4 | Untung Rugi

1081 Kata
Sekali lagi Rea pindai apartemennya dengan jeli, jangan sampai kedapatan debu atau ada sampah yang tertinggal. Benar, hari ini Rea mau kedatangan tamu agung. Siapa lagi kalau bukan calon suami? Sudah boleh disebut begitu belum, ya? Jayakarsa bilang akan datang pukul empat sore tepat, Rea sampai mengajukan jam pulang lebih awal ke atasan dengan beralasan tidak enak badan. Syukurlah langsung acc. Rea perlu membersihkan rumahnya dulu. Lagi pula masnya memberi tahu pertemuan kedua dengan sangat mendadak. Tadi subuh di telepon cuma bilang, "Oke. Kita ketemu dulu saja untuk bahas kelanjutannya. Nanti saya kabari pukul berapa kita meet hari ini." Nah, mengabarinya jam dua belas siang. Bahwa pukul empat sore mau datang, lalu minta alamat tempat tinggal Rea yang sekarang. Sudah Rea kirimkan. Sempat nego habis isya, sih. But, Mas Jaya tidak bisa. Ya sudah, biar Rea yang menyesuaikan. Agak heran, kenapa sekarang jadi berasa Rea yang sangat membutuhkan pernikahan itu, ya? Oh, bel bunyi! Rea tersapu ke kenyataan. Gegas dia mengintip dari interkom, lalu membuka pintu saat didapatinya sosok pria brewokan. Cuma Jayakarsa saja kenalan Rea yang sebrewok itu, by the way. Kini bersitatap. Wangiii banget, serius! "Di sini kamu tinggal?" Kok, nadanya macam sangsi dengan bangunan seperti apa yang Rea tempati? Tidak mewah memang, tetapi layak. "Iya, Mas. Silakan masuk." Apa si mas-mas ini turunan sultan, ya? Jadi, walaupun sekadar pegawai kantoran—kartap—juga rumah orang tuanya gedongan kali. Tapi ngomong-ngomong, apartemen studio Rea, kok, berasa jadi mungil di saat Mas Jaya masuk, ya? Sofanya juga. Atau cuma perasaan Rea saja? "Aku bikinin kopi, ya, Mas?" "Teh saja." "Oh, oke." Suka nawar ternyata. Rea melenggang ke dapur. Lokasinya juga tidak jauh dari ruang tamu, malah bisa kelihatan jelas dari sana. Di sini juga kalau Rea menoleh, sosok Jaya-Jaya itu bisa terlihat. Memang bukan apartemen yang waow gitu, lho. Rea letakkan dua cangkir teh manis di meja dan stoples camilan dari indomerit, tak lupa dia sajikan bolu juga. Sengaja beli sepulang ngantor tadi buat sesuguhan. Oke, sip. Tinggal duduk manis dan ngobrol. Eh, kok, Rea deg-degan? Jayakarsa ini punya kemampuan menelanjangi tanpa menyentuh, Rea rasa. Hanya dengan tatapan. Terlalu intens, ih! "Sudah fix mau, ya? Tidak bisa dibatalkan," katanya. "Soal nikah?" Rea perjelas. Mas Jaya mengangguk. "Tapi kita perlu membicarakan syarat dan ketentuannya dulu, ini sejenis poin-poin aturan selama kita menjalani hubungan itu. Tentu, kamu berhak menggoreskan poinmu. Sesudahnya, nanti saya resmikan dengan kuasa hukum supaya legal." Wah ... pernikahan siri ala-ala ini rupanya sangat profesional. "Oke." Rea tidak keberatan bila dirinya boleh membubuhkan poin aturan juga. Kan, adil. Jayakarsa lalu meloloskan sebuah map dari dalam tas jinjingnya. Rea baru sadar bila lelaki matang itu bawa-bawa tas sejak tadi. "Silakan kamu simak, punya saya sudah ditulis semua di situ. Tanyakan kalau kamu butuh penjelasan." Vokal bariton dengan nada rendah itu hebatnya bisa membuat getar rahim Rea juga. Ehm! Biar begini, Rea masih punya nafsu, tahu! Walau sempat berteguh hati mau hidup selibat gara-gara si Kutu Kupret Jonathan. Bentar, baca dulu poin satu. "Maksudnya, Mas mau nikahan kita rahasia?" Lagi-lagi sejenis hubungan backstreet. Kenapa, sih, orang-orang suka sekali main rahasia-rahasiaan? Rea agak alergi. "Ya, untuk pernikahan sirinya. Tapi nanti bisa go publik pada saat kita nikah secara resmi dan dirayakan dengan resepsi." "Iya kalo tembus sampe nikah resmi, kalo nggak? Aku ruginya banyak banget," protes Rea. Pernah rugi dengan menjalin hubungan rahasia. "Rahasianya hanya di lingkungan saya saja. Kalau di tempatmu, ya, kita seperti suami-istri pada umumnya. Ini hanya supaya anak saya tidak tahu hubungan kita." "Kenapa? Kenapa harus rahasia dari anak sendiri?" Artinya, Rea tidak akan dikenalkan dulu kepada si anak atau keluarga Jaya yang lain, gitu? "Saya tidak mau dia tahu ayahnya menikah secara siri, tapi saya harus mengawali dengan itu. Semoga bisa kamu maklumi." Masalahnya, Rea tidak mengerti. Lantas, bagaimana dia bisa maklum? Poin dua, Rea baca lagi. Tidak perlu melayani selain tentang hubungan badan, tetapi boleh kalau Pihak Kedua berkenan. Pihak kedua adalah Rea. Ini maksudnya utamakan seks gitu, ya? Parah, sih. Jayakarsa menyeruput teh manisnya. Rea berdeham. "Kalau aku hamil?" Ngerti, kan? "Pas kita masih nikah siri dan rahasia, gimana kalau aku hamil, Mas?" Rea ulangi. Dia harus detail dengan isi rancangan kontrak ini, betul? Masalahnya untung-rugi. Rea harus meminimalisir kerugian semaksimal mungkin. "Kamu KB." "Nggak mau," tukas Rea. Enak saja! Kenapa jadi Rea yang harus repot begitu, padahal yang pengin hohe-hohe adalah pria di depannya. Hohe-hohe ini tahu, kan? Sebuah aktivitas ranjang yang selain bisa menghasilkan keringat dan kenikmatan juga bisa menghasilkan bayi berikut petaka bila tidak dijalankan berdasarkan keamanan paripurna. Dan KB bukan keuntungan bagi Rea. "Kamu mau hamil?" balas Mas Jaya. Hei! Dengarkan baik-baik. "Mas nggak tahu, ya, kalau perempuan yang belum punya anak, terus pasang KB. Itu efeknya bisa jadi susah punya keturunan nanti. Takutnya aku begitu. Aku masih pengin hamil nanti, tapi nggak di pernikahan siri dan backstreet kayak gini." Sebaik mungkin Rea jelaskan. "Kenapa nggak Mas yang KB? Atau pakai ... apa, tuh? Yang suka ada di minimarket," imbuh Rea, tak sampai hati mau menyebut kon to the dom. Namun, tampaknya Jayakarsa paham. Lelaki itu lantas menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, tatapannya lekat kepada Rea. Sekarang jantung Rea berulah lagi. Duh ... selow dikit nggak bisa, ya, Tung, ya? Jantung. "Nanti saya keluar di luar saja kalau begitu." "Tuh, kan, Masnya aja nggak mau KB. Gak mau pakai kon—maaf—dom." "Bukan nggak mau, tapi dibungkus kurang enak," desahnya. Bukan mendesah yang gimana-gimana gitu, lho! Jangan berpikir jorok, okay? Tapi soal dibungkus, maksudnya pakai pengaman yang dari minimarket itu? "Berarti solusi poin dua belum dapet, ya? Soal gimana kalau aku hamil saat kita masih nikah siri dan backstreet. Aku nggak mau aborsi, gak mau KB, dan gak mau anakku lahir dengan situasi orang tuanya begitu." Walau bisa dikata Rea sudah tidak waras menandatangani kehendak nikah siri ini, tetapi dia masih waras untuk hal lain. "Saya nggak akan bikin kamu hamil." "Who knows?" "Nanti kita resmikan kalau itu terjadi." "Mana sini pulpennya. Ada, nggak? Biar aku tulis omongan tadi di kelanjutan poin nomor dua. Oh, ya, ulangi juga ngomongnya, aku rekam. Gak pa-pa, kan? Ini hubungan nggak aman soalnya, meski aku bersedia. Aku harap Mas Jaya bisa memaklumi." Seserius itu ucapan Rea, kok, malah ditertawakan? Apakah ada yang lucu? Ini masnya tertawa, lho. Rea tidak sedang bergurau. "Wah ...." Kenapa, tuh? Wah kenapa? Rea menatap mata itu, yang kini bertumbuk dengan sorotannya. "Kamu masih perawan?" Jayakarsa bertanya dengan tatapan tajam di manik Realine. Tapi kenapa tiba-tiba bahasannya jadi banting setir begitu jauh? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN