Bab 7

1018 Kata
Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah di udara pagi hari. Zahira duduk di teras rumahnya dengan cangkir kopi hitam, matanya kosong menatap jalanan yang masih sepi. Pikiran tentang pesan semalam tak berhenti mengusik, berputar-putar di kepalanya seperti lagu rusak. "Jangan takut gelap, karena aku di sana. Selalu. , A" Pesan itu pendek, sederhana, tapi meninggalkan jejak yang sulit ia abaikan. Ada bagian dalam dirinya yang merasa takut… tapi anehnya, ada juga bagian dirinya yang justru merasa terlindungi. Zahira menghela napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. “Siapa sebenarnya orang ini?” gumamnya dengan lirih. Ia mencoba mencari jawaban logis. Mungkin hanya orang iseng. Mungkin jebakan. Tapi entah kenapa, hatinya menolak. Hati kecilnya mengatakan, ada seseorang di balik huruf itu. Seseorang yang pernah ia kenal, namun entah siapa orangnya Zahira belum tau dan hanya bia menerka -nerka dalam dirinya. Di sisi lain kota, Adrian baru saja kembali ke persembunyiannya,sebuah ruangan sempit di lantai paling atas gedung tua yang ia jadikan markas. Kabel-kabel berserakan, beberapa layar komputer menyala dengan cahaya hijau dan biru, memantulkan bayangan wajahnya yang letih, namun tetap tajam, dengan jemari yang menari di atas keyboard. Ia pun menatap ponselnya, menyesali tindakannya semalam. Ia tahu ia tidak boleh mendekati Zahira, bahkan sekadar meninggalkan pesan. Tapi hatinya lemah. Melihat wajahnya, mendengar suaranya, mengingat kembali masa SMA yang ia kubur dalam-dalam—semuanya membuat pertahanannya runtuh. Adrian menyalakan salah satu layar, menampilkan rekaman CCTV dari jalan depan rumah Zahira. Ia tahu letak setiap kamera di kota ini, bahkan mampu masuk ke sistem keamanan pribadi rumahnya tanpa ada yang sadar. Dari sana, ia melihat Zahira masih duduk di teras dengan cangkir yang berisikan kopi di tangan mungilnya. Ada getaran aneh di dadanya. Rindu, sekaligus rasa sakit yang di rasa bersamaan. “Kenapa kamu harus muncul lagi dalam hidupku?” bisiknya dnegan lirih, seolah Zahira bisa mendengar. Sore harinya, Zahira menghadiri rapat yayasan. Ia berusaha menepis rasa gelisah dan gundah gulana dalam hatinya, meski sesekali ponselnya ia intip, berharap ada pesan masuk yang lain dari pengirim misterius itu. Namun yang ia temukan hanyalah hening. Tidak ada huruf, tidak ada tanda. Malam pun menjelang. Zahira pulang lebih larut dari biasanya. Saat mobilnya berhenti di depan gerbang rumah, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Jalanan terlalu sepi. Lampu jalan di tikungan padam, padahal biasanya selalu menyala. Rasa dingin menjalari tubuhnya. Ia mempercepat langkah masuk, tapi langkahnya terhenti ketika ponselnya kembali bergetar. Pesan baru. "Langkahmu terlalu terburu-buru, Zahira. Gelap tidak selalu menakutkan. Kadang, justru di sanalah ada yang menjagamu." Zahira mematung, jantungnya berdebar tak terkendali. Ia menoleh ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa, hanya suara dedaunan basah diguncang semilir angin malam. Namun entah mengapa, ia merasa benar-benar sedang diawasi. Adrian, dari bayangannya di seberang jalan, memandangi punggung Zahira. Dalam genggamannya, ponsel masih menyala dengan layar pesan terkirim. Matanya penuh keraguan, tapi hatinya penuh gejolak yang tak bisa ia hentikan. Ia tahu, semakin dekat ia dengan Zahira, semakin besar bahaya yang mengintai. Dunia yang ia pijak penuh darah, dendam dan kebencian, dan Zahira tidak seharusnya menyentuhnya. Tapi satu hal juga ia tahu: ia tidak bisa berhenti melakukannya, ada gerakan dlaam hatinya yang ingin sekalu berdekatan dengan sosok cahaya itu. kembali ke Zahira yang sedang menutup pintu rumahnya dengan cepat, mencoba menenangkan diri. Nafasnya terengah, tangan masih menggenggam ponsel erat-erat. Pesan itu terlalu nyata untuk diabaikan. Siapa yang tahu langkahnya? Siapa yang bisa mengawasinya sedekat itu? dan apa maunya? Ia berjalan ke ruang tengah, menyalakan lampu. Namun cahaya terang justru membuatnya makin sadar betapa kosong rumah besar itu. Sunyi, hanya detak jam dinding yang terdengar. Zahira memejamkan mata, berdoa dalam hati, berharap ketakutannya hanyalah bayangan semu. Namun jauh di dalam, ada sesuatu yang lain. Perasaan samar… bukan sekadar takut, tapi seperti ada kehadiran yang melindungi. Perasaan itu membuatnya bingung dan bimbang. Di seberang jalan, sosok Adrian masih berdiri di balik bayang gedung tua. Pandangannya tak pernah lepas dari jendela rumah Zahira yang kini terang benderang. Satu sisi dirinya ingin melangkah pergi, menghilang seperti biasanya. Tapi sisi lain menahan, menjeratnya, membuatnya ingin tetap berada di dekat cahaya itu. Ia ingat masa SMA hari-hari ketika ia masih beriman, masih percaya pada masa depan. Zahira adalah salah satu alasan ia bertahan kala itu. Senyum lembutnya, kata-katanya yang menenangkan, doa yang pernah ia dengar dari bibirnya. Semua itu kini kembali menghantui kehidupanya. “Zahira…” suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri, parau, penuh rindu yang ia sendiri benci. Ponselnya bergetar. Ada pesan balasan masuk. “Siapa kamu? Kenapa kamu tahu tentang aku?” Adrian menatap layar itu lama, jari-jarinya gemetar di atas keyboard. Ia ingin menjawab, ingin mengatakan semuanya. Tapi pada detik terakhir, ia menghapus kalimat yang sudah ia ketik. Yang tersisa hanyalah layar kosong, dan dadanya yang kian sesak. Malam itu, ia tahu satu hal: ia sudah berjalan terlalu jauh dan susah untuk kembali. Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding basah, menutup mata rapat-rapat. Angin malam menusuk tulang, tapi rasa dingin itu tak ada artinya dibanding badai dalam dadanya. Ia tahu, dengan satu pesan, ia sudah merobek batas yang selama ini ia buat antara dirinya dan Zahira. Kini garis itu pudar. Dari balik tirai jendela, Zahira masih menatap ponselnya. Ia gelisah, tapi hatinya berbisik lain. Ada sesuatu dalam pesan itu yang terasa familiar. Seolah-olah huruf-huruf itu lahir dari seseorang yang pernah ia kenal, jauh di masa lalu. Ia menggigit bibir, menahan debaran di dadanya. “A… siapa pun kamu, kenapa aku merasa… aku pernah tahu kamu?” Di luar, Adrian tersenyum getir. Kata-kata itu tak pernah ia dengar, tapi seakan hatinya bisa merasakannya. Ada getaran yang sama, seolah jiwa mereka masih saling memanggil, meski dunia telah memisahkan terlalu jauh. Ia menyalakan rokok, membiarkannya terbakar sebentar sebelum ia injak lagi di tanah. Satu keputusan ia buat malam itu—ia tidak akan menghilang. Tidak kali ini. Meski itu berarti menyeret Zahira ke dalam kegelapan yang tak pernah ia harapkan. Aku bayangan yang terkutuk, menyapamu dari jauh tanpa wajah, tanpa suara. Kau cahaya yang kutatap dalam diam-diam, membuatku rindu pada jiwa yang pernah kuserahkan pada Tuhan. Jika kau tahu siapa aku, mungkin kau akan berlari meninggalkan segalanya. Namun tetap saja aku di sini… mengawasi, menjaga, mencintai dalam gelap yang tak pernah bisa kau terima.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN