Mengunjungi rumah mertua setelah menikah adalah sebuah keharusan. Nakia tahu hal itu dengan baik, hanya saja dia tidak bisa tersenyum ceria apalagi pura-pura antusias sementara mimpi buruknya dimulai dari sana. Jauh di lubuk hatinya, Nakia ingin menanggapi sambutan hangat Tante Asha—yang mulai sekarang dipanggilnya bunda—saat kedatangannya, tetapi tidak bisa. Rasanya sulit, bahkan sekadar menarik sudut bibir saja berat. Dia memutuskan lebih banyak diam dan mengangguk saja. Nakia yang ceria menghilang untuk sementara, berganti dengan Nakia mode sinis, mudah tersulut, ketus, dan pemarah. Radhi yang membuatnya jadi seperti itu. “Udah makan siang, Nak? Tadi dari rumah sakit langsung ke sini, ya?” tanya Bunda Asha. Beliau merangkul Nakia dari depan pintu, mengajak masuk, sampai menuntunnya ke