Cahaya fajar merambat pelan di balik jendela besar, menyingkap sisa-sisa malam yang penuh rahasia. Zahira baru saja menutup mushaf kecil di tangannya, usai shalat Subuh yang panjang. Doa yang ia panjatkan terasa berat, bukan hanya untuk anak-anak di yayasan, tapi juga untuk hatinya sendiri yang kini terusik oleh bayangan masa lalu.
Ia mencoba menepis rasa itu, tapi sosok Adrian kembali hadir, begitu nyata seakan berdiri di sudut ruangan. Tatapan hitamnya, dingin sekaligus penuh luka, membayang di pelupuk mata Zahira.
“Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua ini berjalan baik, kau harus muncul kembali?” bisiknya lirih.
Namun Zahira tahu, ia tidak boleh goyah. Ada ratusan anak yang menggantungkan harapan padanya, ada sebuah nama besar yang ia emban. Dunia menuntutnya kuat, meski batinnya mulai diguncang oleh sesuatu yang tak pernah ia duga.
Sementara itu, Adrian duduk di depan komputer dengan wajah kaku. Deretan kode mengalir di layar, menandakan sistem keamanan sebuah perusahaan besar sedang ia retas. Tangannya bergerak cepat, tetapi pikirannya justru kacau.
Zahira.
Nama itu mengacaukan segalanya. Setiap kali ia mencoba fokus pada misinya, wajah Zahira muncul, membuat emosinya tidak stabil.
Adrian mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. “Aku tidak boleh lemah. Aku sudah terlalu jauh masuk ke dunia ini untuk kembali.”
Namun kalimat itu hanya terdengar seperti kebohongan bagi dirinya sendiri. Ia tahu, perasaan yang ia kubur sejak SMA kini perlahan mencuat, menembus lapisan dinding baja yang ia bangun bertahun-tahun.
Hari itu, Zahira menghadiri rapat penting bersama dewan yayasan. Para investor dan tokoh masyarakat duduk melingkar di meja panjang. Mereka membahas rencana pembangunan cabang yayasan di luar kota. Zahira berusaha fokus, menjawab setiap pertanyaan dengan tenang.
Namun di sela-sela pembicaraan, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, hanya menampilkan satu pesan singkat:
“Jangan terlalu percaya semua orang di sekitarmu.”
Darah Zahira seakan berhenti mengalir. Ia menatap layar ponsel itu lama, hatinya berdegup kencang. Pesan itu dingin, tanpa identitas. Tapi entah kenapa, ia merasakan familiaritas—seolah hanya Adrian yang bisa menuliskannya dengan cara seperti itu.
“Zahira, apa ada masalah?” tanya salah satu anggota rapat.
Zahira buru-buru menggeleng, menaruh ponselnya di bawah meja. “Tidak, kita lanjutkan saja.”
Namun setelah itu, pikirannya tak bisa lagi jernih. Kata-kata dalam pesan itu bergema di kepalanya, membuatnya curiga pada orang-orang yang duduk di sekelilingnya.
Sore harinya, Zahira berdiri di teras yayasan, memandangi anak-anak yang bermain di halaman. Senyum mereka menjadi sedikit obat untuk hatinya. Tapi rasa diawasi itu tak juga hilang.
Lalu tiba-tiba, sebuah amplop putih tergelincir dari tas salah satu staf yang baru saja datang. Zahira memungutnya dan menyadari amplop itu tidak ditujukan untuk staf, melainkan… dirinya.
Tulisan tangan di depannya hanya menuliskan satu kalimat:
“Aku masih di sini, mengawasi. Jangan salah langkah.”
Zahira tertegun. Tangannya bergetar saat membuka amplop itu. Di dalamnya, hanya ada selembar foto lama—foto dirinya saat SMA, sedang duduk di perpustakaan.
Ia terhuyung selangkah mundur. Siapa yang bisa menyimpan foto itu selain Adrian?
Dadanya sesak. Pertemuan mereka dulu bukan kebetulan. Ia tahu sekarang: Adrian tidak pernah benar-benar pergi.
Malam itu, di atap sebuah gedung tinggi, Adrian menyalakan sebatang rokok, menatap jauh ke arah yayasan yang samar terlihat dari kejauhan.
Senyum miring terukir di bibirnya. “Kau masih sama, Zahira. Tetap cahaya di antara kegelapan.”
Namun senyum itu pudar dengan cepat, digantikan tatapan penuh bayangan. “Tapi cahaya… kadang hanya membuat orang yang terlalu dekat terbakar.”
Ia membuang abu rokok ke udara malam, dan dalam hatinya, pertarungan semakin liar: antara cinta yang menuntunnya kembali, dan dendam yang menahannya tetap tenggelam.
Dan ia tahu… waktu mereka bertemu kembali, tak bisa lagi dihindari.
Hujan turun lagi malam itu, menorehkan bunyi ritmis di atap gedung tempat Adrian bersembunyi. Ia memandangi tetesan air yang jatuh, seolah setiap butir membawa kenangan yang tak pernah benar-benar ia kubur.
Foto Zahira di perpustakaan, senyum lembutnya, tatapan teduh yang menundukkan mata liar remajanya dulu—semua hadir kembali, menusuk lebih dalam dari luka fisik manapun yang pernah ia alami.
Ia mengangkat wajahnya ke langit, membiarkan hujan membasahi seluruh kepalanya. “Kenapa kamu harus muncul lagi di hidupku, Zahira? Kenapa sekarang, ketika aku sudah jadi monster?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Di sisi lain kota, Zahira masih memegang amplop putih itu erat-erat. Jari-jarinya gemetar, tapi matanya justru dipenuhi air mata yang tak bisa ia tahan. Ada rasa takut, tapi ada juga sesuatu yang lain… sesuatu yang selama ini ia pendam tanpa nama.
“Adrian…” ia menyebut nama itu pelan, hanya untuk dirinya sendiri. Nama yang tidak boleh lagi ia ucapkan, tapi tetap keluar, seolah hatinya menolak diam.
Kedua hati itu sama-sama terikat dalam jarak yang jauh, tapi garis takdir mulai menarik mereka semakin dekat.
Adrian menyalakan laptopnya kembali, layar menyala dengan cahaya biru pucat. Tapi kali ini, bukan kode yang mengalir di sana—melainkan foto-foto lama Zahira yang ia simpan sejak bertahun-tahun lalu. Ia menatapnya lama, dan untuk pertama kalinya, tatapannya tidak dingin. Ada rasa sakit bercampur rindu, obsesi yang perlahan merobek benteng yang ia bangun sendiri.
Di bibirnya terucap kata yang hampir terdengar seperti doa. “Kalau saja aku bukan aku… mungkin kita bisa berjalan di jalan yang sama.”
Tapi dunia sudah terlalu jauh memisahkan mereka. Dan keduanya tahu, pertemuan kembali bukanlah tentang penyembuhan, melainkan luka yang akan semakin dalam.
Malam semakin larut. Kota berpendar dengan cahaya lampu, tapi bagi Adrian, semuanya tetap terasa gelap. Satu-satunya cahaya yang kini berani menembus retakan hatinya hanyalah Zahira—dan itulah yang paling ia takuti.
Ia menatap layar laptop, foto Zahira saat SMA terpampang jelas. Jemarinya menyentuh layar seakan bisa menembus jarak waktu, namun hanya udara dingin yang ia dapatkan. “Kamu tidak pernah benar-benar pergi dari kepalaku,” gumamnya lirih.
Di tempat lain, Zahira duduk di tepi ranjangnya. Foto SMA itu masih dalam genggamannya, kertasnya sedikit basah terkena air matanya. Ia tahu, dunia yang menyelimuti Adrian kini penuh kegelapan. Ia tahu, mendekat berarti membuka pintu bahaya. Namun bagian dalam hatinya berbisik sebaliknya: bukankah cahaya seharusnya selalu berusaha menembus gelap?
Ia mengusap matanya, berusaha mengusir rasa yang tak seharusnya hadir. Tapi semakin ia melawan, semakin kuat bayangan itu menancap. “Adrian… apa benar kamu masih di luar sana?”
Langit malam seolah ikut menyimpan rahasia keduanya. Jarak, luka, dan waktu yang panjang memisahkan mereka. Namun magnet itu nyata—tarikan yang tak bisa dibantah, sekeras apapun mereka mencoba melawan.
Dan tanpa mereka sadari, langkah-langkah kecil takdir sudah mulai bergerak. Tidak lama lagi, mata mereka akan kembali bertemu.
Pertemuan yang bisa jadi penyembuh… atau justru awal dari luka yang tak akan pernah sembuh.