6 | Lidah Restoran Elite

1629 Kata
Banyuliang sebuah desa yang luas, tetapi penduduknya tidak memadati kawasan tersebut. Tidak semua tepi jalannya berisi rumah penduduk, masih banyak yang hanya berupa kebun atau sawah. Itulah desa yang dipilih ibu Rea selepas bercerai dengan suami aristokratnya. Ya, di perkampungan. "Ngeborong, nih, Bu Santi?" Di-notice begitu, Santi tanggapi. "Iya, Bu. Si sulung mau datang bawa calon mantu katanya. Eh, Pak, daging sapi premium pesenan saya semalam dibawain, kan?" Apalagi di tukang sayur keliling itu ada sosok mama Jonathan juga. "Ah, yang bener? Tahun lalu bilang gini, tapi Rea nggak datang, tuh. Awas kena tipu anaknya lagi," timbrung mama Jonathan. Yang lain sudah siaga karena pasti akan ada drama adu mulut di antara mereka. Sejak lama warga kampung sudah merasakan aura permusuhan dari duo tetangga yang padahal dulunya bestie. Berdasarkan info yang beredar, permusuhan itu terjadi karena cinta bertepuk sebelah tangan milik Rea kepada Jonathan. Di mana perasaan Rea ditolak sebab Nathan sudah memiliki pujaan hatinya sendiri, bahkan sampai menikah. Karena itulah Rea memulai statusnya sebagai perawan tua di desa ini, kemudian kabur ke kota—berpaspasan dengan lahirnya anak kedua Jonathan. Itu yang membuat Santi mengibarkan bendera perang kepada tetangganya. Mungkin, ya. Selaku bestie, kok, tidak bisa mengondisikan putranya agar mau menerima cinta Rea. Meski di sisi lain, ada yang bilang permusuhan itu terjadi sebab Jonathan tidak amanah sebagai tunangan diam-diam Rea. Konon, Jonathan selingkuh sampai menikah, Rea memilih mundur. Dan kejadian itu lantas meninggalkan trauma mendalam di hati Rea sampai kabur demi menyembuhkan rasa sakit. Sayang, isu kedua sulit dibuktikan. Apalagi Jonathan bilang hubungannya dengan Anggi sudah berlangsung sebelum Rea ikut merantau ke kota. Jonathan kepada Rea pun tampak selayaknya teman biasa, jadi mana mungkin pernah menjalani pertunangan diam-diam. Malah yang terlihat justru sosok Reanya yang menghindar, kelihatan jelas habis dapat penolakan cinta. Lagi, Santi ditertawakan. Dia juga mendengar orang-orang bilang, "Kasihan, ya? Sepengin itu anaknya nikah." "Mama Nathan, sih. Kenapa nggak bujukin anaknya biar nerima sulung Bu Santi?" "Lho, udah saya bujuk juga kalau anaknya nggak mau, ya, mau gimana, Bu? Masa saya paksa?" "Iya juga, ya? Ah, dasar, nih. Emang Reanya aja yang kecintaan sama Nathan sampe nggak bisa move on. Korbannya ibu sendiri. Ibu mana coba yang nggak stres kalau anak cewek satu-satunya malah jadi perawan tua?" "Ssst!" Santi menutup pintu dengan keras hingga menghasilkan bunyi debum cukup kencang. Awas saja nanti. Santi dengan sangat berapi-api meraih ponselnya, dia ketik pesan untuk sang putri yang jauh di kota. *** Nyonya Santi: [AWAS, YA, KAMU! AWAS KALO SAMPE NGGAK DATANG HARI INI. IBU UDAH MASAK, UDAH BERES-BERES! NGGAK USAH JADI ANAK IBU LAGI KALAU KAMU BOHONG KAYAK TAHUN LALU!] Wah, wah .... Capslock jebol nggak, tuh? Rea sampai meringis, apalagi saat membaca pesan yang terakhir. Nyonya Santi: [KALO UDAH TELANJUR BOHONG, POKOKNYA KAMU PULANG SEKARANG DAN BAWA COWOK JENIS APA PUN KE RUMAH! GAK HARUS KAYAK YANG DI FOTO, YANG PENTING PUNYA BURUNG!] Astaga. Saking apanya coba sampai standar calon mantu ibu yang tadinya setinggi Jonathan jadi terjun bebas ke kriteria 'yang penting punya burung.' "Siapa?" Rea tersentak samar, lalu menoleh. Di sisinya memang ada sesosok makhluk tinggi besar yang tengah mengemudikan Mercedes-Benz S-Class. Rea habis searching menggunakan Google Lens, sempat memfoto kuda besi Jayakarsa yang menjemputnya di pelataran apartemen. Terus kaget sampai mulut membentuk bulatan o kecil kala terpampang harga kisaran tiga miliar untuk satu unitnya. Belum jauh pikiran Rea, eh, pesan ibu masuk. Jujur Rea menjawab, "Ibuku." "Sudah kamu kabari soal rencana kunjungan kita hari ini?" tanya Jaya. Rea mengangguk. "Iya, udah." Dan perjalanan ke Banyuliang memakan waktu empat jam, entah ini akan lebih cepat atau justru lambat. Rea berangkat sejak pukul delapan pagi tadi. Untuk hari ini, Rea sampai mengajukan cuti. Alasannya, sih, masih nyambung dengan sakit kemarin. Oh, ibu menelepon. Jayakarsa melirik. "Angkat saja." "Maaf," ringis Rea, mengangkat sambungan nirkabel dari ibunya. Baru mau bilang salam supaya terkesan sopan dan khas seorang anak yang lemah lembut kepada orang tua, eh, di seberang telepon sana Nyonya Santi menyerang. "ANAK KURANG ASEM, CHAT IBU CUMA DIBACA?!" Rea berdeham. Agak bergeser makin mepet ke pintu mobil, Rea juga menekan tombol volume. Dia perkecil. Takutnya masih bisa kedengaran walaupun bukan di-loudspeaker. "Waalaikumsalam, Ibu. Iya, ini Rea sama mas udah di jalan," timpal Rea, tidak nyambung sama sekali. Dia juga membuat-buat agar vokalnya terdengar syahdu. "Jangan bohong! Coba mana sini video call!" "Oh, iya. Makasih, Bu. Nanti Rea kabarin lagi kalo udah deket. Waalaikumsalam." "Re—" Oh, maaf. Sudah Rea matikan. Gegas alih ke room chat dan secepat kilat mengetik pesan. Rea: [Lagi di jalan, Bu. Rea kirim foto aja, ok?] Di sana ibu pasti misuh-misuh, apalagi Rea berlaku seperti tadi. Bukannya apa, Rea malas video call. Takut Jayakarsa tidak nyaman juga karena pasti terkesan ribet sekali. Ini saja sudah bagus mau diajak ke rumah dan memenuhi poin-poin kesepakatan yang Rea bubuhkan. "Mas ...," panggil Rea, jantungnya berdegup kencang. Jaya menoleh. "Aku foto, boleh? Tangannya aja, kok. Biar ibuku percaya kalau aku lagi di jalan dan bawa cowok. Oh, ya, tapi sambil pegangan sama tanganku. Mas nggak perlu ngapa-ngapain, kok. Biar aku yang pegang tangannya." Eum ... boleh tidak, ya? Harusnya boleh, kan? Ah, tapi ini juga ribet. Lebih ribet dari video call tidak, sih? Waduh. Sudah telanjur ditutur. Nyonya Santi: [MANA FOTONYA? BOHONG, KAMU! PASTI LAGI KONGKALIKONG SAMA ORANG BUAT NGIRIM FOTO KE IBU!] Duh. Ibunya ini tidak sabaran pula. "Silakan, terserahmu," timpal Jaya seraya menurunkan tangannya dari setir, lalu Rea menyambut tangan itu dengan senyuman. Alhamdulillah, acc! "Wah ... makasih banget, lho. Aku video, deh." Ngelunjak, Sis! Rea gegas atur posisi. Dia selipkan jari jemarinya di sela-sela jari Jayakarsa, lalu dibawa ke atas paha. Rea videokan beberapa detik, tak lupa divideokan juga jalanan di depannya. Terus ... kirim, deh! Rea tuliskan keterangan di bawah video itu. Rea: [Anak sama calon mantu Ibu meluncur!] Rea: [Kalo masih nggak percaya, tunggu aja. Sabar. Tiga jam lagi kami sampai. Ibu fokus aja doain supaya Rea sama masnya selamat sampai tujuan daripada ngomel-ngomel.] Done. Tapi tangan pria itu sejak tadi bahkan masih bertengger di atas pangkuan Rea. Saat Rea menarik tangannya untuk mengetik pesan, dia lupa tidak mengembalikan tangan Jayakarsa ke tempat semula—setir kemudi. Ah, tetapi, kan, bisa pindah sendiri begitu sudah tidak digunakan. By the way, jarinya panjang-panjang. Ada bulunya. Dan ... besar. Telapak tangannya juga lebar. Ini kalau jenis tangan seperti ini, kira-kira perkututnya seperti pisang apa? Yang pasti bukan seperti pisang muli, kan? Pisang ambon juga tak mungkin, minimal pisang tanduk atau nangka kali, ya, yang panjang dan berdiameter lumayan. Eh, eh? Nakal, ya, kamu! Rea lekas pindahkan tangan Jayakarsa ke setir, sudah cukup berlama-lama nangkring di pahanya. "Makasih, Mas." Atas pinjaman tangan yang super laki itu demi menenangkan ibu. Tidak dijawab. Tidak apa-apa, sih. Rea fokus ke ponselnya lagi. Intip-intip soal mobil Mercedes-Benz S-Class. Hasil pencarian mengatakan, 'Merupakan sedan mewah yang diproduksi oleh Mercedes-Benz sejak tahun 1954. Di Indonesia, S-Class tersedia dalam beberapa varian. Varian terbaru, S-Class 2025, dijual dengan harga mulai dari Rp3,365 Miliar.' Tuh, kan! 'S-Class dikenal sebagai sedan mewah terlaris di dunia dan sering menjadi pilihan bagi para pemimpin bisnis dan pejabat negara.' Nah, nah! Garis bawahi yang bawah. Kok, Rea jadi curiga. Untuk ukuran karyawan biasa sekali pun kartap, memangnya masuk akal bisa kebeli mobil ini? Masuk akal kalau orang tua Jayakarsa ternyata pasangan miliuner. Oh, jangan-jangan aslinya Jaya ini pewaris Sastra Edu? Cuma sedang nyamar jadi pegawai di perusahaan keluarganya sendiri. Soalnya, Jonathan saja mentok-mentoknya beli Pajero. Lha, ini? Di atas itu. "Kenapa?" Eh? Rea terkesiap lagi. "Sorotan mata kamu kentara sedang menyelediki. Apa ada sesuatu yang kamu ragukan dari saya?" Persis! Jayakarsa melirik, Rea agak gelagapan. But, tidak benar-benar dia tunjukkan. Rea sebisa-bisa bersikap santai dan elegan. "Cuma masih penasaran sama Mas Jaya." Begitu jawabannya. Lelaki bercambang dengan aura panas membakar kewanitaan itu—duh, maaf, Rea hiperbola. Mas Jaya mengerling melirik spion. "Kalau penasaran, tanya. Bukan menduga-duga sambil memelototi macam kamu tadi." Lho, memang Rea begitu? Kontan Rea mengerjapkan mata. Masa, sih, sampai melotot? Bukannya memicing? Sementara itu, di Banyuliang. Ibu Rea langsung pasang status berisi video yang dikirim sang putri. Caption-nya begini: [Barakallah, hati-hati di jalan anakku.] Tak lupa dilanjut dengan status bahan masakan yang seabrek itu, dibubuhi caption: [Ibu siap tempur buat nyambut menantu.] Oke, sip. Hari pembalasan sudah tiba. Ibu Rea tidak sabar untuk menjejalkan fakta bahwa sang putri telah mengakhiri masa lajang. Meski telat, tetapi yang penting sudah terlihat tanda-tanda mau nikah juga. Walaupun ternyata yang Rea bawa adalah sosok lelaki yang suka lelaki, terlihat dari bagaimana bentukan tangan si mas itu. Ibu Rea alih-alih senang justru lesu, terlalu manly hanya sekadar dari tangannya, curiga bila Rea menyewa boti. Tahu boti, kan? Ibu Rea yang di kampung saja tahu. Ciri-cirinya macam si pemilik tangan yang Rea genggam itu. Ya Allah. Maksud dari 'asal punya burung' itu bukan yang jenis ini, lho, burungnya. Bukan burung dari kaum penyuka sesama burung. Ibu Rea, fix, frustrasi. Kenapa doa-doanya tidak ada satu pun yang tembus langit? Satu saja; tolong berikan jodoh untuk Realine Anjani seorang laki-laki yang jauh lebih baik daripada yang paling baik, terpenting yang lebih mumpuni daripada Jonathan si anak tetangga. Yeah ... mungkin yang tembus malah ucapan-ucapan asal jeplaknya, termasuk yang di pesan untuk Rea. Macam yang tadi itu; asal punya burung. Argh! "Bu Santi, halaman belakang udah beres. Saya boleh minta bayarannya sekarang, nggak?" "Oh, iya. Saya cek dulu, ya. Jangan sampai ada satu rumput liar pun yang tumbuh," kata Santi, lalu tertawa. "Bercanda, Pak." "Bu, ini daging sapinya jadi direndang aja?" tanya yang lain, sosok juru masak yang biasa dipanggil saat hajatan di Banyuliang. Benar. Rumah Rea sedang dibersihkan menyeluruh, pun sedang masak-masak besar demi penyambutan yang ibu Rea maksud. "Dibikin steak separo bisa, nggak, Bu? Calon mantuku orang kota tulen soalnya. Lidah-lidah restoran elite gitu." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN