pasti merasa sangat kehausan kasih sayang dari suami, nih. Agak ngeri juga, sih, kalau sampai naksir cowok tipe Mas Jaya ini. Berasa cinta sendirian entar. Ah, tetapi Rea tidak butuh cinta-cintaan juga. Secara, dirinya ini sudah dibuat kecewa dengan cinta. Kalau menikah, Rea cuma butuh status dan sosok yang bisa dia gandeng ke rumah. Menyumpal mulut-mulut jahat yang suka mengatainya perawan tua, juga menunjukkan kepada Jonathan bila Rea punya kehidupan yang baik juga. But, nikah siri itu agak ... memalukan, kan? Pandangan terhadap nikah siri ini negatif, bukannya menyumpal mulut jahat, nanti malah menambah bahan omongan orang-orang. Rea pikir-pikir dulu. Di sisi lain, manfaat dari kesepakatan nikah siri dengan Mas Jaya ini lumayan juga buat Rea. Kendali ada padanya terkait cerai dan lanjut ke tahap pernikahan sipil, hanya memang perlu test drive selama enam bulan dulu kata masnya. Enam bulan .... Rea pertimbangkan. Haruskah dia benar-benar menerima tawaran ini? Mumpung masih bisa dibatalkan walau Rea sudah tanda tangan. Tuhan .... "Kamu gagal move on dari Jonathan apa gimana, sih, Re? Kalo ternyata bakal begini, harusnya dulu kamu jangan impulsif minta udahan! Kan, bisa kamu ubah penampilan." "Kamu itu cantik, kok, Re. Dandan aja sedikit, pakai pakaian yang bagus, Jonathan pasti seneng dengan perubahan kamu. Bukannya malah minta putus!" "Re, Ibu malu. Maluuu! Tiap-tiap ke luar, ada aja yang notice kamu. 'Itu si Rea kapan nikah, Bu? Mau sampe kapan sendiri terus? Nggak takut jadi perawan tua, Bu? Perempuan itu ada batas suburnya, lho. Takut keburu menopause. Mau saya kenalin ke cowok, nggak, Bu?' Malu, Re, Ibu malu!" "Bahkan saat kamu kabur ninggalin kampung ini pun Ibu masih malu, Re. Pokoknya sebelum kamu nikah, Ibu masih malu!" Apa belum menikah di usia kepala tiga itu merupakan sebuah aib? Rea sering mempertengkarkan ini kepada ibunya. Dan jawaban ibu adalah, "Iya, aib! Kalo bukan, Ibu harusnya nggak malu!" Ah, sialan. "Re, kapan nikah? Jonathan anaknya udah mau tiga, Rea." Benar-benar sialan. Kebayang betapa Rea ingin me-mute omongan-omongan itu, kan? Jadi .... Di apartemen studio yang sudah bertahun-tahun Rea tempati, dia mondar-mandir sambil pegang ponsel, yang mana kontak Jayakarsa mulai Rea dial up. Oh, jantungnya berdebar-debar tak tentu irama. Rea duduk, lalu berdiri. Rea gigit jari, lalu meremas ujung baju. Hingga akhirnya terdengar nada sambung berakhir karena seseorang mengangkat panggilan nirkabelnya. "Ya, halo." Suara berat nan seksi menyambangi gendang telinga Rea. Dia balas dengan dehaman pelan. "Mas Jaya, bukan?" "Hm. Saya sendiri." Tampaknya baru bangun tidur. Subuh-subuh, sih, Rea telepon. Ganggu, ya? "Aku bersedia." Rea cuma mau bilang ini, kok. "Jadi ... kapan kita nikahnya?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN