Bab 16

1016 Kata
Adrian menatap layar laptopnya yang menyala redup, jari-jarinya terhenti di atas keyboard. Barisan kode yang biasanya ia kuasai dengan mudah kini tampak kabur, seakan otaknya menolak bekerja. Ada wajah lain yang terus muncul di benaknya, wajah seorang perempuan yang selalu membawa kedamaian setiap kali ia mengingatnya Zahira. Sejak pertemuan terakhir, Adrian merasa ada perubahan dalam dirinya. Ia yang biasanya dingin dan penuh perhitungan kini mulai sering kehilangan fokus. Zahira seolah berhasil menembus dinding keras yang ia bangun bertahun-tahun lamanya. Senyum lembut perempuan itu, suara teduhnya, bahkan caranya menatap dengan penuh keyakinan, semuanya melekat dan sulit dihapus. Namun di balik itu, ketakutan yang ia simpan semakin menguat. Adrian tahu, dunia yang ia masuki bukanlah dunia yang bisa ia tinggalkan begitu saja. Dunia itu penuh ancaman, penuh orang yang siap menyeretnya kembali setiap kali ia mencoba melangkah keluar. Malam itu, telepon berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar. Adrian ragu, tapi akhirnya mengangkat. Suara berat dan sinis terdengar di seberang. “Kau pikir bisa lari begitu saja? Hutang darahmu belum lunas, Adrian. Kau tahu itu.” Jantung Adrian berdegup kencang. Suara itu berasal dari masa lalu yang seharusnya telah ia kubur. Matanya terpejam rapat, mencoba menenangkan diri. Namun, dalam hatinya ia tahu, semua belum berakhir. Keesokan harinya, Zahira mengajaknya ke sebuah panti asuhan. Adrian datang dengan ragu, tapi saat ia melihat Zahira berinteraksi dengan anak-anak, hatinya luluh. Tawa kecil bocah-bocah itu, ditambah ketulusan Zahira, membuatnya merasa ada harapan. Ada bagian dalam dirinya yang masih bisa diselamatkan. Namun, tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan dari kejauhan. Tatapan penuh kebencian itu mengikuti setiap gerak-gerik Adrian. Bahaya semakin dekat, dan Adrian tahu cepat atau lambat, ia harus memilih: tetap tenggelam dalam masa lalu, atau berjuang demi masa depan yang mungkin tak pernah benar-benar bisa ia genggam. Malam itu Adrian berdiri di balkon kecil apartemennya. Lampu-lampu kota berkelip, tapi hatinya terasa kosong. Zahira sudah berhasil menyulut api kecil di tengah gelap hidupnya, namun api itu bisa padam kapan saja jika bayangan masa lalu kembali menyerang. Ia menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang merayap dalam dadanya. “Zahira... apa kau sadar, kau sedang mendekati api yang sewaktu-waktu bisa membakar?” bisiknya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh angin malam. Ada rasa rindu yang mendesak, ingin sekali ia terus berada di dekat Zahira. Tetapi ada pula rasa takut yang lebih besar: kehilangan perempuan itu karena ulah masa lalu yang tak kunjung selesai. Adrian sadar, kebahagiaan dan ketenangan yang sempat ia rasakan hanyalah jeda singkat sebelum badai besar datang menghantam. Zahira, dengan segala ketulusan dan keyakinannya, belum tahu bahwa di balik senyum Adrian ada luka yang belum sembuh, ada musuh yang belum menyerah, ada rahasia yang bisa menghancurkan segalanya. Malam itu Adrian menatap langit gelap yang tak berbintang. Ia tahu, di hadapannya hanya ada dua pilihan: terus berlari dari masa lalu dan menyeret orang yang ia cintai ke dalam bahaya, atau berdiri menghadapi semuanya meski harus kehilangan. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Adrian merasa benar-benar takut bukan pada ancaman dunia gelap yang membayanginya, melainkan pada kemungkinan kehilangan cahaya yang baru saja hadir dalam hidupnya. Suara hujan kian deras, namun bagi Adrian itu hanya latar sunyi yang mempertebal kegelisahan di dadanya. Matanya terpaku pada layar, menelusuri jejak digital yang samar. Dan di antara barisan kode yang ia buka, sebuah nama muncul begitu jelas, membuat jantungnya berhenti sejenak: Almira Foundation. Yayasan Zahira. Ia menelan ludah, tak percaya dengan apa yang dilihat. Ada seseorang yang berusaha menyusup ke dalam sistem yayasan itu, sama lihainya dengan dirinya. Bukan pekerjaan amatir, melainkan tanda tangan digital yang khas—sebuah pesan terselubung, seakan sengaja ditinggalkan. “Jika kau ingin melindunginya, temui aku sebelum mereka menemukannya.” Adrian menutup laptop dengan kasar. d**a sesak, pikirannya kacau. Itu artinya, Zahira bukan hanya cahaya yang menyinari kegelapannya, tetapi juga target dari dunia yang selama ini ia kuasai. Dan jika benar ada orang lain sekuat dirinya yang mengincar yayasan itu, maka waktu mereka sangat sedikit. Ia berjalan ke cermin, menatap wajah sendiri yang pucat dan penuh guratan letih. “Aku tidak bisa lagi hanya menjadi bayangan,” bisiknya. “Jika Zahira terlibat... aku harus memilih sekarang.” Namun di balik kata-kata itu, ada rasa takut yang begitu nyata. Adrian tahu, semakin ia melangkah mendekati Zahira, semakin ia menyeret perempuan itu ke dalam pusaran berbahaya yang tidak akan memberinya kesempatan kedua. Malam itu, di bawah hujan yang terus menetes, Adrian menggenggam sebuah tekad—ia akan mendatangi Zahira. Bukan hanya untuk melindunginya, tetapi juga untuk menemukan jawaban: apakah cahaya benar-benar masih ada untuknya, atau hanya ilusi yang akan hancur begitu disentuh. Langkah Adrian terhenti di ambang pintu apartemennya. Angin malam menyelinap lewat celah kecil, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Tangannya sempat ragu memegang gagang pintu, seolah tahu bahwa begitu ia keluar, tak ada jalan untuk kembali. Di balik dinding, dunia luar menunggu—dunia yang penuh intrik, pengkhianatan, dan darah. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Bukan sekadar pertempuran dendam, melainkan taruhannya adalah seseorang yang membuatnya kembali merasakan arti hidup. Ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan singkat masuk, nomor tidak dikenal, hanya satu kalimat: “Zahira tidak sekuat yang kau kira.” Adrian terpaku, tubuhnya menegang. Pesan itu seperti peluru yang menembus hatinya. Ia tak tahu siapa pengirimnya, tapi jelas, ada yang mengawasi setiap gerakannya. Musuh lebih dekat dari yang ia duga, dan mereka tahu titik lemahnya. Ia mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Semua dendam yang ia simpan bertahun-tahun tiba-tiba terasa remeh dibandingkan bayangan Zahira yang mungkin saja terancam saat ini. Hatinya berteriak, menolak kenyataan bahwa seseorang bisa menyentuh cahaya yang baru saja ia temukan kembali. Adrian menatap ke luar jendela, ke arah kota yang berkilau dengan cahaya neon. “Jika kalian berani mendekatinya,” gumamnya lirih, “aku akan menunjukkan arti sebenarnya dari kegelapan.” Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Adrian tidak hanya bergerak demi balas dendam. Malam itu, ia keluar dari apartemen dengan satu tekad: menyelamatkan Zahira, meski itu berarti menyingkap seluruh masa lalunya yang ia sembunyikan rapat. Namun ia tak tahu, langkah ini akan membuka pintu ke rahasia yang lebih besar rahasia yang bukan hanya akan mengguncang dirinya, tapi juga dunia yang selama ini dianggapnya hitam dan putih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN