Hari itu, keadaan langit mendung menutup kota dengan kabut yang tipis. Zahira baru saja selesai mengawasi kegiatan anak-anak yayasan yang sedang berlatih nasyid untuk acara minggu depan. Ia tersenyum lembut ketika salah satu anak berlari memeluknya, membawa seikat bunga kertas yang dibuat dari lipatan sederhana.
“Untuk Ustadzah Zahira,” ucap anak itu malu-malu.
“Masya Allah, cantik sekali. Terima kasih, Sayang,” jawab Zahira, mengusap kepala si kecil penuh kasih.
Namun di balik keceriaan itu, hatinya masih gelisah. Amplop misterius, pesan singkat, dan foto lama… semua itu seperti bayangan yang terus menempel. Ia mencoba menepisnya dengan aktivitas, tapi semakin ia melawan, semakin kuat bayangan itu mengintai.
Di luar pagar yayasan, Adrian berdiri dalam balutan jaket hitam. Topi hitam menutupi sebagian wajahnya, menyisakan hanya rahang tegas dan tatapan dingin yang tak lepas dari sosok Zahira di halaman.
Hatinya berdegup dengan cara yang aneh. Ia bisa menghadapi ancaman mafia, pertempuran digital, bahkan pembunuhan berdarah dingin tanpa sedikitpun gentar. Tapi melihat Zahira… jantungnya terasa seperti diperas.
“Masih sama,” gumamnya. “Senyum itu masih bisa merobohkan benteng yang aku bangun bertahun-tahun.”
Ia melangkah perlahan mendekati gerbang, seakan dorongan tak terlihat menuntunnya.
Zahira menoleh ketika merasakan tatapan. Pandangannya jatuh pada sosok tinggi yang berdiri di dekat gerbang. Hanya sebentar, tapi cukup membuatnya terpaku. Ada sesuatu pada pria itu—auranya gelap, misterius, namun anehnya… familiar.
“Siapa dia?” Zahira bergumam pelan, tapi suaranya hampir tercekat.
Pria itu hanya berdiri diam, tak berkata apa-apa. Angin sore meniup rambut-rambut kecil di pelipis Zahira, membuat momen itu terasa lebih sunyi.
Lalu, perlahan, Adrian menundukkan kepala sedikit, seakan memberi salam yang tak pernah diucapkan. Setelah itu, ia berbalik, berjalan menjauh tanpa kata.
Tapi bagi Zahira, pertemuan singkat itu meninggalkan bekas. Ada sesuatu dalam tatapannya—tajam, penuh luka, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuat dadanya berguncang hebat.
Malamnya, Zahira duduk di ruang kerjanya, memandangi foto lama yang masih ia simpan. Hatinya berdebat dengan pikirannya. “Mustahil… apa mungkin dia?”
Sementara itu, Adrian berdiri di atap gedung seberang yayasan, menatap jendela kamar Zahira yang terang benderang. Rokok di jarinya nyaris habis terbakar.
“Aku terlalu dekat,” bisiknya. “Tapi… aku tidak bisa menjauh.”
Malam itu, garis yang selama ini memisahkan keduanya mulai kabur. Satu pertemuan singkat sudah cukup untuk membuka pintu masa lalu yang selama ini terkunci rapat.
Dan pintu itu, sekali terbuka, tak akan mudah ditutup lagi.
Zahira mencoba menenangkan hatinya dengan doa, tapi semakin ia mengulang tasbih di bibir, bayangan pria berjaket hitam itu semakin jelas. Ada sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Entah rasa takut, entah rasa rindu, entah luka lama yang tiba-tiba menganga.
“Kenapa tatapannya seperti… mengenalku?” bisiknya pada diri sendiri.
Ia memejamkan mata, berharap tidur bisa menutup kegelisahan. Namun malam terasa panjang. Hening hanya membawa ingatan, dan ingatan membawa nama yang sudah lama ia kubur—nama yang tak pernah ia sebut lagi karena terlalu menyakitkan.
