Pagi itu, yayasan dipenuhi dengn suara riang anak-anak. Aroma bubur kacang hijau yang dibagikan relawan bercampur dengan semangat hari baru. Zahira tengah berjalan menyusuri aula, untuk memeriksa daftar donatur yang diserahkan sekretarisnya, Laila.
“Uang masuk lagi, Ustadzah,” kata Laila sambil menyerahkan berkas uang yang masuk ke rekening yayasan. “Jumlahnya… besar sekali.”
Zahira menatap angka di lembaran itu. Pandangannya terhenti. Jumlahnya memang tak masuk akal setara dengan setahun biaya operasional yayasan. Namun yang membuatnya bingung adalah kolom nama penyumbang. Hanya tertulis satu kata:
“Bayangan.”
Alis Zahira berkerut. “Bayangan? Siapa yang menulis seperti ini?”
Laila mengangkat bahu. “Tak ada keterangan, hanya bukti transfer masuk. Rekening pengirim pun dilindungi sistem aneh, tidak bisa dilacak. Saya sudah coba tanyakan ke bank, tapi katanya sistemnya seperti dibobol.”
Zahira terdiam lama. Uang itu nyata. Nominalnya sah, sudah masuk ke rekening yayasan. Tapi cara masuknya itu seolah ada tangan tak terlihat yang sengaja mendorong.
Di sebuah kamar gelap, Adrian memandangi layar yang menampilkan notifikasi: Transfer sukses.
Ia menyandarkan tubuh di kursi, menutup mata. Senyum tipis muncul di bibirnya yang bahkan hampir tidak terlihat di wajah tampannya.
Ia tahu Zahira akan menemukannya. Ia tahu, nama “Bayangan” akan mengganggu pikirannya serta membuat Zahira penasaran.
“Sekarang, mari kita lihat… apakah kau masih percaya pada cahaya, saat kegelapan sudah mulai menyentuhmu?” gumamnya.
Siang hari, Zahira kembali menatap berkas itu di ruang kerjanya. Hatinya berdebat. Uang itu bisa membantu banyak anak, bisa mempercepat pembangunan ruang kelas, bisa membiayai pengobatan anak-anak sakit.
Tapi dari siapa? Dan kenapa dia harus bersembunyi di balik nama aneh itu?
Ia menutup mata sejenak, menarik napas panjang.
“Ya Allah, jika ini rezeki dari jalan yang halal, berkahilah. Tapi jika ini ujian, jangan biarkan aku salah melangkah.”
Tasbih di tangannya bergerak pelan, tapi bayangan di benaknya semakin kuat.
Malamnya, Zahira menulis diari kecilnya. Tinta hitam mengalir mengikuti kegelisahan hatinya:
Ada seseorang yang menolong dari jauh. Tapi kenapa aku merasa yang datang bukan hanya pertolongan, melainkan juga bayangan yang ingin masuk ke hidupku?
Ia menutup buku, menatap jendela yang gelap. Dan untuk pertama kalinya, ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Siapa kau, Bayangan, dan apa maumu?”
Sementara itu, Adrian kembali berdiri di atap gedung tinggi, menatap cahaya yayasan yang temaram. Di matanya, bukan hanya gedung yang ia lihat, tapi juga sosok Zahira di baliknya.
Ia tahu, permainan baru saja dimulai. Dan kali ini, tak ada yang bisa benar-benar bersembunyi.
Zahira menutup lampu kamarnya lebih awal malam itu, namun matanya enggan terpejam. Bayangan nama itu—“Bayangan”—terus berputar di kepalanya. Ia mencoba menenangkan diri dengan doa, tapi hatinya tetap berdegup resah.
Ia berjalan ke balkon rumah, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Kota berkilau dengan lampu kendaraan, tapi baginya, suasana terasa asing. Seolah ada sosok yang bersembunyi di balik setiap bayangan, menunggu untuk menampakkan diri.
“Siapa sebenarnya yang mengirim uang itu?” bisiknya, matanya menerawang ke jalan gelap di bawah sana.
Untuk sejenak, ia merasa seperti ada tatapan yang menembus dirinya dari jauh. Ia merinding, cepat-cepat masuk kembali dan mengunci pintu balkon.
Di sisi lain kota, Adrian menyalakan sebatang rokok, ujungnya berpendar merah di kegelapan. Ia menatap layar kecil di tangannya, yang menampilkan rekaman samar dari kamera jalan dekat rumah Zahira. Sosok perempuan itu terlihat berdiri di balkon, rambutnya sedikit tergerai tertiup angin, wajahnya sayu.
Adrian mendesis pelan. Ada bagian dari dirinya yang ingin mendekat, ingin menyapa, ingin mengatakan bahwa ia pernah mengenalnya. Tapi luka masa lalu segera menutup keinginan itu.
“Tidak, Zahira,” bisiknya ke udara malam. “Kau hidup di cahaya. Aku hanya tinggal di bayangan.”
Namun meski ia menolak, matanya tetap tak bisa lepas dari sosoknya.
Zahira akhirnya terlelap menjelang dini hari. Dalam mimpinya, ia kembali berada di aula kosong. Namun kali ini berbeda—bayangan hitam itu tidak hanya menatap, melainkan mendekat dengan tangan terulur.
Zahira ingin lari, tapi bayangan itu berbisik lirih di telinganya:
“Aku ada di dekatmu… lebih dekat daripada yang kau kira.”
Ia terbangun dengan teriakan kecil, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Nafasnya memburu, dan untuk pertama kali ia merasa takut bukan pada dunia nyata, melainkan pada sesuatu yang tak bisa ia lihat dengan mata.
Di tempatnya, Adrian menutup laptop dengan kasar, seolah menolak perasaan yang menjerat. Namun di dalam hatinya ia tahu: semakin keras ia mencoba menjauh, semakin dalam ia terseret mendekat.
Dan permainan ini baru saja dimulai.
Subuh menjelang. Adzan terdengar sayup-sayup dari masjid dekat rumah, menembus jendela yang masih berembun. Zahira bergegas mengambil wudhu, berharap kesejukan air bisa menenangkan hatinya yang semalaman gelisah.
Sujudnya lama, doanya lirih, namun pikirannya tetap sesekali kembali pada satu kata itu—Bayangan. Seakan nama itu bukan hanya tanda tangan seorang donatur, melainkan bisikan yang mengikuti dari jauh.
“Ya Allah, jika ini adalah ujian, beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku lalai,” bisiknya di akhir doa.
Namun bahkan setelah salam, dadanya tetap terasa berat.
Di sisi lain, Adrian duduk di depan layar yang kini redup. Ia menatap kosong pada notifikasi terakhir: Transfer confirmed. Hatinya berperang. Sebagian dirinya puas karena uang itu akan memberi makan puluhan anak. Sebagian lagi muak, karena satu nama yang ia sisipkan sudah cukup untuk menyeret Zahira ke dalam dunianya.
Tangannya mengepal, kuku hampir menembus kulit. Ia tahu cepat atau lambat, Zahira akan mencoba mencari tahu. Dan saat itu terjadi, ia tidak yakin apakah ia akan mampu menyingkirkan dirinya dari bayangan hidupnya.
Pagi itu, sebelum berangkat ke yayasan, Zahira kembali membuka buku catatannya. Ia menuliskan sebuah kalimat pendek, lebih seperti pengakuan hati daripada catatan agenda:
Jika kau benar-benar ada, Bayangan… cepat atau lambat aku akan menemukanmu.
Titik kecil di akhir kalimat itu bergetar, seolah menyimpan janji yang akan menyeretnya pada rahasia besar.
Adrian, yang entah bagaimana berhasil mengakses kamera jalan di depan rumah Zahira, menatap layar yang menampilkan mobilnya bergerak meninggalkan halaman.
Ia tersenyum tipis, getir.  “Cari saja, Zahira. Kau akan menemukanku… tapi bukan seperti yang kau bayangkan.” Dan di antara cahaya pagi, dua jalan yang berbeda itu diam-diam mulai saling mendekat.
Zahira menutup buku catatannya pelan. Entah kenapa, hatinya bergetar setiap kali menuliskan nama itu. Bayangan. Ia bahkan belum pernah bertemu, belum pernah menatap, namun hatinya seperti sudah mengenal sejak lama. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika, hanya bisa dirasakan.
Di balik layar, Adrian menatap gambar samar yang baru saja ia rekam. Wajah Zahira sekilas muncul, menunduk dalam doa. Senyumnya pahit, tapi matanya merona hangat.
“Seandainya dunia ini sederhana,” gumamnya lirih, “aku akan datang padamu tanpa sembunyi. Aku akan mengatakan bahwa sejak dulu, hatiku memilihmu.”
Mereka tidak tahu, dalam diam keduanya sedang menuliskan perasaan yang sama—perasaan yang mustahil diucapkan.
Cinta yang belum sempat tumbuh, tapi sudah terasa begitu dalam. Cinta yang bahkan sejak awal sudah tahu dirinya tidak akan pernah halal.
Dan di tengah jarak yang membentang, ada satu kalimat tak terdengar yang menggantung di udara—
Jika saja takdir berpihak, aku ingin mencintaimu tanpa takut pada bayangan.