Bab 14

1015 Kata
Malam itu udara Jakarta terasa sesak. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma aspal basah yang bercampur dengan asap kendaraan. Adrian berdiri di balkon apartemennya yang tinggi, sebatang rokok terselip di bibir. Asap putih mengepul, lenyap ditelan gelap malam. Dari kejauhan, kilatan lampu kota terlihat seperti bintang palsu, berkerlap-kerlip tanpa jiwa. Ia baru saja pulang setelah dua hari penuh tenggelam dalam dunia maya. Begitu banyak sistem yang ia bobol, begitu banyak uang haram yang dipindahkan dari rekening orang-orang yang menurutnya pantas dihancurkan. Namun, seperti biasa, tak ada rasa puas. Kekosongan tetap menggantung di dadanya. Di meja kerjanya, layar komputer masih menyala. Nama "Yayasan Cahaya Almira" terpampang jelas pada riwayat transaksi terakhir. Ia menyandarkan tubuh pada kursi, menatap layar dengan tatapan kosong. Sesuatu dalam dirinya berontak setiap kali nama itu muncul. Seolah ada bagian hatinya yang enggan berkompromi dengan kebiasaan gelap yang sudah lama menjadi jalannya. Wajah Zahira kembali berkelebat di benaknya. Senyumnya, sorot matanya, tutur katanya yang tenang—semua terasa terlalu nyata untuk diabaikan. Padahal, ia hanya melihatnya dari kejauhan. Adrian mengepalkan tangan, seakan ingin mengusir bayangan itu. Namun semakin keras ia berusaha melupakan, semakin jelas pula bayangan Zahira hadir. "Kenapa harus dia?" bisiknya lirih. Ingatan masa SMA kembali merangsek masuk. Gadis itu pernah duduk tak jauh darinya, di perpustakaan sekolah yang sunyi. Zahira dengan jilbab rapi, buku-buku tafsir dan sejarah Islam terbuka di hadapannya. Adrian masih ingat bagaimana gadis itu tersenyum tipis ketika ia meminjam penghapus yang jatuh di mejanya. Senyum sederhana yang waktu itu berhasil menggetarkan hatinya yang masih polos. Tapi semua itu masa lalu. Ia bukan lagi Adrian yang sama. Ia bukan remaja lugu yang rajin mengikuti pengajian selepas sekolah. Kini ia adalah sosok yang dikenal dunia bawah tanah sebagai "GhostFlame"—hantu yang mengobrak-abrik sistem dengan sekali sentuhan. Dunia memanggilnya legenda, tapi ia sendiri tahu bahwa julukan itu hanyalah kutukan. Sementara itu, di sisi lain kota, Zahira duduk di ruang tamu rumah megah keluarga Almira. Lampu gantung kristal menggantung indah di atas kepalanya, memantulkan cahaya ke sekeliling ruangan yang serba putih. Meski tinggal di istana yang dipenuhi kemewahan, hatinya tak pernah merasa lekat dengan semua itu. Tangannya memegang sebuah map berisi laporan yayasan. Di sana, tercatat aliran dana misterius yang kembali masuk dalam jumlah besar. Ia mengerutkan kening. Sudah beberapa kali hal ini terjadi. Nominalnya luar biasa, tetapi sumbernya tak pernah jelas. "Donatur anonim lagi," gumamnya. "Siapa sebenarnya yang selalu mengirim uang ini?" Ada rasa penasaran yang menggelitik hatinya. Namun bersamaan dengan itu, ia juga merasa khawatir. Dunia penuh dengan tipu daya. Apa jadinya bila ternyata uang itu berasal dari sumber yang kotor? Ia tidak ingin yayasan yang ia rawat sejak awal ternodai oleh hal-hal yang bisa mencoreng nama baik. Telepon genggamnya bergetar. Sebuah pesan dari sahabatnya, Naila, masuk. “Zahira, besok jangan lupa hadir di kampus. Ada seminar yang kamu janjikan untuk jadi pembicara.” Zahira menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, meski hanya pada dirinya sendiri. Rutinitas sebagai dosen tetap harus dijalani, meski pikirannya sering kali terbagi antara dunia akademik dan tanggung jawab sosial. Keesokan harinya, Adrian duduk di kafe kecil tak jauh dari kampus. Ia sengaja memilih sudut paling sepi, mengenakan hoodie gelap yang menutupi sebagian wajah. Kopi hitam di depannya sudah dingin, tapi ia tak peduli. Pandangannya menembus kaca besar kafe, langsung ke arah gedung kampus yang ramai. Hari itu Zahira dijadwalkan mengisi seminar. Adrian sudah tahu, karena ia selalu punya cara untuk mengakses informasi yang tak dimiliki orang lain. Ia berkata pada dirinya bahwa ia hanya ingin melihat, sekadar memastikan kalau gadis itu memang nyata, bukan ilusi yang diciptakan pikirannya yang lelah. Jam demi jam berlalu. Ruang auditorium dipenuhi mahasiswa. Dari jauh, Adrian bisa melihat Zahira melangkah masuk, sederhana namun anggun. Jilbab putih membingkai wajahnya, senyum tenang menghiasi bibirnya. Suaranya terdengar lembut saat mulai berbicara. Ia bicara tentang kejujuran, tentang integritas, tentang bagaimana generasi muda harus berani melawan arus meski dunia sering menawarkan jalan pintas. Adrian yang biasanya kebal pada kata-kata, mendapati dirinya terpaku. Kalimat demi kalimat Zahira menembus lapisan dinding tebal yang sudah lama ia bangun di dalam hatinya. Namun, bersamaan dengan itu, rasa marah juga membuncah. Dunia Zahira penuh cahaya, penuh ketulusan. Sedangkan dirinya? Dunia Adrian penuh darah, dendam, dan dosa. Mereka bagaikan dua garis sejajar yang mustahil bertemu. Ia bangkit dari kursi, melempar uang ke meja, lalu melangkah cepat meninggalkan kafe. Tak tahan lagi dengan pertarungan dalam dirinya. Malam tiba. Adrian kembali duduk di depan layar komputer. Kali ini bukan sekadar membobol sistem. Kali ini ia membuka berkas-berkas lama yang sudah lama ia kunci. Dokumen-dokumen tentang keluarganya, foto lama ketika ayah dan ibunya masih hidup, serta catatan tentang malam mengerikan yang merenggut segalanya. Ia menatap foto lamanya di masa SMA. Di sana, ada dirinya yang masih lugu, dan—tepat di belakangnya—tampak sosok Zahira, tengah tersenyum pada seorang teman. Adrian tertegun. "Senyum itu… sejak dulu selalu sama." Tangannya gemetar. Ia ingin membenci, tapi hatinya menolak. Ia ingin melupakan, tapi ingatan selalu menjeratnya. Zahira, di waktu yang sama, berdiri di balkon rumahnya. Angin malam membelai lembut wajahnya. Pikirannya kembali pada dana anonim yang mengalir ke yayasan. Ia menatap bintang di langit. “Ya Allah,” doanya lirih, “siapapun yang Engkau kirimkan untuk membantu anak-anak itu, berikanlah hidayah padanya. Jangan biarkan dia tersesat dalam jalannya sendiri.” Doa itu meluncur tulus, tanpa ia tahu bahwa lelaki yang ia doakan, pada saat yang sama, sedang terjebak dalam pusaran gelap—dan ia sendiri adalah cahaya terakhir yang mungkin mampu menyelamatkan lelaki itu dari dirinya sendiri. Namun, jalan menuju titik itu masih panjang, penuh duri, penuh rahasia. Dan Adrian, malam itu, akhirnya menyadari satu hal. Jika terus mendekati Zahira, ia akan kehilangan kendali atas dirinya. Tapi jika menjauh, ia tahu, bayangan itu akan menghantui sampai akhir hidupnya. Di kursi hitam yang dingin, ia menatap layar kosong, lalu berbisik pada dirinya sendiri, "Aku harus memilih… cahaya atau kegelapan. Tapi apakah aku sanggup menanggung akibatnya?" Dan pertanyaan itu menjadi luka baru yang membayanginya sepanjang malam, menuntun pada jalan cerita yang akan semakin mengikat antara dirinya dan Zahira. Cinta itu sederhana namun pada mereka, ia menjelma luka, antara cahaya yang ingin menyelamatkan dan bayangan yang enggan dilepaskan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN