Reanne tidak tahu kenapa dia melontarkan kata itu sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan Aaron. Pria itu menatap marah padanya sebelum mendorong Reanne jauh.
"Sepertinya aku salah menilai sikapmu, Reanne."
Ucapan itu serasa menohok hati Reanne. Apakah Aaron mau berkata kalau dirinya tetaplah p*****r licik setelah semua yang terjadi enam bulan yang lalu?
"Aku menghargaimu sebagai seorang manusia, Reanne. Namun, sepertinya kau tidak menghargai dirimu sendiri."
Air mata Reanne terkumpul di sudut matanya. Ia malu, Reanne merasa malu atas apa yang ia lakukan barusan. Aaron benar, dia telah menjatuhkan sendiri harga dirinya di depan pria lebih kehormatan seperti Aaron. Tanpa sadar karena obsesi besarnya ini.
"Tu-tuan a-aku..."
"Reanne, keluar dari kamarku sekarang," Titahnya dengan suara pelan. Itu adalah kata paling menyakitkan yang pernah Reanne terima dalam hidupnya.
Ia menarik napas dalam,"Baik. Aku minta maaf atas sikap kurang ajarku ini, Tuan Aaron. Namun, Anda tak perlu memandang seolah aku menjijikkan dan-"
"Keluar. Aku tak pernah tergoda atas apapun yang ada pada tubuhmu dan sikap yang kau tunjukkan tadi membuktikan kalau kau memang wanita yang tak perlu ku pedulikan lagi. Sekarang keluar."
"Aku bersumpah, Tuan Aaron. Kau... Kau yang akan memohon untuk dapat menyentuhku!" Selepas itu Reanne pergi dari sana. Air matanya berderai kala mendengar untaian kata yang rasanya menusuk relung hatinya.
Aaron menatap kepergian wanita itu dengan perasaan kacau. Apalagi ini? Haruskah ia terlibat masalah dengan setiap perempuan?
Pria itu mengacak rambutnya frustasi. Jujur saja, ia belum terlalu mabuk. Aaron dapat mendengar apa-apa saja ucapan-ucapan yang tadi Reanne katakan. Wanita itu bahkan menyatakan kalau dia jatuh cinta padanya. Obsesi macam apa itu?
Aaron tak mau memikirkan hal ini lebih jauh, sepertinya dia memang salah karena menganggap Reanne bukan ancaman. Nyatanya wanita itu dengan terang-terangan berusaha menggodanya. Apakah salah tindakannya enam bulan lalu saat dia menolong Reanne dari peristiwa pemerkosaan?
Sial, sudah ada satu masalah baru lagi yang menambah daftar permasalahan dalam hidupnya.
...
Sudah satu bulan sejak kejadian di mana Aaron memergoki Reanne yang hendak bertingkah m***m. Pria itu tak lagi terlihat. Enid mengatakan Tuannya pergi sebelum semua orang bangun lalu pulang saat semua orang tidur. Tiga hari yang lalu, Aaron bahkan tidak pulang ke mansion.
Reanne adalah orang pertama yang merasa bersalah. Dia pikir kalau dirinya adalah penyebab kenapa Aaron semakin menarik diri dari semua orang. Bahkan ketika Nyonya Sarah datang kemari untuk menanyai keadaan putranya, Aaron tetap tak terlihat.
"Mansion sepi sekali rasanya. Hah, Tuan Aaron benar-benar kejam! Dia menghindar terus dan aku semakin penasaran!" Reanne menoleh pada Violet yang datang dengan wajah kusut.
"Sudahlah, lagipula untuk apa kau memikirkan orang yang tak pernah jadi milikmu?"
"Wow Reanne, kenapa nada bicara mu?"
Violet tersenyum aneh pada Reanne. Dia mencolek lengan wanita itu sembari menggodanya,"Oh, jadi kau juga rindu dengannya ya?"
"Astaga, Vi! Hentikan semua obrolan ini," Reanne memilih untuk memisah diri dari sana dengan pergi ke ruang depan. Madam Enid tengah memerintah Zoey untuk membersihkan guci mahal di dekat tangga, wajahnya benar-benar menyebalkan.
"Madam, apa aku boleh izin pergi? Sebentar saja."
Enid menatapnya kesal,"Kemana, Reanne? Kau mau melacur?"
Reanne berusaha untuk menekan emosinya,"Tidak, Madam. Aku hanya ingin minum kopi di kedai."
Enid hendak menjawab, tapi Zoey memotong ucapannya,"Tidak apa, Madam. Biarkan saja Reanne pergi, dia pasti bosan. Sisa tugasnya biar aku yang kerjakan," Reanne benar-benar ingin berterimakasih pada Zoey. Enid akhirnya memberi Reanne waktu untuk pergi.
Wanita itu dengan cepat mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai dan sederhana. Reanne mengenakan atasan off shoulder warna krem dipadukan jeans hitam yang tidak terlalu mengetat di tubuhnya. Untuk sepatu, Reanne lebih nyaman mengenakan flat shoes saja. Rambutnya ia biarkan tergerai indah dengan tambahan jepitan di bagian depan agar tak menghalangi wajah. Merasa sudah siap, Reanne berjalan keluar rumah Tuannya untuk menikmati kesendiriannya sebagai wanita bebas.
Ia pergi menaiki bus umum, Reanne tahu suatu tempat yang letaknya berada di dekat balai kota. Itu merupakan kedai kopi terbaik menurutnya. Reanne bernapas lega karena ia datang disaat kafe itu sepi. Ini memang cukup siang untuk meminum kopi, jadi wajar saja jika tempat itu sepi.
Ia mendorong pintu kaca di depannya lalu indera penciumannya mulai bereaksi dengan aroma kopi yang cukup pekat.
"Ms. Lee? Astaga, sudah lama kau tak datang kemari!"
Reanne menoleh pada seorang pria yang bekerja di bagian kasir tempat ini lalu wanita itu memeluknya kencang,"Oh Tuhan, Ray! Sudah lama tak menjumpai mu!"
Pria bernama lengkap Raymond itu tersenyum lebar,"Jadi bagaimana kabarmu? Kau terlihat lebih gemuk dari yang terakhir kali."
Reanne menggembungkan pipinya. Memang, berat badannya naik 4 kilogram tiga hari yang lalu. "Ya, aku baik-baik saja. Aku sudah berhenti bekerja pada Noah."
"Benarkah?! Hutangmu lunas?" Reanne duduk di kursi bar lalu menumpukan tangannya di atas meja. Raymond duduk di seberangnya dan menatap bingung pada Reanne.
"Ada apa?"
"Well, aku memang sudah bebas, kurasa. Hanya saja, aku takut Noah kembali."
Raymond memegang telapak tangannya, mencoba memberi kekuatan pada Reanne,"Tak apa, Reanne. Kau akan baik-baik saja. Di mana kau tinggal?"
"Aku tinggal di mansion Tuanku. Aku bekerja di sana."
"Nah, baguslah! Kau harus menata dirimu untuk jadi lebih baik lagi, Reanne. Aku akan membuatkan kopi kesukaanmu siang ini," Balas Raymond lalu ia beranjak untuk membuatkan Reanne kopi.
Reanne terduduk diam di tempatnya. Ia tidak mengerti mengapa serpihan-serpihan masa lalu itu kembali menyeruak ke dalam pikirannya. Ia ingat bagaimana ibu dan ayahnya mati bunuh diri akibat jatuh miskin, atau kakaknya Brent yang dengan tega menjualnya pada Noah. Reanne tidak ingin memikirkannya, tapi otaknya lagi-lagi mengingat hal yang sama setiap hari. Dia takut dan dia sendirian. Reanne tak punya tujuan hidup lagi rasanya setelah semua yang ia punya harus direnggut paksa dari kehidupannya.
Bel di pintu itu berbunyi, menandakan ada pelanggan lain yang masuk. Reanne menoleh dan ia membelalakkan matanya.
Aaron disini. Dia datang bersama Tuan Grissham Senior.
Reanne menutup wajahnya dengan buku menu di atas meja, berharap saja kalau Aaron tak menyadari keberadaannya atau dia akan memecat Reanne karena pergi tanpa sepengetahuannya dan meninggalkan banyak pekerjaan di rumah. Sial!
Raymond kembali dengan wajah sumringah dan ditangannya ia membawa cangkir kecil berisi kopi hangat,"Reanne, ini kopimu."
...
Aaron hendak meraih kunci mobilnya di atas meja saat ia mendengar pintu ruangannya terbuka. Ayahnya masuk ke dalam lalu menutup pintunya.
"Dad?"
"Nak, kurasa kita perlu bicara."
Pria itu menghela napasnya lalu kembali duduk di kursi putar,"Ayah mau bicara apa?"
"Ini soal-"
"Brittany lagi? Astaga, apa kalian tak bosan membahasnya?" Alex diam di kursi seberang Aaron. Ia memerhatikan wajah anaknya yang terlihat kalut. Sepertinya dia sedang ada masalah.
"Ya, ini memang tentang Brittany. Dia masuk rumah sakit tadi malam." Aaron menoleh cepat pada Alex,"Kenapa?"
"Dia terkena sakit keras, Aaron. Axelle menjadi dokter untuk Brittany dan dia mengatakan Brittany terkena kanker," Aaron memejamkan matanya. Apa Brittany punya permintaan terakhir, hah? Aaron tidak perlu menebak maksud dari kedatangan ayahnya kemari.
"Dia ingin kau menikahinya. Brittany tak ingin apapun selain dirimu, Aaron."
Alex tahu ini gila. Dia awalnya terkejut mendengar permintaan Brittany semalam yang mengatakan kalau dia sangat mencintai Aaron dan gadis Langford itu benar-benar ingin Aaron mempersuntingnya. Ia melirik perubahan raut wajah putranya yang tambah kacau. Alex pun mengerti kalau ini diluar kendali.
"Aku... Tidak bisa, Dad. Aku tak ingin menikah karena terpaksa apalagi hanya untuk menyenangi hati Brittany. Aku tak bisa, itu malah akan menyakitinya."
"Aku paham maksudmu, Aaron. Sudah coba kujelaskan pada Fred dan istrinya, mereka pun mengerti. Namun Brittany... Dia tidak." Aaron berdiri, ia meraih kunci mobilnya,"Ayah, kita bicara di kedai kopi saja. Aku benar-benar butuh kafein."
Dia melirik putranya yang berjalan cepat ke arah pintu lalu mengikutinya dalam diam. Alex mengetahui dari Axelle kalau Aaron sering meminum alkohol yang mana akan membuat Aaron makin terpuruk. Putranya satu ini selalu melampiaskan kekesalannya lewat alkohol.
TBC