Alvaro menggenggam tangan Arielle erat ketika mereka keluar dari kamar mandi, tubuh keduanya masih basah. Handuk membalut sebatas pinggang Alvaro, sementara tubuh Arielle diselimuti jubah tipis yang sudah tak lagi kering. Napas mereka tak beraturan, bukan karena suhu ruangan, tapi karena emosi yang meluap. Tak ada kata yang terucap. Alvaro mendorong pintu kamar, membiarkannya terbuka dan tertutup sendiri di belakang mereka. Ia menatap Arielle lama. Mata gadis itu sedikit merah karena tangis, tapi ada bara yang tak biasa di baliknya—campuran antara cemburu dan pengakuan. “Aku tak suka mendengarnya,” bisik Arielle tiba-tiba, suaranya rendah dan nyaris terdengar marah. Alvaro menaikkan alis. “Apa?” “Aku tak suka saat kau bicara soal Reina... seolah dia berhak mendapatkan pemakluman atas