Hujan masih turun deras malam itu, seakan kota ikut menangis bersama luka-luka yang tidak pernah sembuh. Adrian duduk di depan layar komputer, matanya menatap kode yang terus bergerak, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana. Ada wajah yang selalu hadir tanpa diundang—wajah Zahira.
Ia benci mengakuinya, tapi setiap kali bayangan itu muncul, hatinya seperti dicengkeram sesuatu yang tak terlihat. Senyum lembutnya, tatapan teduhnya, bahkan cara perempuan itu menunduk penuh hormat ketika berbicara dengan orang lain—semua terlalu mengganggu.
Adrian mengetik kasar, seolah ingin melarikan diri dari pikirannya sendiri. Namun di layar, sebuah pesan muncul:
"Donasi anonim telah diterima oleh Yayasan Cahaya Almira. Terima kasih."
Pesan sederhana itu menusuk dalam. Ia menatapnya lama, seakan huruf-huruf itu adalah belenggu. Ia ingin menolak kenyataan bahwa setiap langkahnya, entah sadar atau tidak, selalu kembali mengarah pada Zahira.
Sementara itu, Zahira duduk di ruang kerjanya di yayasan. Lampu meja kecil menyinari tumpukan berkas. Matanya lelah, tapi hatinya masih hangat oleh pertemuan terakhir dengan anak-anak panti. Ada rasa damai setiap kali ia melihat mereka tertawa, meski hidup begitu keras.
Namun damai itu terganggu oleh sebuah kabar. Seorang kolega membisikkan padanya kalau donasi anonim yang masuk ke yayasan jumlahnya terlalu besar, terlalu sering, dan sumbernya tak jelas. “Bisa jadi ini uang haram, Zahira. Kau harus hati-hati,” begitu katanya.
Zahira terdiam lama. Hatinya ingin percaya bahwa kebaikan tetap ada, bahwa siapapun yang mengirim itu pasti tulus. Tapi di sudut hatinya, ada rasa ragu. Siapa sebenarnya sosok misterius itu?
Malam semakin larut. Adrian berdiri di balkon apartemennya, menatap kota yang basah. Rokok di tangannya habis setengah, asapnya melayang perlahan. “Kau tidak pernah tahu siapa aku, Zahira. Dan kau sebaiknya tidak pernah tahu.”
Namun takdir seolah ingin mempermainkan.
Ketika ia menuruni tangga gedung, suara samar terdengar dari lorong. Seorang pria berbadan besar menatapnya dengan tatapan penuh ancaman. “Adrian Kael,” katanya lirih, “akhirnya aku menemukanmu.”
Adrian berhenti. Pandangannya menusuk tajam, tubuhnya menegang. Ia tidak mengenali pria itu, tapi cara pria itu menyebut namanya, seakan seluruh masa lalunya siap dibongkar malam ini.
Hening sejenak melingkupi lorong basah itu. Lampu redup berkelap-kelip, suara hujan bergema dari luar. Adrian berdiri tegak, menatap pria asing itu tanpa berkedip.
“Siapa kau?” suaranya rendah, nyaris seperti geraman.
Pria itu tersenyum miring, senyum yang mengandung ancaman. “Aku hanya utusan. Ada yang sangat ingin bertemu denganmu. Dan percayalah, Adrian… ia tahu semua tentang dirimu. Semua rahasia yang kau sembunyikan, bahkan tentang keluarga yang kau pikir telah hilang tanpa jejak.”
Darah Adrian seakan berhenti mengalir. Jantungnya berdegup kencang, tapi wajahnya tetap dingin. Ia melangkah selangkah mendekat, sorot matanya penuh peringatan. “Kalau kau ingin tetap hidup, sebaiknya jangan sebut keluargaku lagi.”
Pria itu hanya tertawa kecil. “Jadi kau masih punya luka di sana, ya? Bagus. Itu yang akan membuatmu hancur.”
Dalam sekejap, Adrian bergerak. Tangannya mencengkeram kerah pria itu, menghantamnya ke dinding. Dentuman keras terdengar, namun pria itu justru tersenyum, seolah sudah menunggu amarah Adrian.
“Lawanmu bukan aku,” bisiknya. “Lawanmu adalah sesuatu yang lebih besar dari yang kau bayangkan. Dan cepat atau lambat, cahaya itu—” matanya berkilat tajam, “—akan menjadi kelemahanmu.”
Adrian menahan napas. Kata cahaya itu menusuk dalam, membuat pikirannya seketika melayang pada Zahira. Wajah teduh itu muncul lagi, kali ini bukan sebagai penghibur, melainkan ancaman.
Pria itu tiba-tiba mendorong Adrian menjauh, lalu menghilang ke dalam kegelapan lorong. Hanya suara langkah kakinya yang tersisa, samar ditelan hujan.
Adrian berdiri kaku, napasnya memburu. Kata-kata terakhir pria itu menggema di kepalanya.
“Cahaya akan menjadi kelemahanmu.”
Dan untuk pertama kalinya, Adrian merasa ketakutan. Karena ia tahu, cahaya itu bernama Zahira.
Adrian melangkah perlahan keluar dari lorong, langkahnya bergema di antara genangan air. Hujan semakin deras, membasahi wajahnya, namun dinginnya tidak mampu mengalahkan badai yang berkecamuk di dadanya. Kata-kata pria itu seperti racun yang meresap perlahan, menyalakan luka lama yang selama ini ia paksa untuk terkubur.
Ia menatap langit malam yang hitam pekat. “Kenapa selalu ada bayangan baru yang mencoba menarikku kembali ke neraka?” bisiknya getir.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu pria itu benar: cahaya sudah kembali hadir dalam hidupnya. Zahira—nama itu terpatri, menolak dihapus. Gadis itu adalah pengingat masa lalu, sekaligus ancaman yang bisa mengguncang benteng dinginnya.
Di sisi lain kota, Zahira masih terjaga. Ia menutup map berisi laporan donasi anonim, menatap keluar jendela kantor yayasan yang basah oleh hujan. Ada rasa aneh yang tak bisa ia jelaskan, seolah seseorang sedang menatapnya dari kejauhan.
Ia merapatkan tangannya di d**a, berdoa lirih, “Ya Allah, jika ada seseorang yang sedang tersesat dalam gelap… tuntunlah ia kembali.”
Doa itu melayang bersama suara hujan, tanpa ia tahu bahwa nama yang terselip dalam harapannya adalah lelaki yang kini tengah berperang dengan kegelapannya sendiri.Dan pertempuran itu baru saja dimulai.
Adrian berjalan tanpa arah, langkahnya menghantam genangan air hingga cipratannya mengenai celana hitamnya. Hujan menutupi wajahnya, namun tidak bisa menenggelamkan suara-suara yang menggema di kepalanya. Cahaya akan menjadi kelemahanmu. Kata itu berulang-ulang, seperti mantra yang mengiris ketenangannya.
Ia berhenti di tengah jembatan tua yang sepi. Kota terbentang di bawahnya, lampu-lampu berkelap-kelip seperti bintang palsu. Tangannya gemetar saat meraih rokok, tapi ia tak jadi menyalakannya. Dadanya sesak, karena ada nama yang terus menghantui: Zahira.
“Kenapa harus kau?” gumamnya getir. “Kenapa harus kau yang kembali menyalakan sesuatu yang sudah mati dalam diriku?”
Adrian menutup mata. Bayangan masa SMA menyeruak: Zahira duduk di perpustakaan, tersenyum padanya, menyapanya dengan suara lembut. Senyum yang sama yang kini ia lihat di atas panggung amal. Senyum yang dulu memberi arti, kini justru menjadi luka baru.
Di kejauhan, petir menyambar, menerangi langit malam. Seolah alam ikut memperingatkan bahwa badai besar sedang menunggu.
Adrian mengepalkan tangan, darahnya mendidih. “Baiklah,” bisiknya tegas, hampir seperti sumpah. “Kalau memang cahaya itu akan jadi kelemahanku… maka aku harus menghancurkannya sebelum ia menghancurkan aku.”
Namun bahkan saat ia mengucapkan itu, hatinya bergetar. Karena di lubuk terdalam, ia tahu—ia tidak benar-benar bisa menghancurkan Zahira. Dan justru itulah yang akan menjerumuskannya.