18 | Habis Bersih 🚫

1014 Kata
Katanya kalau mau tahu ukuran alat tempur laki-laki itu dilihat dari jempol kaki. Benarkah akurat? Bagaimana dengan yang bilang, ukurannya bisa ditebak dari ukuran hidung? Lebih akurat yang mana, wahai para suhu yang sudah berpengalaman. Rea masih di titik menebak-nebak hal itu saat kini tak sengaja menyenggol pusat kepusakaan Jayakarsa, di mana lelaki itu sehabis berpuas diri dengan service ... tak bisa Rea notice dengan gamblang. Terlalu tabu. Pokoknya, Jayakarsa memanjat tubuh Rea yang tidak berdaya habis diserang brutal oleh cumbuan maut material dalam mulutnya. Tak usahlah kalian spill, cukup katakan 'oh, I see' saja kalau paham. Dan saat itu kaki Rea bergerak, eh, nyenggol-nyenggol. Auto menduga-duga ukuran. Well, bibir Rea dibungkam lagi sekarang. Argh! Masalahnya, bibir Jayakarsa bekas ... aduh. Rea tersentak saat kakinya seolah dibuka lebar-lebar. Lenguhan Rea yang dia suarakan bermaksud untuk protes, tetapi sepertinya jadi bermakna lain di pendengaran lelaki itu. Mungkin Jaya malah merasa dipantik semangatnya oleh lenguhan Rea. Begitu? Waktu ke waktu. Yang akhirnya, Jayakarsa menjauh. Rea megap-megap. Menatap sosok pria berbalut celana bahan yang kini sedang melepas kaitan kancing berikut resletingnya. Omaygat! Tatapan Jaya lurus di Rea, sementara Rea ... gelisah dibuatnya. Tentu, Rea rapatkan dulu kaki walau tidak mampu sebab tubuh Jayakarsa menjadi tugu perbatasan yang menghalangi persatuan kaki kiri dan kanan milik Rea. Kan, sialan! Rea malu, tahu! Maluuu sekali. Ini yang pertama. Ya Allah .... Jayakarsa membuang celana bahan itu, disusul kolor, lalu ... oh, no! TIDAAAK! Berisik sekali batin Rea yang suci, saat hendak dinodai. Rea menegang. Dari luar pakaian dalam saja sudah terukur walau belum pasti sesuai, Rea yakin itu ... tidak sebesar kepala bayi, tetapi tidak semungil kepalan tangan janin. Dan saat akhirnya Jaya turunkan, perlahan, tanpa sedikit pun mengalihkan tatapan dari wajah Realine. Sedikit ... terlihat. Rea tutup mata dengan refleks. Jantung deg-degan brutal. Kalian bayangkan saja sendiri macam mana saat mau malam pertamaan dengan mas suami. Mungkin karena itu juga, Jayakarsa mengerutkan kening. "Tingkahmu seperti anak gadis saja." Bahkan Jaya berkata seperti itu. Rea tersentil. Emang anak gadis, kok! Tapi, kan, Rea sedang mode menyamar sebagai wanita yang sudah pernah tralala-trilili di ranjang. Demikian, Rea turunkan telapak tangan dari wajahnya. Perlahan, Rea juga buka kelopak mata. Hanya jantung yang tidak bisa santai. Oh, God! Rea menelan saliva. I-itu .... Sempurna. Jayakarsa telah melepaskan seluruh pakaian di tubuhnya serupa tubuh Rea. Memercik kekhawatiran menyerempet rasa takut saat Rea tak lagi perlu menebak-nebak berapa tinggi dan diameter something Jaya yang terlihat sangat perkasa. Ibu .... Rea minta maaf. Kayaknya Rea kualat hari ini juga, deh. Rea membayangkan rasa sakitnya. Akan sehebat apa nanti. *** Jaya memindai wajah Rea, lalu dia usap-usap pinggul wanita itu, naik ke pinggangnya. Jaya rasakan ketegangan yang kentara di tubuh sang istri. Mungkin karena sudah lama belum pernah dikunjungi lagi, jadi Rea setegang sekarang. Kembali Jaya belai dengan jemari, Rea tersentak kali kesekian. Jaya perhatikan ekspresi wanita itu. Sampai di detik Jaya menuntun bukti kelelakiannya ke hadapan pintu keintiman Realine, dia merasa ... apa, ya? Rea mencengkeram sprei. Wajahnya berpaling, tutup mata juga. "Reaksi kamu benar-benar seperti ini yang pertama." Jaya berkomentar sekalian memastikan. Kuat-kuat menahan diri, padahal aslinya ingin langsung cocok tanam. Rea menggeleng. "Yang sebelumnya kecil." Oh, well .... Masuk akal. Rea menggigit bibir setelah meloloskan kebohongan itu, Jaya tak tahu bila arti dari gigit bibir Rea ternyata demikian. Dipikirnya karena sesuatu yang sedang Jaya usahakan menyatu. Baiklah. Jaya berkunjung. Menyelinap masuk. Yang mana rasanya ... sulit dia jabarkan. Darah Jaya seakan berkumpul semua di satu titik. Kembali berdesir memanas. Sisi lain, Rea meringis. Jaya teruskan. Ibaratnya, baru kepala Jaya saja yang melongok ke pintu apartemen studio Rea. Tolong jangan dibayangkan jenis kepala yang lain. Lantas, sekarang Jaya melangkah makin dalam, Rea memekik. Why? Jaya tatap wajah putri Bu Santi. Ada yang menghinggapi pikirannya mewujud yakin tak yakin. Membayangkan itu rahang Jaya agak mengetat, menahan buncahan dan gejolak yang tak bisa dikendali. Selain terus melangkah semakin dalam dan .... Ini gila. Jaya menahan napas. Berdiam diri. Menikmati geliat tubuh Realine yang tampak sangat tersiksa, seolah ini yang pertama baginya, tepat di detik Jaya melenggang. Terbenam. Sial. Ada hal yang membuat Jaya menelan kelat saliva, lalu hampir lemas karena beban pikiran atas ... "Bukannya kamu sudah tidak perawan?" Vokal Jaya menuturkan penemuannya yang membuat Rea tampak setersiksa sekarang. Suara Jaya parau, khas saat sedang dikabuti nafsu. Makin terdengar berat dan dalam, rendah dan meresahkan. Alamak! Realine Anjani, menggeliat tak nyaman dengan sesuatu yang tiba-tiba henti bergerak itu. Benar. Ini sangat menyakitkan. Too much! Karena sudah begini, Rea katakan dengan sisa-sisa energi. "Iya, ini ... barusan hilang." Itu yang terjadi. Yang Jaya dapati. Rahangnya kontan mengetat, menatap Rea dengan tajam, tetapi yang jadi masalah sekarang ... ada yang harus Jaya tuntaskan. Jika tidak, bisa sakit kepala sampai besok. Desis lirih Rea, ringisan tidak keruannya, hingga permintaan untuk meneruskan, Jaya makin menekan geraham. Damn! Jayakarsa pun mulai menyempurnakan penyatuan. Detik itulah Rea tersentak oleh tiap dorongan yang Jaya beri. Satu yang pasti, Jaya menahan diri untuk tidak terlalu membuat Rea kaget. Dan, katanya ini yang pertama, tetapi bukankah itu berarti Rea sudah membohonginya? Wanita ini ... oh, Astaga. Harus Jaya apakan? Shake it quickly? Loud and rude? Sementara itu, di belahan bumi lain. Ada seorang ibu yang terbakar emosi karena merasa tak diacuhkan oleh sang putri. "Sampe jam segini masih ceklis satu, lho, kakakmu, Yo." "Mungkin lagi di pesawat, Bu." Dan sudah banyak pesan yang Santi kirimkan untuk anaknya. Bentuk ketidaksabaran buat ngomel-ngomel karena sudah diblokir. Ya, pikir saja. Bisa-bisanya seorang anak memblokir kontak sang ibu? Aryo melihat kejengkelan di wajah setengah baya itu, tetapi dia juga melihat unggahan status WA ibu yang kelihatannya sangat gembira atas nasib Realine. Begitu bangga. Begitu sukacita. Plus, caption-nya sampai ada sebutan 'anak sulungku tercinta'. Benar-benar, deh! "Udah, Bu. Besok lagi. Percuma Ibu kirim chat panjang lebar kalo ternyata ceklis. Meding kalo pas on WA, dibaca. Kalau nggak? Kalau skip? Besok aja pas kelihatan online, Ibu telepon. Nah, tuh, keluarin semua kekeselan Ibu ke Kak Rea. Habis bersih." Dan sosok yang sedang mereka bicarakan itu ... 'habis bersih' juga 'disikat' oleh Jayakarsa. You know what I mean? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN