Suara detak mesin monitor terdengar pelan di ruangan putih itu, seolah menjadi satu-satunya tanda bahwa kehidupan masih bertahan. Zahira duduk di tepi ranjang, jemarinya menggenggam tangan Adrian yang dingin. Tubuh lelaki itu dipenuhi perban, beberapa alat medis menempel di dadanya, dan wajahnya tampak pucat hampir tanpa warna. Sudahtiga hari sejak kejadian di dermaga. Tiga hari Zahira belum tidur dengan benar, hanya duduk di sana, menunggu matanya terbuka. Dokter bilang keadaannya stabil tapi belum sadar. Setiap kali mendengar kata belum sadar, hatinya seperti diremuk. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi setiap embusan terasa berat. Pandangannya jatuh pada tangan Adrian yang besar tapi lemah di genggamannya. “Kau selalu bilang tak takut mati,” bisiknya lirih, “tapi

