5 | Calon Mantu Ibu

1941 Kata
"Re, tapi nanti kalo iya kamu mau sama Mas Jaya, tolong banget jangan bilang masih perawan, ya?" Rea nyaris terbatuk mendengar selorohan Yena di pertemuan kedua tempo lalu, saat Rea menyerahkan berkas yang telah dia tanda tangani. "Kenapa gitu?" tanya Rea, meletakkan gelas minumannya di meja. Rea rasa banyak sekali hal yang mengarahkannya agar menolak tawaran pernikahan siri ini, seolah itulah petunjuk dari Tuhan yang Rea minta. Logika Rea diarahkan ke sana, terlalu banyak hal janggal. Namun, hati Rea sebaliknya. Menolak keras logika, justru hati malah semakin mengajaknya untuk mencoba hubungan tidak masuk akal ini. Rea jadi bingung mau ikuti kata hati atau logika berpikirnya yang waras itu. Yena bilang, "Doi sebenernya nargetin janda. Ya, namanya juga udah umur kepala empat, kan? Masa sama perawan? Di pikiran dia, perawan itu masih muda. Takut dikira p*******a kali, ya? Dan lagi ... mungkin kalau udah nggak perawan, prosesnya nggak ribet. Karena mungkin sama-sama butuh seks kalo udah ngerasain 'nganu,' Re. Yang penting enak, lain-lain belakangan sambil jalan." Astagfirullah. Ini serius nikah tujuannya cuma buat menghangatkan ranjang? Rea menggenggam gelas minumannya. Kembali dihinggapi keraguan. Logikanya ini seolah menyuruh Rea mending jadi perawan tua daripada nikah, tetapi begitu alurnya. Hanya saja, di samping itu banyak juga poin yang menguntungkan bagi Rea. Lagi pula hohe-hohe sama enaknya, kan? Si mas-mas merasa enak, Rea juga enak. "Itu dia maniak apa gimana, sih?" Mari kita perbanyak dulu infonya. Kalau maniak, agak ngeri juga. Percayalah, Yena sebetulnya tidak tahu, tetapi dia geleng-geleng. "Cuma udah ngeduda lama banget, terus sekarang lagi puber kedua. Kamu pahamlah, banyak orang selingkuh dalam pernikahannya karena puber kedua ini, kan? Karena pubernya ke orang lain." Rea menyimak. Yena meneruskan. "Nah, ini duda ... gak bisa puber ke istri karena gak punya, terus pubernya gak bisa sembarang nyemai benih. Dia super higienis, lho, Re. Dan maunya jalur halal, tapi yang nggak ribet." "Nikah siri yang dia maksud ini ribet banget, lho, Yen." "Di mata Mas Jaya nggak, Re. Lebih ribet kalo nikah sipil, soalnya doi pengalaman ... ya, gitu, deh. Kamu udah tahu alasan dia gak mau nikah sipil dulu, kan?" timpal Yena. "Iya, sih ...." "Re, kamu jangan khawatir. Aku bisa jamin Mas Jaya ini bukan orang yang punya tujuan main-main doang. Cuma agak ekstrem karena ... kamu udah baca soal aromantis itu, kan?" Yena sampai meraih tangan Rea dan menggenggamnya demi meyakinkan. Rea mengangguk pelan. "Iya ... udah." "Dia, tuh, pengin berumah tangga. Cuma nggak bisa ngerasain hal-hal romantis dan otomatis kesusahan ngasih itu ke pasangannya. Yang penting kamu kalo sama dia—" "Jangan jatuh cinta?" pangkas Rea. Secara kebetulan, Rea juga kapok main cinta-cintaan. "Iya ... bisa. Atau kalo kamu penasaran, kamu coba bantu dia biar ngerasain perasaan romantis itu ke kamu." Meski Yena sendiri tidak tahu apakah orientasi seksusal aromantis ini bisa ditanggulangi atau jenis orientasi permanen. "Percaya sama aku, Re. Aku kenal baik cowok ini, kok. Dan aku nggak mungkin ngejerumusin temen, kan? Mas Jaya kalau soal komitmen, beuh! Lagi pula dia bukan sembarang cowok," kata Yena lagi. Rea geming dihinggapi bimbang kembali soalnya, padahal sudah tanda tangan. Di satu sisi, dia juga butuh status dan lelaki buat digeret ke hadapan ibu plus orang-orang di kampung. Belum lagi dari foto, sosok Mas Jaya ini ketampanannya jauh lebih tinggi di atas Jonathan. Kapan lagi, kan? Meski sudah berumur. Terus ... karyawan tetap di perusahaan bagus. Ya, sama-sama kartap-lah macam si Jojo yang ibu sesalkan kenapa harus Rea cut kandidat suami sebagus Jonathan. Ibu tak peduli biarpun Rea sudah diselingkuhi, hingga tak dianggap tunangan. Karena di mata ibu, kesalahan ada pada Rea yang tidak pandai merawat diri. Ibu, tuh, lupa atau gimana coba? Uang Rea, kan, dijadikan tanah dan rumah. Bukan produk kecantikan atau barang-barang bagus yang mendukung penampilan. "Ya udah, deh. Ketemuin dulu aja." Begitu putusan Rea di saat berkas bertandatangannya sudah dia serahkan. "Sip! Tapi ada satu tahapan lagi." Astaga .... Tuh, kan, bimbang lagi. Yena nyengir. "Tes kesehatan dulu, ya, Re? Jangan tersinggung, namanya Mas Jaya nyari cewek yang udah nggak perawan, otomatis pengin yang bebas HIV/AIDS." Ya Allah, Ya Allah! Rea kembalikan tutur kata itu. "Ya udah, kasih hasil tes yang sama ke aku. Aku juga gak mau sama penyandang itu. Apalagi Mas Jaya-Mas Jaya ini udah nggak perjaka." Biar adil, kan? Lagi pula ada benarnya, tes kesehatan itu penting apalagi buat hubungan yang tidak masuk akal ini. Isinya cuma ngelon saja, jangan-jangan? Rea membayangkan kelak kalau jadi menikah, apa ... kesehariannya cuma ngangkang? Ih! Argh! Bimbang lagi. "Oke, nanti aku kirim hasilnya, ya? Yuk, sekarang kita langsung tes lab aja dulu. Aku ada kenalan dokter," ujar Yena. Hebat juga teman SMP Rea yang satu ini, sampai punya kenalan dokter. "Ini kamu sama dia, jabatannya tinggi mana, Yen?" Yena tertawa. "Akulah! Lagian beda perusahaan." Percaya? Rea percaya. Soalnya Yena saat Rea tanya-tanya sekarang kerja di mana, jawabannya di Luxe. Itu perusahaan yang hendak Rea incar, tetapi belum ada lowongan yang pas dengan kebolehannya. "Tapi tenang, Mas Jaya duitnya lebih banyak dari aku walau segi jabatan tinggi aku. Dia banyak sampingannya meski kartap." Oh, begitu .... Intinya, sih, harus bertemu dulu. Dan sekarang menjadi pertemuan kedua di antara Rea dengan sosok Jayakarsa. Lelaki itu tiba-tiba meragukan ketidakperawanannya mentang-mentang Rea ribet. Lihatlah tatapan tajam yang entah kenapa malah tampak berkali lipat lebih menawan. Rea suka cowok tampan, cewek cantik juga suka, tetapi bukan jenis suka yang gimana. Hanya suka saja melihat pemandangan yang indah-indah. By the way, Rea geleng-geleng. "Udah nggak." Menjawab pertanyaan Jayakarsa soal 'kamu masih perawan?' Agak menelisik sorot mata lelaki itu. Masih ragu? "Nanti buktiin sendiri kalo jadi, Mas." Rea meyakinkan. Yeah ... mungkin tidak masalah kalau bohongnya demi kebaikan. Bukannya bagus jika mengaku tidak perawan, tetapi ternyata masih? Lain kalau kebalikan. Toh, ujungnya misal jadi menikah, Rea akan kehilangan kesucian itu. Jayakarsa manggut-manggut. Tapi, tunggu! Ini sebenarnya Rea sudah klik mau gaskeun ambil tawaran nikah siri dengan Mas Jayakah? *** Fix, Rea sudah