Bab 17

1174 Kata
Hujan baru saja reda ketika Adrian melangkah keluar dari apartemennya. Bau tanah basah bercampur aroma logam dari jalanan yang tergenang menyambutnya. Lampu kota memantulkan bayangan di genangan air, seolah menggandakan kesepian yang ada di matanya. Malam itu bukan malam biasa ia tahu kalau sesuatu akan berubah. Langkahnya cepat namun penuh perhitungan. Setiap detik terasa panjang. Pikirannya masih terngiang oleh pesan yang baru diterimanya: Zahira tidak sekuat yang kau kira. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau. Ia tahu dunia yang dulu ia tinggalkan tak pernah benar-benar membiarkannya pergi. Ada seseorang di luar sana yang tahu semua tentang dirinya… bahkan tentang Zahira. Ia menyalakan mesin mobilnya, membiarkan suara mesin mengisi kesunyian. Tangannya bergetar saat memutar setir, bukan karena takut pada bahaya, melainkan karena bayangan Zahira yang mungkin sedang dalam ancaman. Tujuannya hanya satu malam itu menemui Zahira sebelum semuanya terlambat. Zahira sedang duduk di ruang tamu rumahnya, memegang cangkir teh yang sudah dingin. Pikirannya melayang, menatap layar ponsel yang belum juga berbunyi. Ada sesuatu di wajahnya malam itu gelisah tapi tetap lembut. Sejak Adrian jarang menghubunginya, ada rasa aneh yang tak bisa ia jelaskan. Ia tahu Adrian menyimpan sesuatu, rahasia yang tak pernah benar-benar dibuka. Namun entah mengapa, hatinya menolak menyerah. Ia percaya, di balik semua luka dan dinginnya tatapan Adrian, masih ada sisi manusia yang tulus. Suara mobil berhenti di depan rumah membuatnya tersentak. Zahira berdiri perlahan, menyingkap tirai. Dan di sana di bawah cahaya temaram lampu jalan terlihat Adrian berdiri, basah kuyup, menatap ke arahnya. “Adrian?” bisiknya. Ia segera berlari membuka pintu. Hujan masih menetes dari atap rumah, dan Adrian berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sulit dibaca. Napasnya berat, pandangannya tajam tapi juga lelah. “Kita perlu bicara,” ucapnya pelan. Zahira mengangguk, mempersilakan masuk. Begitu pintu tertutup, keheningan panjang menyelimuti mereka. Hanya suara jarum jam yang terdengar. Adrian berdiri di tengah ruangan, tak tahu harus mulai dari mana. Ia menatap Zahira perempuan yang begitu lembut, namun kini tanpa sadar berada di tepi bahaya yang ia bawa. “Ada yang mengincar kamu,” akhirnya ia berkata. Zahira mengernyit. “Mengincar aku? Maksudmu apa?” Adrian menelan ludah. “Aku baru saja menerima pesan. Dari seseorang yang… dulu satu dunia denganku. Mereka tahu tentangmu, tentang yayasan, tentang segalanya. Zahira, ini bukan lelucon.” Perempuan itu menatapnya lama, seolah mencoba membaca kejujuran di matanya. “Kenapa kau terlihat begitu takut, Adrian? Apa sebenarnya yang kau sembunyikan?” Adrian menarik napas panjang. Ia ingin mengatakan semuanya tentang masa lalunya sebagai peretas bayangan, tentang kelompok yang dulu bekerja dengannya, tentang dosa yang menjeratnya hingga kini. Tapi lidahnya kelu. “Dunia yang aku tinggalkan… tidak sesederhana itu,” ucapnya lirih. “Aku pikir aku bisa keluar, tapi ternyata mereka masih menganggapku milik mereka. Dan sekarang, mereka memakai kamu untuk menarikku kembali.” Zahira menggigit bibirnya. Ada rasa ngeri yang perlahan menjalar, tapi juga iba. “Kenapa aku, Adrian? Aku tidak punya hubungan dengan mereka.” “Itu karena kamu punya aku,” balas Adrian pelan. “Dan itu cukup untuk membuatmu jadi sasaran.” Zahira terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak takut, Adrian. Aku hanya ingin tahu… apakah semua ini berarti aku salah mempercayaimu?” Adrian menatapnya dalam, seolah waktu berhenti di antara mereka. “Kamu tidak salah. Aku yang salah, karena membiarkan kamu masuk ke dalam hidup yang seharusnya tidak pernah menyentuh cahaya sepertimu.” Air mata Zahira jatuh. Tapi ia tersenyum tipis yang membuat hati Adrian bergetar. “Aku percaya setiap orang bisa berubah. Termasuk kamu.” Adrian menatapnya lama, lalu tanpa sadar mendekat. “Zahira…” Namun sebelum kata itu sempat berlanjut, suara kaca pecah dari luar membuat mereka sama-sama menoleh. Adrian segera bereaksi, menarik Zahira ke belakang sofa dan menundukkan tubuhnya. Suara langkah cepat terdengar di luar rumah, lalu bayangan hitam melintas di jendela. “Diam di sini,” bisik Adrian tegas. Ia meraih pisau dapur di atas meja, refleks bertindak seperti dulu. Matanya tajam, pikirannya fokus. Namun begitu ia keluar, halaman rumah tampak kosong. Hanya suara angin yang berdesir dan tetesan air dari atap. Adrian menatap sekeliling dengan kewaspadaan penuh. Lalu, di pagar besi, ia melihat selembar kertas menempel, basah oleh hujan. Ia meraihnya perlahan. Tulisan di atas kertas itu membuat darahnya berdesir. “Kau tidak bisa melindunginya selamanya.” Tangannya mengepal. Rasa marah dan takut bercampur menjadi satu. Ia tahu ancaman ini baru permulaan. Dunia lamanya sedang mengetuk pintu, dan kali ini, mereka membawa Zahira dalam daftar korban. Ia kembali ke dalam rumah. Zahira menatapnya dengan tatapan cemas. “Siapa mereka?” tanyanya pelan. Adrian tak menjawab. Ia hanya menatap perempuan itu lama, sebelum akhirnya berkata lirih, “Kita harus pergi dari sini.” Zahira sempat ingin menolak, tapi melihat tatapan Adrian yang begitu serius, ia memilih diam. Dalam waktu singkat, Adrian mematikan semua lampu rumah, memastikan jalur keluar aman. Ia tahu ini bukan sekadar ancaman ini peringatan. Malam semakin pekat. Mobil mereka melaju di jalanan sepi, lampu-lampu kota berganti satu per satu seperti bayangan masa lalu yang terus mengejar. Zahira duduk diam di kursi penumpang, sesekali menatap wajah Adrian dari samping. Ada kelelahan di sana, tapi juga tekad yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. “Aku tidak ingin kamu terluka karena aku,” ucap Adrian tiba-tiba. Zahira menatapnya. “Aku tidak peduli siapa kamu dulu, Adrian. Aku hanya tahu siapa kamu sekarang.” Kata-kata itu membuat d**a Adrian sesak. Ia ingin percaya, tapi bagian dalam dirinya tahu bahwa dunia tidak sesederhana itu. Orang-orang seperti dirinya tidak diberi kesempatan kedua apalagi cinta. Hujan mulai turun lagi, membasahi kaca depan. Adrian memperlambat laju mobil, mencari tempat aman. Mereka berhenti di pinggir danau yang sepi, di mana hanya suara hujan dan angin yang menemani. Adrian menatap ke luar, lalu berkata dengan suara berat, “Kalau suatu hari aku tidak bisa melindungimu, Zahira… aku ingin kamu berjanji untuk tetap hidup. Jangan biarkan dunia yang kotor ini merenggut keyakinanmu.” Zahira menatapnya lembut. “Aku tidak butuh janji, Adrian. Aku butuh kamu. Selama kamu masih berjuang, aku akan tetap percaya.” Adrian memejamkan mata. Ada perasaan hangat yang aneh, seperti sesuatu yang sudah lama hilang kini kembali. Namun sebelum ia sempat membalas, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, bukan pesan melainkan panggilan video tanpa nama. Adrian menatap layar itu sejenak, lalu menjawab. Sebuah wajah muncul di layar wajah yang membuat darahnya membeku. “Lama tidak bertemu, Adrian,” suara di seberang terdengar tenang tapi mengancam. “Kau berubah… tapi tetap bodoh. Membiarkan perasaan menguasai logika.” “Jika kau menyentuh dia—” “Terlambat,” potong suara itu dingin. “Kami sudah tahu di mana kalian bersembunyi.” Sambungan terputus. Adrian menatap layar kosong itu lama. Tangan kirinya mengepal, sementara tangan kanannya perlahan menyalakan mesin mobil lagi. Zahira menatapnya bingung. “Ada apa?” Adrian menoleh dengan sorot mata tajam, tapi suaranya nyaris bergetar. “Mereka datang.” Dan malam itu, di tengah hujan deras yang menelan cahaya, dua dunia yang seharusnya tak pernah bersinggungan mulai saling bertabrakan. Adrian dan Zahira—dua jiwa yang tak seharusnya bersatu kini terikat dalam satu garis takdir yang hanya mengarah pada satu kata: pertaruhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN