Reanne menaruh cangkir dengan tangan yang bergetar. Dalam jarak sedekat ini, Aaron terlihat dua kali lipat lebih tampan. Apalagi... Jika pria itu mau membuka pakaiannya dan-
Sadarlah, Reanne!
"Kau boleh pergi."
Wanita itu tersadar dari halusinasinya dan ia pun segera beranjak keluar dari ruang kerja Tuannya. Reanne memegangi dadanya yang lagi-lagi bergemuruh kencang. Dia menarik napas dalam lalu lanjut berjalan ke arah dapur.
Reanne bertemu dengan dua pelayan muda seusia dirinya yang sedang berbincang. Ia pun turut bergabung sembari menghembuskan napas lelah.
"Kenapa, Reanne? Kau seperti habis dikejar hantu?"
"Oh, bukan-bukan. Itu, aku habis dari ruang kerja Tuan Muda."
Salah satu pelayan berambut pirang pucat bernama Zoey menatapnya penuh kecurigaan,"Kau habis diapakan memang? Dipaksa melayaninya?"
Reanne langsung memberi tatapan setajam mata pisau pada Zoey, tapi pemikiran itu malah membuat gairahnya naik.
Bagaimana jika Tuan Aaron benar-benar memaksaku?
"Reanne? Kau memerah? Astaga, apa benar yang dikatakan Zoey?"
Wanita itu lantas mengibaskan tangannya,"Ti-tidak. Aku hanya uhm..."
"Ada baiknya kau tidak berharap hal lebih pada Tuan Muda, Reanne. Ya, dia itu bukan pria yang bisa dimiliki setiap gadis. Kau tidak tahu saja kalau baru-baru ini, Tuan Aaron menolak cinta Nona Langford. Aku dengar dia dan Nona Langford sempat bertemu."
Oke, Reanne akan menjadi pendengar yang baik saat ini. Ia jadi punya beberapa informasi baru. Brittany Langford itu adalah teman masa kecil Aaron. Bisa dikatakan keluarganya sudah mengenal jauh keluarga Langford. Jika Aaron dan Brittany menikah, rasanya itu bukan masalah besar. Lagipula, Brittany adalah wanita terpandang, cerdas, dan dia cantik. Wajar jika orangtua Aaron meminta anaknya untuk meminang Brittany.
"Tuan muda kita sangat tampan. Beruntung lah karena sekarang dia sedang sendirian, kita punya kesempatan untuk menggodanya," Bisik Zoey. Reanne mendelik tajam saat Zoey mengatakan kalimat seperti itu.
Sebelum kalian, aku akan menggoda Tuan lebih dulu!
"Reanne? Kau kenapa?"
Reanne kembali menatap Zoey dan Violet. Ia pun tersenyum malas lalu meninggalkan dua orang gadis yang menatapnya heran. Setelah ini Reanne akan mengambil ancang-ancang untuk merebut perhatian Aaron. Ya tuhan, sebutlah dia gila. Namun, Reanne merasa dirinya tak tahan lagi dengan gairah terpendam ini. Semalaman Reanne tak bisa tidur karena memikirkan ciuman Aaron. Ia ingin mengulanginya lagi, tapi dalam keadaan sadar.
...
Madam Enid melipat tangannya di depan d**a saat melihat Reanne yang duduk di sofa tamu dengan santai.
Wanita murahan, batinnya. "Reanne!"
"Kenapa Madam?"
"Kau punya urat malu tidak? Sofa itu bukan untuk pelayan seperti mu. Itu sofa untuk majikan." Reanne menundukkan kepalanya. Ia jengah karena Enid selalu merendahkan dirinya secara spontan. Jika saja dia bisa mengadukan ini pada Aaron ataupun Nyonya Sarah, pastilah menyenangkan.
"Maaf, Madam," Jawabnya pelan. Ia terkesiap mendengar suara deruan mobil di depan teras dan Enid memberinya kode untuk membuka pintu.
Setelah pintu dibuka, ia dikejutkan oleh kedatangan Aaron. Sungguh tak terduga karena pria itu pulang cepat. Enid selalu mengatakan kalau biasanya Aaron pulang saat semua orang tidur, tapi sepertinya ini adalah keberuntungannya karena melihat wajah tampan Tuan Muda sore ini.
"Reanne?"
"Oh, iya Tuan?" Aaron menatapnya dengan satu alis yang terangkat. Kenapa wanita ini jadi balik bertanya? Tadinya ia bingung karena mendapati Reanne yang melamun.
Aaron menggeleng lalu ia bergerak untuk naik ke lantai atas. Ia pulang cepat hari ini karena ia mendengar dari Axelle kalau ayahnya dan Mr. Langford hendak mengunjunginya di kantor. Untunglah Axelle bisa diajak kerja sama dalam hal menjauhi Brittany dari kehidupannya.
Tubuh Aaron terasa sangat pegal. Akhir-akhir ini ia selalu membawa pekerjaannya ke rumah karena masih belum selesai. Jadilah bahunya terasa pegal tiap kali ia ingin menoleh.
Aaron melepas perlahan kancing kemeja yang ia kenakan, melepasnya lalu melempar kemeja itu ke atas lantai. Pria itu memusatkan matanya pada selimut yang tersusun rapi di atas ranjang sebelum meraihnya dan mengendus selimutnya.
Tak ada bau apapun lagi selain bau dirinya sendiri. Namun, Aaron benar-benar yakin kalau ia mencium aroma tubuh Reanne di tempat ini. Apa ia hanya berhalusinasi? Lagipula saat itu dia kan mabuk, mungkin Aaron sempat bermimpi.
Dia menghela napasnya lalu beranjak untuk berendam air hangat. Berharap saja air hangat mampu menghilangkan rasa lelahnya. Entahlah, Aaron merasa ada yang sedikit berbeda tentang kemarin malam. Ia seperti tidak bermimpi saja ketika merasakan ada seseorang yang duduk di atas tubuhnya. Ia mengusap wajahnya frustasi,"Sial, kenapa aku jadi berpikir m***m?"
Sedangkan di luar kamarnya. Reanne berdiri kaku sembari memegang secangkir teh madu yang ia persiapkan untuk si Tuan Muda. Reanne ragu untuk masuk, tapi ia mulai memberanikan dirinya untuk mengetuk pintu lalu menekan tuasnya ke bawah.
Langkah Reanne terasa semakin berat, tapi ia bernapas lega karena tak mendapati apapun di dalam kamar itu selain keheningan. Namun, pintu kamar mandi yang tertutup membuat Reanne penasaran. Dia menaruh cangkir itu di atas meja kopi lalu mulai memerhatikan pintu kamar mandi.
Gila. Ini benar-benar gila karena Reanne mendekatkan dirinya di depan pintu itu. Ia bisa mendengar suara air dari dalam sana. Jangan-jangan Aaron sedang mandi?
Oh, tuhan! Salahkah jika aku masuk ke dalam?
Ia berdiri cukup lama di depan sana hingga akhirnya pintu itu terbuka pelan. Wanita itu menjerit kaget saat melihat Aaron keluar hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya.
"Astaga, Reanne!"
Wanita itu lantas menutup kedua matanya lalu mengucapkan kata maaf berulangkali. Oh ini memang gila, seharusnya Reanne tak perlu nekad untuk melakukan ini.
"Ku mohon maafkan aku, Tuan Aaron. A-aku tidak sengaja, aku bersumpah!" Aaron menatapnya setengah kesal, sedari tadi dia tengah memikirkan Reanne dan wanita ini tiba-tiba saja muncul di hadapannya seperti hantu.
"Sudahlah. Lebih baik kau keluar," Titahnya. Reanne mengangguk sembari memejamkan matanya. Dia berjalan dengan mata yang menyipit ke arah pintu lalu ia pun keluar dari sana.
Aaron tidak tahu mengapa pelayan satu itu berani sekali muncul disaat dia sedang mandi. Sebenarnya Aaron tak mau mengatakan ini, tapi apakah sifat p*****r yang dimiliki Reanne tidak akan pernah bisa hilang? Dia memang tahu latar belakang wanita itu karena dulu Reanne telah jujur padanya. Namun Aaron tak mau memikirkan itu, dia mencari pakaiannya lalu dengan segera memakainya. Ia punya sekelumit masalah lainnya yang perlu ia tangani dan ini sama sekali bukan urusannya lagi.
...
Alex menatap tajam pada Axelle yang duduk di seberang nya dengan wajah pias. "Jadi memang benar rupanya kau bersekongkol dengan kakakmu untuk menjauhi keluarga Langford?"
"Astaga, Dad. Aku tidak bersekongkol dengannya. Aku hanya menolong karena menurutku kakakku butuh pertolongan," Alex menggeleng pelan. Ia tak bisa memercayai Axelle karena nyatanya putra nakalnya ini merupakan sekutu Aaron. Ia bertanya-tanya, apakah Alaina juga mendukung kedua kakaknya ini?
"Aku tahu dari Zack kalau kau meminta Aaron pulang lebih awal karena aku dan Fred akan mengunjunginya. Kenapa kau lakukan itu?"
Axelle menghembuskan napasnya,"Dengar, ayah. Jika menikahi Brittany memang penting untuk keluarga kita, maka gantikan saja posisi Aaron denganku. Kau sendiri sudah paham betul kalau kakak tak punya niat sedikit pun untuk menikahinya, kan? Jadi biar semuanya selesai, aku siap jadi pengganti."
Pria paruh baya itu jengah juga dengan ucapan Axelle. Ya, sebenarnya tak ada salahnya jika Axelle yang menikahi Brittany, hanya saja gadis keturunan Australia itu mencintai Aaron, bukan Axelle walau wajah kedua putranya ini identik.
"Diskusikan ini bersama Ibu, Dad. Kak Aaron bisa jadi pemberontak jika kalian selalu memaksakan kehendak padanya."
TBC