gila. Jayakarsa: [Oke, besok kita ke rumah ibumu.] HUAAA! Betulan jadi. Rea lempar ponsel ke sudut lain kasur, lalu dia tenggelamkan wajah di bantal sambil memukul-mukul bantal itu dengan kepalan tangannya. Jantung Rea berdebar-debar, tetapi tentu bukan karena cinta. Ini soalnya Rea sudah mengambil sebuah keputusan yang sangat besar, efeknya bisa sepanjang masa. Kalau dulu saat memutuskan Jonathan, itu juga deg-degan, tetapi demi menyelamatkan masa depan. Nah, keputusan Rea yang sekarang ... bukankah sebuah pertaruhan masa depan yang entah bakal sesuram apa atau secemerlang apa kelak. Rea serasa dipaksa memilih kucing dalam karung. Sebentar. Sebelum ada chat itu, Rea sempat meletakkan poin-poin syarat dan ketentuan miliknya di pertemuan kemarin. "Pertama, aku mau hubungan kita terbuka di keluargaku. Nggak pa-pa, jujur aja soal nikah siri dulu, tapi Mas pikirkan alasan masuk akalnya, yang sekiranya bisa diterima keluargaku." Jayakarsa manggut-manggut. "Tapi kenapa harus saya yang mikir?" "Kayaknya Mas lebih cemerlang idenya dari aku." Menjawab dengan pujian adalah salah satu kunci supaya lawan bicara bersedia melakukan itu, menurut ke-sotoy-an Rea. "Oke." But, see! Berhasil, right? Rea lanjutkan. "Kedua, perlakukan aku layaknya pernikahan kita ini terjadi karena saling jatuh cinta. Akting aja akting." Sebab tahu, bila sungguhan itu tak mungkin. "Saya belum pernah jatuh cinta, jadi permintaanmu sangat merepotkan. Karena pasti saya harus mempelajarinya dulu." "Gampang, kok," papar Rea. "Dari skinship juga bisa." "Oh. Semacam mencium kamu di depan mereka?" balas Jayakarsa, alisnya sampai naik sebelah. "Ya, nggak gitu juga," sergah Rea. "Sentuhan ringan aja, Mas. Misal, pegangan tangan. Elus-elus kepala aku. Atau yang paling gampang, misal aku nyuruh—eh, minta tolong—Mas Jaya penuhi. Misal, ya. 'Mas, aku pengin es cendol ujung jalan,' Mas Jaya ngebeliin. Yang kayak gitu-gitu. Gampang, kan?" Jayakarsa malah diam. Rea sangsi masnya paham. "Tapi ini beda dengan jenis konglomerat nyuruh atau minta tolong ke ART-nya, ya. Yang dilakuin ART atau pekerja itu bukan bentuk cinta, tapi tugas, kewajiban. Kalau cinta itu ...." Bagaimana menjelaskannya coba? Rea malah kehilangan kemampuan itu, seketika ilmu soal definisi cinta menguap. Kalau disuruh menjelaskan, memberi pemahaman kepada seseorang, ternyata susah juga. "Mas ... paham, kan? Dikit aja. Paham, kan?" Malah jadi frustrasi, Rea tak yakin hubungan tidak masuk akal ini bisa berjalan dengan baik sesuai harapan. Mas Jaya menghela napas. "Lanjut saja." Tampak tidak mau ribet. Semoga paham, sih. "Oke. Yang ketiga, jangan sampai aku hamil selama masa pernikahan masih siri." Dan enam bulan itu lama, lho. Kalau kesehariannya bercocok tanam, apa serius tidak akan ada benih yang tumbuh? "Deal," katanya, menjulurkan tangan. Rea tidak yakin bisa semudah itu untuk tidak hamil, kecuali kalau Jayakarsa mau di-vasektomi. Rea soalnya menolak KB. Di sisi lain, Jayakarsa juga tidak mau pakai pemgaman. Ya, gimana, dong? Cari-cari masa tidak subur saja kali, ya? "Sebelum itu, aku tambahkan konsekuensi kalau aku hamil. Pokoknya harus tanggung jawab penuh." Rea tuliskan hal-hal tersebut, barulah setelahnya dia meraih jabatan tangan yang Jayakarsa sodorkan. "Deal, ya," seloroh Rea. Tatapan Jayakarsa jatuh di tangan yang tengah saling bertaut, lalu Rea merasakan adanya sebuah remasan. Lekas Rea tarik tangannya, menyudahi. Rea selipkan helai rambut ke belakang telinga, ini spontan, bukan mau menggoda lelaki. Itulah yang terjadi kemarin, kemudian sekarang Rea mengirimkan pesan soal ajakan bertemu dengan keluarganya dulu buat membicarakan terkait rencana pernikahan. And then ... Jayakarsa bersedia, besok otewe ke rumah ibu Rea. Bikin Rea deg-degan sepanjang menunggu hari esok. Sebelum itu, Rea telepon ibu dulu. Tumben sekali Nyonya Santi yang tidak budiman ini lama mengangkat panggilan dari putri semata wayangnya. Kok, Rea sampai harus men-dial up dua kali. "Jangan telepon Ibu kalo bukan mau ngabarin soal pernikahan!" Astagfirullah. Kaget. Yang di sana teriak, yang di sini menempelkan ponsel ke telinga. "Ibu matiin—" "Rea mau nikah, Bu!" sela Rea, cepat-cepat diutarakan karena ibu tampaknya sudah sangat tidak sabar. Oke, tenang. Senatural mungkin. "Rea mau nikah ...." Sekarang tidak ada suara sama sekali dari seberang sana. Nyonya Santi tidak pingsan, kan? "Bu?" Rea pastikan. "Halo?" "Bohong!" Lho? Saat bilang mau nikah, malah dituduh berbohong. Ibu ini maunya gimana, sih? "Besok Rea pulang bawa masnya, ya, Bu. Ibu siap-siap, minta tolong orang aja buat beres-beres rumah, nanti Rea transferin upahnya." "Jangan bohong, kamu! Dosa! Apalagi sama Ibu!" Rea mengerling. Tuh, kan. "Ibu pengin Rea nikah apa nggak sebenernya? Ini Rea serius mau bawa cowok besok." "Awas aja kalo bohong. Nanti Ibu udah koar-koar, tahunya kamu bercanda. Cuma supaya Ibu diem." Oh ... soal itu. Pernah begitu memang. Habisnya ibu berisik, Rea bilang saja mau nikah dan sudah ada calonnya. Ini kejadian dua tahun lalu. "Iya, ini asli. Lagian Ibu apa-apa dikoar-koarin." "Mana siniin dulu fotonya!" kata ibu, tak mengindahkan ucapan Rea. "Foto apa?" Rea sampai pening. "Calon mantu Ibu. Siniin! Yang ada kamunya, baru Ibu percaya." Rea pijat-pijat kening. "Kami nggak pernah foto bareng, Bu. Tapi bukan berarti hubungan kami bohong, ini karena kami sepakat buat pacaran dewasa." Meski begitu, Rea jaga-jaga dengan meminta foto Jayakarsa kepada Yena. "Pacaran dewasa? Maksudnya, kalian nyicil dulu?" semprot ibu, galak. "Nggak," sergah Rea. Paham maksud dari nyicil yang ibu sebut. "Pacaran dewasa ala kami itu bukan yang ada di pikiran Ibu. Lebih ke ... nggak nyimpen foto kebersamaan soalnya kalo lagi bareng fokus menikmati momen. Tenang, kalo foto masnya doang, Rea ada. Ibu mau lihat?" Baru banget Rea mintai ke Yena. Gerak cepat barangkali ibu perlu diyakinkan dengan foto Mas Jaya. Untung Yena sama gercep-nya. Sedang online, sih, tadi. Pas banget, Rea berasa dimudahkan. "Mana sini lihat!" kata ibu, dengan nada sewotnya yang khas itu. Rea kirimkan foto Mas Jaya. "Tuh, udah." Dan Rea pandang-pandang. Ganteng, cui! "Rea ... Rea. Ibu udah pinter, ya, Re! Nggak mempan kamu kibulin. Ini foto aktor luar negeri mana yang kamu comot, huh?" Eh? "Ini beneran, kok—Bu! Halo? Ibu?" Terpantau, Nyonya Santi yang tidak berperikeibuan itu telah memutus sambungan nirkabelnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN