Demi apa pun jantung Rea tidak normal detakannya. Rongga perut sampai ikut tercemar oleh rasa-rasa gelisah itu. Tidak keruan pokoknya.
Tuhan ... bagaimana ini?
Rea jujur dulu bahwa dia masih perawan atau biarkan saja? Takutnya langsung tancap, kan, ngeri.
Duh.
"Mau di sana?"
Rea terkesiap. Posisinya di ruang tamu dalam sebuah kamar suite room. Di mana Jayakarsa berdiri di ambang lorong sambil memegang dinding. Rea sangsi mau nyusul ke kamar, siap tak siap.
Ya Allah, help!
"Di kamar aja, Mas." Rea menelan saliva. Ini, kan, akan jadi pengalaman pertamanya dalam bercinta, jadi Rea rasa kasur sudah yang paling oke daripada sofa.
Tatapan Jayakarsa membuat Rea gelisah untuk diam, tetapi mengambil langkah maju menuju kamar juga tak keruan. But, mau tak mau, siap tak siap, Rea tetap jalan.
Makin dekat.
Akhirnya lewat.
Di detik Rea melintasi sosok Jayakarsa, dia merinding sebadan-badan. Yang mana ketika itu Jaya pun berbalik dan mengekor.
Rea ingin sekali menoleh, memastikan jarak dan jenis tatapan. Soalnya di pikiran Rea sekarang, tatapan Jayakarsa begitu tajam dengan penuh kemesuman.
So, menoleh. Daripada Rea mati penasaran, kan?
Benar. Jayakarsa berada tepat di belakangnya, menyesuaikan langkah. Sorot mata pria itu pun langsung berteguran dengan mata Rea.
Lekas Rea menatap lurus ke depan lagi. Hingga akhirnya ... tiba di kamar. Jantung Rea semakin heboh berdentum.
Oh, terkesiap kala ada sebuah tangan yang menyusuri pinggang hingga merangkul di sana, lalu saat Rea menoleh langsung dihadapkan pada dagu berpesona semak belukar.
Naik sedikit, tatapan Rea jatuh di bibir Jayakarsa. Rea merinding dan tersentak kala pinggangnya ditarik makin rapat. Auto kening Rea yang tak sengaja menabrak bibir lelaki itu. Dengan dua tangan putri Bu Santi yang kini bertengger di bahu lebar mas-mas empat puluh tahun.
Cuma beda tujuh tahun, kok.
Oh, God!
Pinggang Rea diremas.
"Kamu tegang."
Ya—anjirudinnn! Siapa yang nggak tegang coba kalau begini, huh? Siapa? Sini bilang sama Rea kalau ada yang tidak tegang saat menghadapi sosok Jayakarsa Atmaja.
Masalahnya, Rea masih ting-ting.
"Terakhir kali berhubungan kapan?"
Pertanyaan macam apa itu? Memangnya lazim diucap saat mau bersenggama di malam pertama?
Rea menggeleng. "Lupa."
"Sepertinya bukan adegan yang menyenangkan," ucap Jayakarsa, rendah dan makin menggelisahkan saja nada suaranya.
Rea sampai tidak bisa benar-benar menerjemahkan arti tutur barusan. Maksudnya apa 'bukan adegan yang menyenangkan'?
Sekarang sisi wajah Rea disentuh, bahkan ibu jari Jaya menekan bibir Rea. Bersitatap, Rea dipaksa mendongak dan membalas sorot mata tersebut.
Ya, terasa memaksa, tetapi lembut. Rea tidak terluka. Cuma ... malu.
Menjadi detik di mana bibir Rea yang ditekan itu, lalu dibuat terbuka sedikit mulutnya, Jayakarsa pun mendekat. Langsung. Menggantikan ibu jari yang menyentuh-nyentuh bibir putri Nyonya Santi, kini dihinggapi bibir yang—omaygat!
He is good kisser.
Rea belum-belum sudah ... argh!
Meremas baju di bahu Jaya, apalagi saat tangan-tangan lelaki itu sudah menekan tengkuk dan melingkari pinggang Rea.
Ya ampun!
Berapa lama masnya tidak ciuman? Ini ... Rea dicium atau dimakan?
Ada suara lenguhan yang lolos tanpa Rea kehendaki karena itu benar-benar keluar sendiri.
Tubuh makin rapat, makin melekat. Rea agak sulit mengimbangi ciuman Jayakarsa yang terasa begitu lincah baginya.
Bentar, bentar.
Ini, kan, ciuman pertama Rea. Di bibir. Ingat? Dengan Jonathan tak pernah sekali pun sampai ke tahap lips to lips. Habis itu ... Rea tidak pernah berhubungan dengan siapa pun lagi.
Wajar kalau Rea agak kaget dan kewalahan, bukan? Dia sampai menjambak rambut duda anak satu di depannya. Yang masih memagut bibir seolah tak akan ada hari esok.
Damn!
Ciumannya sambil jalan. Rea refleks berpegangan lagi di bahu, malah mengalungkan lengan, padahal tadinya menjambak. Terasa begitu lincah gerak bibir dan lid—oh, shitt!
Terlepas saat Rea jatuh terduduk di tepi kasur. Agak kaget saat itu. Apalagi dengan bunyi decap yang begitu jelas.
Rea termundur. Jayakarsa makin mendekat. Bibir Rea kembali disentuh, ibu jari itu lagi. Diusap.
"Seperti yang pertama," katanya, parau.
Terdengar macam sudah dikerubungi kabut nafsu. Suaranya lebih berat dari yang biasa.
Well, memang yang pertama.
"Aku cuma belum jago," elak Rea. Tak mungkin mengiakan.
Sekarang tubuh Rea dibuat telentang.
Ya Allah, tolong, Ya Allah!
Ibuuu!
Kenapa di saat-saat seperti ini ibu tidak menelepon, sih? Lupa bahwa mode pesawat belum benar-benar Rea ubah.
Refleks bunyi persatuan huruf A dan H mengudara dari lisan Rea kala Jayakarsa mengecup-ngecup daun telinga.
Geli, cui!
Gilak.
Ngapain juga cuping dicium?
Aduh.
Ada hutan rimba di wajah suami siri Rea soalnya. Itu benar-benar membuat Rea tergelitik. Belum lagi saat turun menyusuri garis rahang, kecupannya pindah ke leher. Rea sontak mencengkeram rambut Jayakarsa yang terhormat.
"Mas, geli!"
Rea tak tahan untuk tidak mengatakan itu.
Mendengar celetukan Rea, Jaya justru bilang, "Jadi, di sini area sensitifmu?"
Lho, lho!
Argh!
Semakin disesuatukan, Rea memekik pelan, tubuhnya juga menggeliat protes. Gelinya bukan main. Wajar kalau bibir Rea dengan tanpa sadar terus melisankan desah yang dirinya sendiri repot tangani.
Ya ampun.
Ya ampuuun!
Siapa pun tidak ada yang bisa menolongnyakah?
Makin tersentak kala di perut Rea rasa ada jari-jemari nakal yang tengah menyusup. Perut Rea sontak mengempis kegelian. Jemari dan telapak tangan itu terasa khas walau baru kali ini membelai di Rea.
Makin naik, gerakannya pelan. Sampai di titik ... bibir Rea dipagut, dadanya ada yang menangkup.
Haduh, haduh!
Rea gelisah. Sangat.
Lampu kamar dibiarkan menyala terang alih-alih dengan sinar temaram jingga kekuningan.
Belum apa-apa Rea serasa ingin teriak, ada yang mencubit-cubit sebagian kecil di d**a dalam bajunya. Itu sesuatu yang tidak bisa Rea sebut dengan terperinci.
Gustiiii!
Rea cekal lengan Jayakarsa yang sedang menyusup, tangan Rea satunya menjambak rambut lebat itu.
"Geli juga?"
Sialan!
Kala tautan bibir dilepas, lalu berdecap lagi, dua kata tersebutlah yang Jaya lontarkan. Kan, Rea malu.
"Sepertinya yang ini juga bagian sensitifmu, ya, Re?" bisiknya, berat dan dalam. Tepat di sisi daun telinga Rea, sedangkan jari di dalam baju Rea sedang mengapit sesuatu yang sontak membuat lisan Rea kembali meloloskan suara.
Kaget sendiri kala Rea dengar vokalnya yang barusan.
Parah!
Ini sangat parah asal you know!
Yang kemudian, Jayakarsa meloloskan pakaian Rea satu per satu tanpa Rea bisa mencegah hal itu.
Sangat terampil.
Seolah menelanjangi perempuan adalah jobdesk utama Jayakarsa. Bukan cuma tatapannya, ulahnya juga semahir itu dalam membuat Rea merasa tanpa busana.
Apa duda memang begini? Atau Reanya yang amatir?
Rea spontan menutupi d**a yang terekspos, tak tahu kain-kain tadi dibuang ke mana. Sementara itu, Jayakarsa menyusul melepas bajunya.
Rea agak terkesima.
Atau ... "Terpesona?"
Batal. Tidak jadi. Jayakarsa narsis ternyata. Rea urungkan decakan kagumnya pada tubuh lelaki itu. Yang katanya empat puluh tahun, tetapi tampak terbentuk mumpuni. Tampak kencang juga.
Saat itu, Rea lengah. Jayakarsa gesit mengambil posisi di anatara dua kaki Rea. Jangan dibayangkan! Rea sampai bangkit setengah duduk dan menarik rambut lelaki itu agar menjauh dari percabangan di kakinya.
Namun, sia-sia.
"Mas!"
Oh, tidak.
"Jangan gini!"
Ya ampun.
Memalukan.
Argh!
Rea terkesiap oleh sapuan something di lokasi paling intim.
Apa-apaan ini?!
Hei!
"Mas Jay—!" Lagi, huruf A dan H bersatu keluar dari mulut Rea dengan mulusnya.
***
"Anak kurang asem! Jadi bener nomor Ibu diblokir, Yo?"
Benar, di Banyuliang.
Nyonya Santi yang tidak budiman itu mempertanyakan kondisi kontak si sulung. Sebetulnya tahu bahwa ciri diblokir adalah ceklis satu, lalu foto profil menghilang. Tapi awal-awal berusaha berpikir positif, mungkin Rea sudah mulai take off. Mau lepas landas. Terus sempat menghapus foto profil sebelum memodepesawatkan ponsel.
Cuma, kok, lama sekali?
Menyesal tidak tanya-tanya tujuan negara dinasnya di mana, lupa juga belum minta nomor ponsel sang menantu.
"Kayaknya iya tadi. Sekarang udah dibuka, tuh. Fotonya ada lagi. Masih yang lama juga." Aryo juga sama soalnya, hanya saja dia tidak ambil pusing.
"Oalah ... gemblung. Rea ... Rea." Tapi sekarang pun masih ceklis satu. "Kakakmu itu, lho, Yo—ampun, deh!"
"Ibu ganggu, kali."
"Ganggu apa? Ibu cuma minta foto atau video pesawat. Masa gitu aja ganggu? Kan, tinggal klik."
"Ya, Kak Reanya males, Bu. Soalnya Ibu dibikin status."
"Lho, kan, emang itu tujuan utamanya. Terus ngapain kita ambil foto atau video kalo cuma buat disimpan di galeri?"
Aryo mangap, lalu mingkem.
Bicara dengan ibu bukan tandingan siapa pun sejauh ini. Belum ada yang bisa mengalahkan.
"Ya udah, nanti juga Kak Rea kirim. Lagi sibuk, mungkin. Namanya juga orang di perjalanan. Males main hape, Bu."
"Ibu kalo di perjalanan malah suka foto-foto, Yo."
"Beda, Bu. Nggak semua orang kayak Ibu sekali pun anak-anaknya, lho."
"Awas aja, nih, kakakmu kalo aktif nanti."
Malah bilang begitu. Kalimat terakhir Aryo tidak diindahkan.
"Ibu omel-omel sampe panas hapenya, nih, nanti." Karena lewat telepon.
Ah, dasar Nyonya Santi.
Tak tahu saja di belahan bumi lain putrinya sedang diseruduk benda tumpul, di titik paling ranum.
Rea memekik.
***