Bab 5

1019 Kata
Hujan sudah reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar terbawa angin malam. Zahira berdiri di balkon kamarnya, memeluk kedua lengannya. Dari kejauhan, suara kendaraan masih terdengar samar. Namun pikirannya jauh, terlalu jauh untuk sekadar menikmati sisa malam. Ada rasa aneh yang sejak acara amal tadi terus menggantung di dadanya. Seperti ada yang mengawasi, seperti ada mata yang mengikuti gerak-geriknya. Tapi ia menepis pikiran itu dengan doa. “Aku hanya lelah,” bisiknya pada diri sendiri. Namun Zahira tidak bisa memungkiri, di balik rasa cemas itu ada sesuatu yang lain—rasa penasaran yang tak bisa ia jelaskan. Sementara itu, di ruang apartemennya yang gelap, Adrian duduk terpaku menatap layar. Jemarinya sudah berhenti mengetik sejak lama, tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar kembali bayangan senyum Zahira. “Bodoh,” umpatnya pelan, menyandarkan kepala ke kursi. “Kau bukan untukku.” Ia tahu betul jurang yang memisahkan mereka. Zahira adalah cahaya, sedangkan dirinya adalah bayangan. Dua kutub yang tak seharusnya bertemu. Tapi semakin ia melawan, semakin wajah itu muncul di kepalanya. Adrian mengalihkan pandangan ke jendela. Kota tampak berkilau oleh sisa hujan, lampu-lampu jalan memantul di aspal yang basah. Dari balik kaca, ia melihat dirinya sendiri—sosok dengan mata sayu, rambut berantakan, dan beban masa lalu yang terlalu berat untuk ditanggung. “Kalau saja aku tidak kehilangan malam itu…” suaranya pecah, nyaris tak terdengar. Ingatan menyeruak, kilasan api, teriakan, dan darah. Malam yang merenggut orang-orang yang ia cintai sekaligus imannya. Sejak saat itu, Adrian bersumpah hidupnya hanya untuk membalas, bukan untuk mencinta. Namun kini, sumpah itu mulai goyah. Zahira, dengan ketulusan yang ia lihat, entah mengapa mulai meruntuhkan tembok yang ia bangun selama bertahun-tahun. Di sisi lain, Zahira masuk kembali ke kamar, mengambil mushaf kecil dari meja. Ia membuka halaman yang ditandai pita merah, ayat yang selalu menjadi penguat hatinya: “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” Air mata menitik tanpa ia sadari. Ia tidak tahu kenapa dadanya begitu berat malam ini. Tapi ayat itu terasa seperti jawaban atas kegelisahan yang bahkan tak bisa ia namai. “Ya Allah… jika memang ada sesuatu yang Kau sembunyikan dariku, tolong kuatkan hati ini untuk menerimanya,” doanya lirih. Dan di tempat berbeda, di kursi yang dingin dengan rokok yang hampir habis, Adrian berbisik, “Kalau Kau masih ada… jangan biarkan aku jatuh terlalu jauh padanya.” Mereka berdua berbicara kepada Tuhan yang sama, di malam yang sama, dengan luka yang berbeda tanpa sadar, doa-doa itu perlahan mulai saling menjawab. Malam itu, langit gelap tak lagi menurunkan hujan. Tapi di hati Adrian dan Zahira, ada badai lain yang baru saja dimulai. Adrian akhirnya mematikan rokoknya, menekannya di asbak penuh abu yang sudah tak berbentuk. Tangannya bergetar sedikit, bukan karena dingin, melainkan karena sesuatu yang baru saja merayap masuk ke dalam dirinya. Rasa asing yang menakutkan: harapan. Ia berdiri, berjalan ke depan cermin. Sorot matanya yang gelap menatap bayangannya sendiri. “Aku ini siapa?” tanyanya pada refleksi di depannya. Seorang hacker buronan, lelaki yang hidupnya bergelimang dosa, atau… remaja polos yang dulu pernah menatap seorang gadis di perpustakaan dengan jantung berdebar? Bayangan Zahira kembali muncul. Senyumnya, tatapan teduh matanya, cara ia merangkul anak-anak dengan kelembutan yang nyaris tak masuk akal. Adrian menunduk, kepalanya berat. “Jika aku mendekat, aku akan menghancurkannya. Jika aku menjauh, aku mungkin akan hancur sendiri.” Di waktu yang sama, Zahira memeluk mushaf di dadanya, matanya masih sembab oleh air mata. Ia berbaring, menatap langit-langit kamar yang gelap. Entah kenapa, rasa cemasnya belum hilang. Seakan ada seseorang di luar sana yang membawa luka terlalu besar, dan hatinya tanpa sadar ingin mengobati luka itu. “Aneh sekali… kenapa aku merasa seperti ada jiwa yang sedang memanggil?” bisiknya pelan, sebelum akhirnya matanya perlahan terpejam. Dan di tengah keheningan malam, dua jiwa itu tetap berjaga—satu dengan luka yang menolak sembuh, satu dengan doa yang tak henti dipanjatkan. Tanpa mereka sadari, takdir sedang menyiapkan pertemuan berikutnya. Pertemuan yang bukan hanya akan mengguncang hati keduanya, tapi juga menyingkap masa lalu yang selama ini terkubur. Karena cinta… cinta yang tak pernah halal, selalu datang dengan ujian paling kejam. Malam semakin larut, kota tenggelam dalam hujan yang tak kunjung reda. Adrian duduk di kursinya lagi, menyalakan layar komputer yang kini hanya menampilkan kilatan kode kosong. Tangannya tak bergerak, pikirannya terlalu penuh. Ia teringat wajah ayahnya, suara tawa ibunya, dan teriakan adiknya yang malam itu terputus oleh peluru. Semua itu kembali menghantam ingatannya, bercampur dengan wajah Zahira yang muncul tiba-tiba di antara luka-luka lama. Kenapa harus sekarang? Kenapa harus dia? Ia memejamkan mata, mencoba menyingkirkan rasa yang tumbuh pelan-pelan. Baginya, perasaan itu berbahaya. Ia tahu betul, dunia yang ia jalani sekarang tak menyisakan ruang untuk hal-hal lembut seperti cinta. Terlalu kotor, terlalu gelap, terlalu berdarah. Namun ada satu bagian dirinya yang tak bisa menyangkal—bahwa senyum Zahira barusan, meski hanya ia lihat dari kejauhan, telah merobohkan tembok pertahanan yang selama ini ia bangun dengan susah payah. “Jika aku biarkan ini tumbuh, aku akan kalah,” desisnya, menekan dahinya dengan tangan. Di sisi lain, Zahira masih terjaga. Ia menuliskan sesuatu di buku kecil di samping tempat tidurnya—kebiasaan yang selalu ia lakukan sebelum tidur. Malam ini, ia menulis: "Terkadang aku merasa ada jiwa asing yang menatap dari kejauhan. Entah siapa, entah di mana. Tapi hatiku berkata, jiwa itu dipenuhi luka. Ya Allah, lindungi ia, meski aku tak mengenalnya." Tangannya berhenti, dadanya bergemuruh aneh. Ia tak tahu doa itu sebenarnya sedang menembus dinding kamar Adrian yang jauh di sana, membuat lelaki itu menggigil tanpa alasan. Takdir perlahan mempermainkan mereka. Dua hati yang belum bersua, namun diam-diam saling merasakan. Dan malam itu, dalam kesunyian yang basah oleh hujan, langit mencatat satu garis baru dalam perjalanan mereka—garis yang akan mempertemukan cinta dan luka dalam satu jalan yang penuh duri. Bab berikutnya, pertemuan pertama yang tak terelakkan sudah menunggu Di antara hujan dan doa, dua jiwa berdiri di ujung dunia. Satu tenggelam dalam luka, satu terikat pada cahaya. Mereka saling mencari tanpa nama, saling merasakan tanpa suara. Namun cinta ini, sejak mula, sudah tahu tak akan pernah halal selamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN