Bab 13 – Jejak yang Tak Pernah Hilang

1108 Kata
suatu hari Adrian duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang baru saja ia matikan. sesaat bayangan pesan ancaman yang dikirim kepadanya masih melekat jelas di benaknya. Kata-kata itu seperti pisau dingin yang menancap dalam, menusuk hatinya dengan rasa gelisah. Bukan karena ia takut, tapi karena ia khawatir orang lain `terutama Zahira akan terseret dalam pusaran gelap yang telah lama ia jalani selma ini. Tangannya kemudian terangkat untuk menutupi wajah dengan perasaan yang berkecamuk. Di balik kelopak matanya yang terpejam, muncul kilasan masa lalu. Sebuah dunia yang begitu jauh berbeda dari kehidupannya sekarang. Dunia yang` di mana ia masih percaya pada doa, masih percaya bahwa kebaikan akan selalu menang. dan dunia ketika ia masih saat SMA, dengan senyum yang polos, langkah yang ringan, dan hati yang bersih. Semua dimulai dari satu momen yang sangat sederhana. Hari itu, ketika bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Lorong pun dipenuhi siswa yang berlarian, beberapa tertawa keras, sebagian lagi berlarian menuju halte bus. Adrian terlihat berjalan santai, merapikan buku-buku ke dalam tas lusuhnya. Ia memang bukan anak orang berada, tetapi ia selalu terlihat rapi, wangi, dan penuh percaya diri. Teman-temannya mengenalnya sebagai anak yang rajin ikut kegiatan rohis, sering menjadi imam salat di mushola sekolah, dan tak pernah segan menolong siapa pun yang memerlukan bantuan. Dan di tengah keramaian itulah, matanya pertama kali benar-benar menangkap sosok gadis yang kemudian menghuni hatinya selama bertahun-tahun. Zahira. Perempuan dengan seragam rapi, rambut hitam panjang tergerai indah, dan tatapan teduh yang entah kenapa langsung membuat d**a Adrian lagsung bergetar saat itu. Ia baru pindah sekolah saat itu, anak baru dari keluarga kaya yang namanya langsung jadi buah bibir di setiap kelas bahkan di semua siswa membicarakannya sosok akan Zahira. Tapi Zahira berbeda dari bayangan gadis populer pada umumnya. Ia tidak sombong, tidak banyak bicara. Justru kesederhanaan sikapnya yang membuatnya menonjol. Adrian masih ingat betul, hari pertama Zahira tersenyum padanya. Bukan senyum yang disengaja untuk menarik perhatian, melainkan senyum tulus karena ia hampir menabrak Adrian saat keluar dari perpustakaan. Buku-buku yang dibawanya terjatuh berserakan. Adrian, dengan sigap, membantu memungutinya. “Terima kasih…” suara lembut itu masih terekam jelas di telinga Adrian. Ia hanya mengangguk, tapi sejak detik itu, ada ruang kosong di hatinya yang tiba-tiba terisi. Hari-hari berikutnya, tanpa sadar, Adrian selalu memperhatikan Zahira. Saat ia membaca di pojok perpustakaan, ketika ia berbincang dengan guru, atau bahkan saat ia menunduk serius mencatat pelajaran. Ada ketenangan yang sulit dijelaskan setiap kali matanya menangkap sosok itu. Namun Adrian bukan tipe yang mudah mengumbar perasaan secara gambalng. Ia sangat menjaga diri, terlalu takut kalau perasaan yang ia simpan justru akan menodai niat baiknya. Jadi, ia memilih diam. Mengagumi akan sosok Zahira dari jauh. Menjaga rasa itu rapat-rapat, hanya diketahui dirinya sendiri dan Tuhan yang ia sembah. Suatu sore, setelah kegiatan rohis selesai, Adrian duduk di serambi mushola sekolah, menunggu hujan reda. Zahira datang tergesa-gesa, berlari kecil sambil menutupi kepalanya dengan buku. Ia terjebak hujan juga. dan tu Entah keberuntungan atau takdir, hanya ada mereka berdua di tempat itu. “Kamu juga kehujanan?” Zahira menyapanya, napasnya sedikit terengah efek berlari tadi. Adrian tersenyum tipis. “Iya. Lagi nunggu reda, sekalian menunggu dijemput.” “Oh…” Zahira mengangguk, lalu duduk tak jauh darinya. Hening tercipta di antara mereka. Hanya suara hujan yang mengguyur atap seng mushola. Adrian menunduk, hatinya berdegup kencang. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Lalu, tanpa diduga, Zahira ternyata bersuara lagi. “Aku sering lihat kamu di perpustakaan. Kamu suka baca, ya?” Adrian tersenyum dengan malu. “Lumayan. Kalau nggak baca, kadang bantu teman belajar.” Percakapan kecil itu jadi awal. Dari hari ke hari, mereka mulai lebih sering saling sapa. Zahira kadang bertanya soal pelajaran yang sulit. Adrian dengan senang hati menjelaskan. Tidak ada yang istimewa bagi orang lain, tapi bagi Adrian, setiap detik bersama Zahira adalah sebuah hadiah. Namun, cinta remaja itu hanya tumbuh dalam diam. Adrian tahu batas. Zahira terlalu jauh dari jangkauannya gadis kaya, pintar, dan punya banyak pilihan. Sedangkan ia hanya remaja sederhana dengan masa depan yang masih samar. Meski begitu, rasa itu terus hidup. Bahkan ketika Adrian tak pernah mengungkapkannya, ia menyimpan tekad kalau suatu hari nanti, jika ia sudah cukup pantas, ia ingin berdiri di hadapan Zahira, bukan hanya sebagai teman sekolah, tapi sebagai seorang lelaki yang berani menjaga dan melindunginya. Sayang, takdir berkata lain. Kilasan itu mengalir deras di benaknya, sampai Adrian kembali membuka mata. Rasa sakit menghantam dadanya. Semua yang indah itu kini hanya tinggal kenangan. Ia bukan lagi remaja polos dengan doa-doa sederhana. Ia kini seorang hacker yang hidup di antara dosa dan darah, di dunia penuh dendam. Dan Zahira… tetaplah Zahira. Masih sama, masih bersih, masih tulus. Perempuan yang dulu ia kagumi dalam diam, kini hadir kembali di hidupnya. Bedanya, ia tidak lagi pantas berada di sisinya. Adrian menggenggam erat tangannya, seakan mencoba menahan gemuruh hatinya sendiri. Bayangan wajah Zahira muda, dengan seragam putih abu-abu, terus menghantuinya. Senyuman itu… tatapan itu… semuanya tetap sama, meski tahun telah berganti. dan semakin ia mengenang, semakin ia sadar kalau apa pun yang ia lakukan sekarang, satu hal tak akan pernah berubah. Ia mencintai Zahira. Sejak dulu, hingga kini, dan mungkin selamanya. Adrian berdiri, melangkah ke jendela besar yang menghadap ke jalan. Lampu kota berkelip di kejauhan, tapi hatinya justru makin terasa gelap. Kenangan masa sekolah barusan bukanlah penghiburan—melainkan luka lama yang dibangkitkan kembali. Ia menyalakan rokok, menarik dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara malam. Asapnya melayang, seperti masa lalunya yang ia kira sudah habis terkubur, kini muncul lagi, mengusik setiap sudut pikirannya. “Zahira…” gumamnya lirih. Nama itu seperti mantra yang tak pernah bisa ia hapus. Namun realitas segera menampar. Bukan lagi sekadar hujan sore di mushola sekolah. Bukan lagi percakapan sederhana tentang buku dan pelajaran. Kini yang ada hanyalah jurang lebar di antara mereka. Ia, seorang buronan yang hidup dalam bayang-bayang dosa. Dan Zahira, seorang perempuan bercahaya yang berdiri di tengah orang banyak, membawa nama besar keluarga, membawa harapan banyak anak yatim. Adrian mengepalkan tangan. “Kalau aku tetap di dekatmu… kau pasti ikut terbakar.” Tapi semakin keras ia mencoba menjauh, semakin kuat pula tarikan itu. Sama seperti dulu, sejak senyum pertama Zahira menembus pertahanan hatinya. Bedanya, kini ia tidak punya kemewahan untuk sekadar mengagumi dari jauh. Ancaman yang datang padanya baru awal. Ia tahu, musuhnya sudah mulai mengintai. Dan cepat atau lambat, nama Zahira akan masuk ke dalam daftar target. Adrian menutup matanya, d**a berdegup keras. “Apa aku sanggup membiarkanmu tetap bersinar… tanpa harus menyeretmu masuk ke dalam kegelapanku?” Pertanyaan itu menggantung, membelah pikirannya seperti pedang tajam. Karena untuk pertama kalinya, Adrian sadar cinta masa lalu yang dulu ia jaga dalam diam, kini bisa berubah menjadi kutukan yang mematikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN