Pagi menjelang dengan langit kelabu, sisa hujan malam meninggalkan aroma tanah basah yang pekat. Zahira berjalan pelan di halaman yayasan, menyapa beberapa anak yang sedang bermain. Senyumnya tetap terukir, tetapi matanya sembab karena semalaman ia hampir tidak tidur.
Di tangannya ada sebuah berkas yang masih mengusik pikirannya. Laporan donasi anonim yang kembali masuk, jumlahnya terlalu besar untuk diabaikan. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan hati. “Kalau ini kebaikan, semoga Allah memberkahinya. Tapi kalau bukan…” suaranya terputus, penuh dengan keraguan.
tak lama berselang Seorang staf yayasan menghampirinya. “Kak Zahira, ada tamu di ruang depan. Katanya ingin bicara soal donasi.”
Degup jantungnya langsung tak beraturan. Tamu itu bukan sembarang orang pria asing yang menyebut dirinya hanya sebagai penerus pesan. Ia duduk di kursi tunggu dengan wajah serius, pakaian sederhana tapi sorot mata terlalu tajam untuk diabaikan.
“Assalamu’alaikum,” sapa Zahira hati-hati.
Pria itu tersenyum tipis. “Wa’alaikumussalam. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa yayasan ini sedang diperhatikan banyak pihak. kan tetapi tidak semua menyukai caranya bertahan.”
Zahira menatapnya bingung. “Maksud Anda apa ya?”
“Uang yang masuk tidak selamanya datang dari tangan bersih. Kadang ada darah yang menempel di baliknya.”
Kata-kata itu menancap seperti paku. Zahira mengerutkan kening. “Tapi kami selalu memastikan sumber donasi aman. Kami tidak pernah menerima dana kotor.”
Pria itu tertawa pendek, lalu berdiri. “Ada seseorang yang memastikan uang itu selalu mengalir ke sini. Kau mungkin tidak tahu siapa dia, tapi dia tahu segalanya tentangmu.”
Zahira terdiam. Kata-kata itu menyisakan tanda tanya yang lebih besar daripada jawaban.
Sementara itu, di sebuah ruang apartemen gelap, Adrian kembali membuka berkas lama. Foto keluarganya terpajang di layar, ayah, ibu, dan adiknya yang kini tinggal kenangan. Jemarinya berhenti di foto seorang gadis SMA di pojok bingkai. Senyumnya lembut, mata teduh, sama seperti yang kini menghantuinya. Zahira.
“Sudah bertahun-tahun… dan kau masih sama seperti yang dulu,” gumamnya.
Namun sebelum ia bisa larut lebih jauh, laptopnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari sistem yang ia susun sendiri: Ada peretas lain yang melacakmu.
Mata Adrian langsung tajam. Seseorang berusaha menembus pertahanannya, sesuatu yang hampir mustahil. Ia mengetik cepat, melawan serangan digital itu, hingga sebuah tanda identitas muncul di layar: lambang organisasi gelap yang pernah menghancurkan keluarganya. Dadanya membara. “ck, ternayata Mereka kembali.”
Adrian menutup laptop dengan kasar, lalu bangkit. Dunia nyata dan maya kini mulai bersinggungan, dan Zahira tanpa sadar sudah berada di jalur berbahaya.
Adrian berdiri di depan jendela, menatap kota yang berkilau di bawah cahaya pagi. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Nama organisasi itu masih terpampang jelas di layar memorinya, lambang yang selama ini ia buru. Setiap kali mengingatnya, darah seakan mendidih.
Namun di sela amarah itu, wajah Zahira kembali muncul, seolah menjadi garis tipis yang memisahkan antara dendam dan kewarasan. Hatinya memberontak. Ia ingin menjauh, tapi sekaligus tidak bisa berhenti mendekat.
“Kenapa kau harus muncul lagi di hidupku sekarang?” bisiknya, suara parau nyaris pecah.
Di sisi lain, Zahira duduk sendirian di ruang kerja yayasan. Kata-kata pria misterius tadi terus menggaung. Ia menatap tumpukan amplop donasi, lalu menyentuh d**a, merasakan denyut jantung yang tidak biasa. Ada firasat, sesuatu yang besar sedang menunggu di depan. Sesuatu yang bukan hanya menyangkut yayasan, tapi juga dirinya pribadi.
Ia menutup mata, berdoa lirih, “Ya Allah, lindungi aku dari fitnah dunia. Jika ada seseorang yang Kau kirimkan dalam hidupku, jadikan ia jalan menuju ridha-Mu, bukan jalan menuju kehancuran.”
Doa itu begitu tulus, tetapi di kejauhan, seorang lelaki justru sedang tenggelam dalam pergulatan yang bertolak belakang. Adrian tahu, langkahnya berikutnya akan menyeret siapapun yang ada di jalurnya, termasuk Zahira.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk, singkat tapi menusuk:
“Jika kau ingin kebenaran tentang keluargamu, temui aku malam ini. Dan bawa wanita itu.”
Adrian menatap layar lama sekali, lalu tersenyum miring. Senyum yang bukan kebahagiaan, melainkan peringatan.
Permainan baru saja dimulai.
Adrian meremas ponselnya, layar yang menyala itu seperti menyalakan api di dadanya. Ia membaca ulang pesan singkat itu, memastikan ia tidak berhalusinasi. “Bawa wanita itu.” Dua kata terakhir menancap paling dalam, merobek ketenangan yang tersisa.
Siapa yang berani menyebut Zahira dalam ancaman ini? Dunia kelam yang ia masuki selama bertahun-tahun selalu ia jaga agar tidak menyentuh siapa pun dari masa lalunya. Tapi kini, garis itu ditembus tanpa ampun.
Ia melangkah mondar-mandir di ruang sempitnya, pikirannya bercampur antara amarah, panik, dan sesuatu yang tak ingin ia akui—ketakutan. Tidak untuk dirinya, tetapi untuk Zahira.
“Kalau mereka tahu siapa dia… berarti pengawasan terhadapku jauh lebih dalam dari yang kukira.”
Di luar, suara sirene polisi samar terdengar, bercampur dengan riuh kota yang baru bangun. Semua terasa berjalan seperti biasa, tapi Adrian tahu, sejak pesan itu masuk, tidak ada lagi yang sama.
Sementara Zahira, di yayasan, menatap cermin kecil di meja kerjanya. Wajahnya tampak letih, namun ada kilatan tekad di matanya. Ia tidak tahu apa yang menunggunya, tetapi hatinya merasakan badai mendekat.
Di balik senyum yang sering ia bagikan, Zahira berbisik pada dirinya sendiri, “Apapun yang terjadi… aku tidak akan lari.”
Adrian berhenti melangkah, menatap malam yang mulai jatuh di ufuk barat. Ia tahu hanya ada dua pilihan: melindungi Zahira, atau membiarkannya menjadi umpan dalam permainan yang lebih besar. Dan entah mengapa, hatinya sudah memilih.
Adrian duduk di kursi kayu usang, tubuhnya condong ke depan, tangan terkepal erat. Pesan itu seakan punya nyawa, berputar-putar di kepalanya, membuat dadanya sesak. Ia tahu betul dunia yang mengirimkan pesan itu bukan dunia main-main. Sekali mereka menyebut nama, artinya orang itu sudah dalam radar—dan radar itu jarang meleset.
Ia teringat masa lalu, bagaimana satu demi satu orang di lingkaran yang berani menolak, lenyap tanpa jejak. Sebagian ditemukan dalam keadaan mengenaskan, sebagian lain hilang selamanya, hanya tinggal bisik-bisik ketakutan. Dan kini, ancaman itu bukan lagi sekadar bayangan di belakangnya. Itu nyata, merambat ke sisi kehidupannya yang paling ia coba jaga: Zahira.
Sebuah pertanyaan menusuk benaknya—kenapa Zahira? Apakah karena kedekatan mereka yang mulai tampak? Atau karena Zahira sendiri tanpa sadar menyentuh sesuatu yang seharusnya tak ia sentuh?
“Tidak,” gumamnya, lebih seperti doa ketimbang penolakan. “Aku tidak akan biarkan.”
Di kejauhan, bunyi jam dinding berdentang pelan. Setiap dentang terasa seperti hitungan mundur, mendesak Adrian untuk segera menentukan langkah. Ia ingin mendatangi Zahira saat itu juga, menggenggam tangannya, dan membisikkan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Tapi bagian lain dari dirinya tahu, semakin Zahira tahu banyak, semakin besar bahaya yang mengintai.
Sementara itu, Zahira menutup mata di kursi ruang kerjanya. Ada rasa dingin yang merambati tengkuk, seolah seseorang memperhatikannya dari kejauhan. Nafasnya sedikit tercekat, tapi ia berusaha menepis perasaan itu.
Ia tidak sadar, dari balik jendela, sepasang mata asing memang benar sedang mengawasinya.
Adrian, dengan firasat yang makin menguat, menggenggam ponselnya lebih erat. Satu hal jelas: malam ini hanyalah awal dari permainan yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan. Dan kali ini, taruhannya adalah nyawa Zahira.