Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Malam itu, Zahira duduk sendirian di ruang kerja rumahnya yang luas. Lampu temaram menyinari meja kayu jati tempat tumpukan berkas donasi dan proposal acara amal menunggu ditandatangani. Namun, matanya tak fokus pada dokumen-dokumen itu. Pikirannya melayang entah ke mana.
Sejak beberapa hari terakhir, ada sesuatu yang mengganggu batinnya. Perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti ada mata yang selalu mengawasinya, bukan dengan niat jahat, melainkan seolah sedang menjaga. Ia pernah mencoba mengabaikannya, menganggap semua hanyalah rasa waswas yang berlebihan. Tetapi, kenyataan berkata lain.
Malam kemarin, saat ia berjalan pulang dari kampus, sebuah motor besar sempat mendekat dengan kecepatan mencurigakan. Hanya beberapa meter sebelum menabraknya, motor itu oleng sendiri, terjatuh, dan pengendaranya kabur. Zahira tidak melihat siapa pun di sekitar, tapi entah mengapa, hatinya yakin ada seseorang yang mencegah hal buruk itu terjadi.
“Siapa kau sebenarnya?” bisiknya lirih sambil menutup buku catatannya.
Di sisi lain kota, Adrian menatap layar laptop hitamnya dengan mata sayu. Jemarinya yang cekatan baru saja menutup akses ke sistem keuangan sebuah perusahaan besar yang terlibat korupsi. Transaksi ilegal senilai puluhan miliar berhasil ia limpahkan ke sebuah yayasan pendidikan di daerah pelosok. Ia menutup file, lalu menyandarkan tubuh ke kursinya yang dingin.
Namun pikirannya tidak tertuju pada misi yang baru saja berhasil. Wajah Zahira kembali hadir di kepalanya. Gadis itu… tidak, perempuan itu—sekarang sudah begitu dewasa, begitu anggun, begitu bercahaya.
Adrian menutup wajah dengan kedua tangannya. “Kenapa aku masih terikat padamu, Zahira…?”
Ia tahu betul bahaya semakin dekat. Semakin sering ia muncul di sekitar Zahira, semakin besar kemungkinan musuh-musuhnya menjadikan perempuan itu sebagai sasaran. Namun hatinya, yang dulu mati bersama keluarganya, kini mulai berdetak lagi hanya karena kehadiran Zahira. Itu membuatnya goyah, membuatnya lemah. Dan ia benci merasa lemah.
Beberapa hari kemudian, Zahira kembali sibuk dengan kegiatan yayasan. Malam itu ada pertemuan dengan para donatur baru. Ia mengenakan gamis putih sederhana yang dipadukan dengan kerudung krem lembut, menambah keteduhan wajahnya. Di tengah ruangan, ia berdiri menyampaikan laporan penggunaan dana dan rencana pembangunan sekolah baru untuk anak-anak di pedalaman.
Di sudut ruangan, Adrian hadir—bukan sebagai dirinya, melainkan sebagai bayangan yang menyamar. Topi hitam menutupi wajahnya, masker kain sederhana menutupi sebagian besar rahangnya. Ia berdiri di dekat pintu keluar, berpura-pura sebagai staf keamanan tambahan.
Matanya tak pernah lepas dari Zahira. Setiap kata yang keluar dari bibir perempuan itu menembus dinding hatinya yang selama ini ia lapisi baja. Ia ingat betapa dulu ia juga bermimpi ingin membangun sekolah di kampungnya, sebelum semua hancur.
Ketika acara selesai, Zahira berjalan ke parkiran dengan dua rekannya. Namun tiba-tiba, listrik di gedung padam beberapa detik. Semua orang panik. Dalam keremangan itu, Adrian melihat dengan jelas seorang pria mencurigakan bergerak cepat mendekati Zahira.
Adrian tak berpikir panjang. Ia menerobos kerumunan, meraih lengan pria itu, dan memelintirnya hingga terjatuh. Teriakan kecil terdengar, beberapa panitia berlari mendekat. Pria itu berhasil kabur, tapi ancaman jelas sudah terjadi.
Zahira terdiam. Matanya sempat menatap sekilas pada sosok bertubuh tinggi yang baru saja menyelamatkannya. Meski wajahnya tertutup, sorot mata itu terasa begitu familiar.
“Siapa…?” suaranya tercekat.
Namun Adrian sudah berbalik, menghilang dalam kerumunan seolah tak pernah ada.
Malam itu, Zahira tak bisa tidur. Pikirannya terus memutar kejadian tadi. Sorot mata itu… ada sesuatu yang begitu kuat, begitu dalam. Seperti pernah ia lihat bertahun-tahun lalu.
Ia menulis dalam jurnal pribadinya:
Ada jiwa asing yang selalu muncul di saat aku hampir jatuh. Ia datang, lalu menghilang. Aku tak tahu apakah ia malaikat atau manusia yang penuh luka. Yang kutahu, hatiku terus berdoa untuknya.
Sementara itu, Adrian duduk di ruang kerjanya, menatap langit malam melalui jendela besar. Tubuhnya masih merasakan adrenalin dari peristiwa tadi. Ia seharusnya tidak terlalu dekat. Ia seharusnya membiarkan bayangan tetap bayangan.
Tapi ketika melihat Zahira dalam bahaya, nalurinya lebih cepat dari logika. Ia tidak bisa membiarkannya tersentuh kotoran dunia yang ia hadapi.
Adrian menghela napas panjang. “Zahira… aku ingin kau tetap bersinar. Aku akan melindungimu, meski kau tak pernah tahu siapa aku.”
Hari-hari berikutnya, jarak itu semakin tipis. Zahira mulai memperhatikan detail-detail kecil: sebuah mobil hitam yang sering terlihat tidak jauh dari rumahnya, pesan donasi anonim yang selalu datang tepat saat yayasan membutuhkannya, bahkan bau parfum samar yang tercium sesaat sebelum ancaman lenyap.
Ia tahu, ada seseorang di luar sana yang diam-diam melindungi. Dan entah mengapa, hatinya ingin tahu siapa dia.
Sedangkan Adrian, meski terus berusaha menahan diri, mulai merasa langkahnya semakin mendekat pada cahaya yang berbahaya itu. Ia sadar, perasaan ini bukan lagi sekadar nostalgia masa SMA. Ini cinta. Cinta yang lahir dari luka, tumbuh dari bayangan, dan mungkin berakhir pada kehancuran.
Namun untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Adrian berani membiarkan hatinya berbisik: “Jika aku bisa melihatmu tersenyum lagi, Zahira, mungkin itu cukup untukku.”
Malam semakin larut. Kota sudah sepi, hanya sisa suara kendaraan sesekali yang lewat di jalanan basah. Zahira berdiri di balkon rumahnya, menatap langit yang diselimuti awan kelabu. Ia menggenggam secangkir teh hangat, tapi tangannya bergetar.
“Siapa kau sebenarnya?” gumamnya. Pertanyaan itu terus mengusik pikirannya. Sosok yang muncul sekilas, menolong, lalu menghilang. Ada rasa ingin tahu yang begitu kuat, bercampur dengan rasa aman yang anehnya justru lahir dari misteri.
Di tempat lain, hanya berjarak beberapa blok dari rumah Zahira, Adrian berdiri di atap gedung kosong, menatap rumah itu dari kejauhan. Matanya tajam, tapi ada keraguan di sana. Jemarinya menyalakan rokok, lalu mematikan lagi sebelum sempat mengisapnya.
Ia bimbang. Haruskah ia terus berada di bayang-bayang, atau… sekali saja, menunjukkan siapa dirinya? Namun Adrian tahu, jika Zahira mengenalnya, ia akan melihat sisi tergelap yang ia sembunyikan. Darah di tangannya, dosa yang ia kumpulkan, kebencian yang menelan jiwanya.
“Aku ini monster, Zahira. Kau pantas bersama cahaya, bukan kegelapan sepertiku.”
Namun malam itu, takdir seakan mempermainkan mereka. Ponsel Zahira bergetar. Sebuah pesan masuk, tanpa nama pengirim, hanya deretan angka tak dikenal.
“Jangan takut gelap, karena aku di sana. Selalu. —A”
Jantung Zahira berdetak kencang. Ia menggenggam ponselnya erat, matanya melebar. Ada perasaan ngeri sekaligus hangat. Nama itu… huruf itu…
Siapa “A”?
Sementara Adrian, dari kejauhan, menutup matanya rapat. Ia tahu ia baru saja membuka pintu yang seharusnya tidak pernah ia sentuh. Dan ia sadar, langkah pertama menuju keterikatan itu sudah dimulai. Langkah yang akan menyeretnya,dan Zahira ke jalan cinta yang tak pernah halal.
Dalam bayang aku berdiri,
menatap cahaya yang tak bisa kumiliki.
Kau tersenyum pada dunia dengan tulus,
sementara aku menyembunyikan dosa yang membungkus.
Aku adalah gelap, kau adalah terang,
namun jiwaku selalu berputar di sekelilingmu, sayang.
Jika kelak kau tahu siapa aku sebenarnya,
maukah kau tetap menatapku… atau meninggalkanku selamanya?