Langit masih basah oleh sisa hujan malam. Aroma tanah lembap bercampur dengan udara pagi yang dingin menusuk tulang. Kota belum sepenuhnya terbangun, tapi bagi Adrian, malam dan siang hanyalah istilah yang tak lagi punya makna.
Di sebuah apartemen kecil, jauh dari kemewahan dunia luar, ia duduk bersandar di kursi usang, matanya menatap layar laptop yang dipenuhi kode. Jemarinya lincah, menari di atas keyboard. Sesekali ia berhenti, membuka catatan kecil berisi daftar target—pebisnis rakus, pejabat kotor, hingga pengusaha yang menjadikan uang sebagai alat menindas.
Namun pagi itu berbeda. Nama yang kemarin ia lihat kembali tertera jelas di layar: Yayasan Cahaya Almira.
Adrian mengusap wajahnya kasar. “Kenapa harus mereka?” desisnya.
Ia tahu, yayasan itu bersih. Laporan keuangan, kegiatan sosial, hingga rekam jejaknya tak pernah tercemar. Tapi jaringan bawah tanah tempat ia bernaung tak mengenal belas kasihan. Jika sebuah nama muncul, berarti ada alasan tersembunyi.
Meski begitu, hatinya menolak.
Wajah Zahira kembali muncul di kepalanya—senyum tenang, tatapan teduh, suara lembut yang menusuk di malam amal itu. Dan sesuatu dalam dirinya goyah.
Sementara itu, Zahira menghabiskan pagi dengan rutinitas yang selalu sama. Setelah subuh di musholla kecil rumahnya, ia menyiapkan beberapa agenda untuk hari itu. Pagi ini ia harus mengunjungi panti asuhan di pinggiran kota, memastikan pembangunan ruang kelas baru berjalan sesuai rencana.
Di ruang kerjanya, dinding dipenuhi foto kegiatan sosial: dirinya bersama anak-anak yatim, bersama relawan, bersama orang tua yang tersenyum menerima bantuan. Semua itu bukan sekadar pencitraan—bagi Zahira, itu adalah panggilan jiwa.
Namun, sejak acara amal tadi malam, ia merasakan sesuatu yang sulit ia jelaskan. Seperti bayangan yang mengikuti, mengintai dari kejauhan. Bukan ancaman nyata, tapi cukup membuat hatinya gelisah.
Ia menatap kaca jendela besar, melihat pantulan dirinya sendiri. “Kenapa aku merasa ada mata yang terus memperhatikan?” bisiknya lirih.
Siang hari, di balik layar laptopnya, Adrian memantau pergerakan yayasan itu. Bukan sekadar sistem komputer, tapi juga rutinitas harian Zahira. Semua terekam lewat kamera jalanan, satelit, hingga laporan digital yang dengan mudah ia bobol.
Ia melihat jadwal kunjungan Zahira ke panti asuhan. Layar menampilkan potongan video dari CCTV jalan: Zahira keluar dari mobil, senyumnya ramah menyapa anak-anak yang sudah menunggu.
Adrian menahan napas. Dadanya sesak tanpa alasan.
“Kenapa… kenapa aku masih bisa merasakan ini?”
Tangannya bergetar ketika menekan tombol untuk menyimpan rekaman itu. Ia benci perasaan lemah. Ia benci bahwa hanya dengan melihat senyum Zahira, luka lama yang ia kubur dalam-dalam kembali menganga.
Di panti asuhan, Zahira duduk di lantai bersama anak-anak. Bajunya sederhana, hijabnya polos. Ia tak segan mengangkat bata kecil, ikut membantu pekerja membangun ruang kelas. Keringat menetes di wajahnya, tapi ia tetap tersenyum.
“Ustadzah Zahira capek?” tanya seorang bocah kecil.
Zahira menggeleng, mengusap kepala anak itu lembut. “Tidak, Sayang. Kalau ini untuk kalian, capek pun jadi berkah.”
Anak itu tertawa kecil, dan suara itu bagai musik yang menenangkan.
Malamnya, Adrian kembali berdiri di atap gedung seberang. Angin membawa dingin menusuk tulang, tapi ia tidak peduli. Dari jauh, ia bisa melihat cahaya redup yayasan yang masih menyala.
Ia menyalakan sebatang rokok, menatap kosong ke arah gedung itu.
Bayangan Zahira selalu hadir. Bukan hanya sebagai sosok nyata, tapi juga sebagai hantu dari masa lalunya. Gadis SMA yang pernah ia kenal, yang pernah menyapanya dengan tatapan yang sama teduhnya.
Adrian mengepalkan tangan.
“Zahira… apa kau sadar kalau cahaya yang kau sebar ini bisa membakar dirimu sendiri?”
Ia memejamkan mata, membiarkan hujan gerimis membasahi wajahnya.
Dan dalam diam, ia tahu: semakin ia mencoba menjauh, semakin kuat bayangan Zahira menjeratnya.
Zahira terbangun tengah malam, keringat dingin membasahi pelipisnya. Mimpi buruk tentang seorang lelaki berselimut bayangan menghantuinya. Lelaki itu berdiri di atap, menatapnya tanpa kata.
Ia menggenggam tasbih di meja samping ranjang, berzikir pelan. Tapi hatinya berbisik, sesuatu sedang mendekat. Sesuatu yang akan mengubah seluruh hidupnya.
Zahira menatap langit-langit kamarnya yang redup. Suara hujan masih menetes pelan di luar, seperti denting jam yang tak kunjung berhenti. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, seolah tubuhnya tahu ada sesuatu yang salah, meski akalnya tak bisa menjelaskan.
Ia bangkit, berjalan ke arah jendela besar dan menarik tirai sedikit. Gelap. Kota tampak sepi, hanya lampu jalan yang memantulkan genangan air. Tapi perasaan itu lagi-lagi muncul—perasaan dilihat, diawasi, dipelajari.
“Ya Allah…” gumamnya lirih. “Lindungi aku dari apa pun yang tidak aku mengerti.”
Ia menutup tirai rapat, lalu duduk di tepi ranjang. Tasbih di genggaman berputar pelan di antara jarinya, zikirnya lirih, namun hatinya tetap gelisah. Ada bagian dari dirinya yang tak bisa berhenti memikirkan sosok lelaki dalam mimpi buruknya. Wajahnya samar, tak jelas, tapi tatapannya… tajam, penuh luka, dan anehnya, seolah pernah ia lihat di masa lalu.
Di tempat lain, Adrian masih menatap layar laptopnya. Gambar terakhir dari CCTV panti menampilkan Zahira yang tersenyum, keringat menetes di pelipisnya, bajunya sedikit kotor oleh debu bangunan. Adrian menekan tombol pause dan membiarkan gambar itu membeku.
Beberapa detik, ia hanya diam. Lalu, tanpa sadar, ia mengusap layar seolah ingin meraba senyum itu. Tapi segera ia tersadar, jari-jarinya mengepal. Ia menutup laptop kasar, seakan ingin menghapus bayangan Zahira dari pikirannya.
Namun senyum itu sudah terpatri. Dan ia benci kelemahan itu.
Zahira akhirnya tertidur kembali menjelang subuh, setelah letih berzikir. Tapi bahkan dalam tidurnya, bayangan lelaki misterius itu masih mengikuti—di atap, di jalan, di setiap sudut yang gelap.
Seakan ada seseorang yang menunggu saat yang tepat untuk masuk ke hidupnya.
Dan tanpa ia sadari, seseorang itu sudah terlalu dekat.
Di tengah tidur gelisahnya, Zahira bermimpi lagi. Kali ini lebih nyata—ia berdiri di aula yayasan yang kosong, lampu gantung berayun pelan seolah ditiup angin tak kasatmata. Suara langkah berat terdengar mendekat, gema sepatu menghantam lantai marmer.
Ia berbalik, tapi yang ia lihat hanyalah bayangan hitam menjulang di ujung ruangan. Sosok itu berdiri diam, hanya matanya yang bersinar samar di balik kegelapan.
“Siapa kau?” suara Zahira bergetar.
Bayangan itu tak menjawab. Hanya bergerak perlahan, mendekat, langkah demi langkah. Hingga akhirnya ia bisa melihat samar garis wajahnyadan tajam, penuh luka, dan… entah mengapa, terasa akrab.
Zahira ingin mundur, tapi kakinya terpaku. Nafasnya memburu, tubuhnya dingin, seolah udara di sekeliling menghilang. Saat jarak tinggal beberapa langkah, bayangan itu berhenti.
Lalu, dengan suara serak dan berat, ia berbisik,
“Kau seharusnya tidak mencariku… Zahira.”
Mata Zahira melebar. Ia ingin bertanya bagaimana sosok itu tahu namanya, tapi sebelum sempat, dunia runtuh. Cahaya lampu padam, aula ditelan gelap pekat, dan ia terbangun dengan jeritan tertahan.
Keringat dingin membasahi wajahnya. Nafasnya terengah, jantung berdebar tak terkendali. Tasbih di meja jatuh berdebam pelan, membuatnya semakin tersentak.
Ia menatap sekeliling kamar yang sunyi, lalu berbisik dengan suara nyaris tak terdengar:
“Apa yang sedang mendekat padaku?”
Di sisi lain kota, Adrian menyalakan rokok baru. Asap mengepul, menutupi wajahnya yang dingin. Di layar laptop, file bertajuk “Almira” kini sudah ia simpan rapi. Senyum samar terukir di bibirnya.
“Takdir sudah mengetuk,” gumamnya. “Dan kali ini, aku tidak akan menghindar.”