Di sisi lain kota, Adrian menatap langit malam. Tangannya yang kekar mengepal, menahan emosi yang tak terucapkan. Ia ingin menghampirinya, mengatakan sesuatu, tapi bibirnya terkunci. Terlalu banyak rahasia, terlalu banyak darah, terlalu banyak dosa.
“Andai kau tahu, Zahira…” gumamnya lirih. “Aku tidak pernah benar-benar pergi.”
Angin malam membawa suara samar—seperti bisikan masa lalu yang menolak terkubur.
Sementara itu, di yayasan, Zahira terbangun dari tidurnya. Jantungnya berdegup tak karuan setelah mimpi aneh: ia berjalan di koridor sekolah lamanya, dan di ujung koridor, ada pria berdiri membelakanginya. Ia tahu siapa dia, tapi setiap kali hendak mendekat, pria itu menghilang dalam kabut.
Zahira duduk, meremas d**a. “Apa ini pertanda?” pikirnya.
Malam itu berakhir tanpa jawaban. Namun keduanya sama-sama tahu—pertemuan tadi hanyalah awal. Awal dari sesuatu yang tak bisa mereka hindari lagi.
Dan di balik semua itu, ada rahasia besar yang menunggu untuk terbongkar, rahasia yang bisa menyatukan atau justru menghancurkan mereka sekali lagi.
Malam semakin larut, lampu-lampu kota meredup, dan jalanan mulai sepi. Tapi dalam hati Zahira, ributnya tak pernah padam. Tatapan pria asing tadi terpatri begitu jelas dalam ingatannya, seolah menembus hingga ke dasar jiwanya. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi ada sesuatu dalam sorot mata itu yang begitu familiar—hangat sekaligus dingin, rindu sekaligus benci.
Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah pelan menuju jendela. Dari sana, ia menatap lampu kota yang berkelip bagai bintang buatan. “Kenapa aku merasa… dia bukan orang asing?” bisiknya lirih.
Sementara itu, di tempat berbeda, Adrian menyalakan layar laptopnya. Kode-kode berwarna hijau berbaris cepat, menggambarkan betapa mudah baginya menembus sistem keamanan paling ketat sekalipun. Namun malam itu, fokusnya buyar. Tatapan Zahira menghantuinya. Senyum samar yang pernah ia lihat bertahun-tahun lalu kembali muncul di kepalanya.
“Kenapa aku harus bertemu dia sekarang?” desahnya pelan.
Tangannya berhenti mengetik. Ia menutup laptop dengan kasar, lalu berdiri dan berjalan ke balkon. Angin malam menerpa wajahnya, membawa aroma samar bunga melati dari halaman tetangga. Aroma itu membawanya jauh ke masa lalu—masa di mana dirinya masih remaja polos, masih percaya Tuhan, masih mengenal cinta yang suci tanpa darah, tanpa kebencian.
Matanya meredup, tapi hatinya berperang. “Aku tidak boleh mendekat… tapi juga tidak bisa menjauh.”
Zahira, di sisi lain, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya kebetulan. Dunia ini terlalu luas untuk membuatnya percaya bahwa pria itu memiliki hubungan dengan masa lalunya. Namun, semakin keras ia mencoba menyangkal, semakin kuat pula rasa itu mencengkeram hatinya.
Malam itu, doa dan resah bercampur menjadi satu. Zahira menggenggam tasbih, berbisik lirih, “Ya Allah, lindungi aku dari perasaan yang tak seharusnya tumbuh.”
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu kalau pertemuan ini bukan sekadar kebetulan.
Langkah-langkah kecil telah membawa mereka kembali pada takdir lama takdir yang dulu terputus dengan luka, dan kini kembali hadir dalam bentuk yang lebih gelap.
Malam seolah menyimpan rahasia besar.
Dan saat fajar menyingsing, bukan hanya hari baru yang lahir, tapi juga babak baru dalam hidup mereka berdua,babak yang akan membawa mereka pada kenyataan yang pahit, bahwa cinta yang mereka rasakan… adalah cinta yang tak pernah bisa halal untuk bersatu selamanya.