Hari-hari Zahira terasa berbeda sejak pesan misterius itu datang. Ia berusaha menjalani rutinitas seperti biasa—mengurus yayasan, menghadiri rapat, mendatangi panti asuhan—tapi pikirannya tak pernah lepas dari sosok tak dikenal yang menuliskan huruf “A”.
Malam itu, yayasan mengadakan acara makan malam kecil bersama para relawan. Zahira pulang lebih larut dari biasanya. Jalanan kota mulai lengang, hanya sisa lampu toko dan suara hujan rintik yang menemaninya.
Sopir yang biasanya menjemput tiba-tiba tak bisa datang, sehingga ia memilih berjalan kaki dari halte ke rumahnya. Jalan kecil menuju rumah tampak sepi, hanya ada cahaya lampu jalan yang redup.
Langkahnya berhenti ketika ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Nafasnya tercekat, detak jantungnya berpacu. Ia mempercepat langkah, tapi bayangan itu tetap mengikuti, mendekat sedikit demi sedikit.
“Siapa di sana?” suara Zahira bergetar.
Tak ada jawaban. Hanya suara sepatu menyentuh aspal basah.
Zahira menggenggam erat tasnya, bersiap lari. Namun tiba-tiba, ketika ia hendak berbelok, sebuah tangan menariknya ke sisi gelap tembok. Ia menjerit pelan, tapi suara itu segera terhenti ketika ia mendengar bisikan rendah di telinganya.
“Tenang… aku tidak akan menyakitimu.”
Suara itu dalam, berat, dan entah mengapa, begitu familiar.
Zahira menoleh, matanya membulat. Seorang lelaki berdiri di hadapannya. Tinggi, tubuh tegap diselimuti jaket hitam, rambut berantakan menutupi sebagian wajah. Namun mata itu—mata hitam tajam yang pernah ia lihat bertahun-tahun lalu—membuatnya terdiam.
“Kau… siapa?” suaranya nyaris tak terdengar.
Lelaki itu menunduk sedikit, seakan menahan sesuatu dalam dirinya. Bibirnya bergerak, namun hanya satu huruf yang keluar.
“A.”
Zahira tertegun. Dadanya bergetar hebat. Itu jawaban yang paling ia takutkan, sekaligus yang paling ia tunggu.
Beberapa detik keheningan menyelimuti mereka, hanya suara hujan tipis menetes dari atap rumah. Zahira ingin bertanya lebih banyak, ingin menuntut jawaban, tapi sorot mata lelaki itu membuat lidahnya kelu. Ada rasa aman aneh yang mengikat, meski di saat bersamaan aura bahaya begitu terasa.
Adrian—untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun—berdiri begitu dekat dengan Zahira. Ia bisa merasakan hangat nafasnya, bisa menatap mata cokelat teduh yang dulu selalu ia rindukan. Dan itu membuatnya hampir hancur.
“Apa… yang kau inginkan dariku?” tanya Zahira akhirnya, suaranya lirih namun berani.
Adrian terdiam lama. Ia ingin menjawab semuanya. Ia ingin mengatakan bahwa ia ingin hidupnya kembali, imannya kembali, dirinya kembali—bersama gadis yang dulu membuatnya bertahan. Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokan.
Yang keluar hanyalah bisikan dingin, “Jangan terlalu percaya cahaya. Bahkan cahaya bisa membutakanmu.”
Zahira menggigil. Ia tidak tahu maksud dari kalimat itu. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Adrian melangkah mundur, lalu menghilang ke dalam gelap.
Zahira berdiri kaku. Tangannya gemetar, jantungnya berpacu, matanya tak lepas dari arah kepergian lelaki misterius itu.
Untuk pertama kalinya, ia tahu: sosok yang mengawasinya bukan sekadar bayangan. Ia nyata. Dan ia… mengenalnya.
Zahira masih berdiri mematung di bawah hujan. Jalan itu lengang, hanya ada sisa suara rintik yang jatuh ke tanah. Namun tubuhnya terasa seolah ditarik ke dua arah—antara ingin berlari mengejarnya atau membiarkan lelaki itu larut dalam kegelapan.
Tangannya gemetar. Ada rasa takut yang begitu jelas, tapi juga kelegaan aneh—seolah seseorang yang selalu ia tunggu akhirnya kembali, meski dalam wujud berbeda.
“Adrian…” nama itu lolos begitu saja dari bibirnya, meski lelaki itu tak lagi di sana untuk mendengar.
Zahira menggigit bibir. Apakah benar dia? Ataukah hanya kebetulan bahwa mata itu, suara itu, terasa terlalu familiar?
Langkah kakinya terasa berat ketika ia melanjutkan perjalanan pulang. Setiap bayangan, setiap lampu jalan, seakan masih menyisakan sosok pria itu. Ia tahu, malam ini bukan sekadar kebetulan. Seseorang ingin ia tahu bahwa ia sedang diawasi.
Sesampainya di rumah, Zahira membuka tirai kamarnya perlahan. Dari jendela lantai dua, ia menatap ke jalanan sepi yang basah. Dan di sana, samar-samar, ia melihat siluet hitam berdiri menatap ke arah rumahnya.
Detak jantungnya melonjak. Bayangan itu tidak bergerak, hanya berdiri tegak, seakan ingin memastikan bahwa ia sadar akan keberadaannya. Lalu, perlahan, bayangan itu berbalik dan menghilang dalam kegelapan malam.
Zahira mundur dari jendela, merapatkan tubuhnya pada dinding. Ketakutan menjalar, tapi di balik itu ada kehangatan yang tak bisa ia sangkal.
“Mengapa kau kembali sekarang? Dan mengapa dengan cara seperti ini?” gumamnya pada diri sendiri.
Malam itu Zahira tidak bisa tidur. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan mata hitam itu kembali muncul. Hujan semakin deras, menyamarkan suara detak jantungnya yang masih berpacu.
Namun jauh di sudut kota, Adrian duduk sendiri di balik layar penuh kode, memandangi potret Zahira yang tersimpan sejak lama. Bibirnya bergetar, tapi ia hanya sanggup berbisik lirih:
“Maafkan aku, Zahira. Aku kembali… tapi bukan sebagai lelaki yang dulu kau kenal.”
Malam kian larut, namun Zahira tetap terjaga. Pikirannya berputar tanpa henti, menuntunnya kembali pada tatapan itu—tatapan yang terasa seakan mampu menembus lapisan jiwanya yang terdalam.
Ia berjalan ke meja kerja di sudut kamar, menyalakan lampu kecil, lalu menatap buku-buku catatannya yang penuh dengan rencana program yayasan. Namun kali ini, huruf-huruf di hadapannya terasa kabur. Yang muncul hanya sepasang mata gelap penuh misteri.
Zahira mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. “Jangan terbawa perasaan… mungkin hanya kebetulan,” bisiknya. Namun hatinya sendiri menolak. Tidak mungkin sebuah kebetulan bisa membuatnya merasa seolah waktu berhenti.
Di luar, hujan mulai reda. Angin malam berembus membawa aroma tanah basah. Zahira kembali berdiri di jendela, membiarkan tirai tersingkap. Jalanan kosong, tak ada bayangan yang tertinggal. Tapi rasa diawasi itu masih melekat, seakan pria itu hanya bersembunyi beberapa langkah di balik kegelapan.
Ia menggenggam kalung kecil di lehernya—pemberian masa lalu yang masih ia simpan. Kalung itu bergetar di telapak tangannya, seolah ikut mengingatkan bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar pergi.
“Kalau benar itu kamu, Adrian… kenapa kau muncul dengan cara seperti ini?”
Pertanyaan itu melayang di udara tanpa jawaban. Namun jauh dari sana, di sebuah ruangan sunyi penuh cahaya monitor, Adrian duduk termenung. Wajahnya tertimpa cahaya biru dari layar, namun matanya kosong.
Ia tahu Zahira melihatnya malam ini. Ia ingin itu terjadi. Ia ingin meninggalkan jejak samar agar gadis itu sadar bahwa ia kembali.
Namun dalam hatinya, ada konflik yang tak bisa ia redam—antara keinginan untuk mendekat, atau menghancurkan semua yang pernah ia cintai.
Dan malam itu, satu hal jadi jelas: pertemuan mereka hanyalah awal dari badai besar yang akan menelan keduanya.