Angin malam menggigit kulit, menampar lembut wajah Adrian saat ia menatap danau yang beriak di bawah cahaya lampu redup. Air hujan menetes dari rambutnya ke leher kokohnya, dingin seperti ketakutan yang berusaha ia sembunyikan rapat-rapat. Zahira duduk di kursi penumpang, memeluk lututnya, diam. Keduanya terperangkap dalam keheningan yang lebih berat dari sekesdar kata-kata.
Adrian akhirnya memutar tubuhnya menghadap Zahira. “Kita tak bisa tinggal diam. Mereka tahu di mana kita.”
Zahira menatapnya dengan mata yang masih basah. “Kau bilang mereka mantan rekanmu, kan? Kalau begitu, pasti ada seseorang di antara mereka yang tahu cara berpikirmu.”
Ia mengangguk pelan. “Itu lah yang kutakutkan. Mereka tahu caraku bersembunyi, caraku melindungi orang. Mereka tahu segalanya tentagku.”
“Lalu apa rencanamu?”
Adrian menarik napas panjang, memandang ke luar jendela. “Ada satu tempat. Lama aku tidak ke sana. Dulu markas kecil yang kupakai sebelum keluar dari dunia itu. Tapi berbahaya kalau mereka sudah menebak arahku.”
Zahira menggenggam tangan Adrian, hangat dan bergetar. “Aku lebih takut kehilanganmu daripada takut pada mereka.”
Adrian menatap tangan itu lama, lalu meremasnya pelan. “Kau tak tahu seberapa gelap masa laluku, Zahira.”
“Aku tahu cukup untuk percaya kalau kau bukan lagi orang yang sama seperti mereka.”
Kata-kata itu menghantam jantungnya lebih keras dari peluru. Ia menyalakan mesin mobil dan memacu kendaraan menuju arah timur kota, ke kawasan industri tua yang sudah lama ditinggalkan. Jalanan licin, dan lampu jalan hanya menyala setengah. Di luar, langit hitam menggantung seperti menjadi klau pertanda buruk akn terjadi.
Mereka akhirya tiba di sebuah gudang tua di pinggir sungai. Bangunannya besar, tampak temboknya berlumut , dan pintu besinya karatan. Adrian turun lebih dulu, memeriksa sekitar, memastikan tak ada bayangan yang mengintai.
Zahira menatapnya dari dalam mobil siluet Adrian tampak seperti bayangan masa lalu yang tak ingin mati. Ia akhirnya keluar, melangkah pelan mendekat.
“Tempat apa ini?” tanyanya.
“Tempat di mana aku mulai belajar menjadi monster,” jawab sengan Adrian lirih.
Ia mendorong pintu besi hingga berderit pelan, dan aroma debu bercampur besi karat langsung menyergap. Di dalam, hanya ada meja tua, beberapa komputer rusak, dan layar monitor yang sudah mati. Namun di tengah-tengah ruangan itu, masih tergantung papan besar penuh potongan foto dan peta jejak operasi lama yang dulu pernah ia pimpin.
Zahira menatapnya ngeri. “Kau yang melakukan semua ini?”
Adrian menunduk. “Aku dulu... menganggap ini permainan. Mengintai, memeras, menghancurkan orang lewat data dan kode. Aku pikir aku mengendalikan dunia, tapi ternyata aku yang dikendalikan.”
Ia menatap layar monitor yang retak, pantulan dirinya sendiri terlihat buram. “Mereka memberiku nama kode: Kaze. Orang yang tak pernah bisa ditangkap angin. Tapi sekarang, angin itu berhenti, Zahira. Dan aku mulai merasa tertangkap oleh sesuatu yang lebih kuat.”
“Cinta?” Zahira berbisik, hampir tak terdengar.
Adrian menatapnya, tersenyum samar. “Mungkin. Tapi cinta membuatku lemah. Dan dalam dunia ini, kelemahan bisa membunuh.”
Belum sempat Zahira menjawab, suara langkah kaki terdengar dari luar gudang. Dua langkah, tiga, lalu sunyi kembali. Adrian langsung menyalakan senter kecil dan memberi isyarat agar Zahira bersembunyi di balik meja.
Pintu berderit perlahan. Sinar laser merah menembus celah, menari di udara berdebu. Adrian menarik napas, menyiapkan diri. Dari balik pintu, muncul sosok bertudung hitam membawa pistol peredam.
Adrian melangkah maju satu langkah, suara lantang tapi rendah. “Aku tahu kau diutus oleh Arion.”
Sosok itu diam, lalu tertawa pelan. “Masih cepat menangkap sinyal, Kaze. Tapi sayang, kali ini bukan cuma pesan peringatan.”
Mereka bertukar tatapan tajam. Sementara itu, Zahira menahan napas di balik meja. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri bersaing dengan suara hujan di luar.
Adrian bergerak cepat. Dengan satu gerakan refleks, ia melempar kunci inggris ke arah lampu gantung, membuat ruangan seketika gelap gulita. Suara tembakan peredam meletus, menembus udara, tapi meleset. Adrian menerkam sosok itu, keduanya bergumul di lantai.
“Berhenti, Adrian!” Zahira menjerit, tapi suaranya tertelan dentuman kecil berikutnya.
Setelah beberapa detik tegang, suara jatuh terdengar. Ketika lampu darurat menyala redup, Zahira melihat Adrian berdiri di atas tubuh lawannya yang kini tergeletak tak bergerak.
Adrian terengah-engah, darah menetes dari pelipisnya. Ia menatap Zahira dengan mata merah dan berkata lirih, “Kita tak punya waktu. Mereka pasti tahu sekarang di mana aku.”
Zahira menatap tubuh di lantai dengan ngeri. “Kau... kau membunuhnya?”
Adrian tak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, lalu mengambil kartu memori kecil dari saku jas lawannya. “Ini bukan soal membunuh atau tidak, Zahira. Ini soal bertahan hidup.”
Ia menghampiri Zahira dan menggenggam bahunya. “Dunia yang kucoba tinggalkan sudah kembali. Tapi aku janji, aku tak akan biarkan mereka menyentuhmu.”
“Bagaimana kalau mereka menyentuhmu duluan?” suaranya bergetar.
Adrian menatap dalam matanya. “Kalau itu terjadi, lari. Jangan pernah lihat ke belakang.”
Hujan makin deras di luar, seperti menegaskan akhir dari kedamaian yang tersisa. Adrian menatap pintu gudang yang kini terbuka separuh, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa benar-benar takut bukan pada kematian, tapi pada kehilangan.
Zahira mendekat, menggenggam wajahnya dengan kedua tangan. “Aku tak akan lari tanpa kamu.”
Adrian menutup matanya sebentar, menempelkan kening mereka. “Kau keras kepala… tapi mungkin itu satu-satunya alasan aku masih hidup.”
Di luar, suara mobil mendekat cepat. Lampu menembus kabut, dan beberapa bayangan bersenjata mulai turun. Adrian menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara dingin yang nyaris patah:
“Pertarungan sudah dimulai, Zahira.”
Dan malam itu, gudang tua di pinggir sungai menjadi saksi bagaimana cinta dan dosa bersatu dalam hujan menyulut babak baru yang akan menentukan hidup dan mati mereka berdua.
Hujan belum berhenti, tapi di antara setiap tetesnya, ada doa yang berbisik lembut ke langit. Zahira tahu, malam ini bukan akhir, melainkan awal dari badai yang sesungguhnya. Di tengah kegelapan, ia melihat kilatan cahaya mungkin dari senjata, mungkin dari harapan yang enggan padam. Adrian masih di luar sana, bertarung dengan masa lalunya. Dan di hatinya, Zahira berjanji, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi doa yang terus memanggil namanya. Sebab cinta sejati bukan tentang bersama, tapi tentang berani menyinari meski dalam hujan paling gelap.