Mereka pergi ke pasar malam di depan gang masuk perumahan. Ada banyak pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya di sana. Setelah memarkir motornya di depan salah satu minimarket, Kamasena dan Rosalia berjalan beriringan mengitari pasar malam tersebut.
“Jadi, mau makan apa kamu sekarang?” tanya Kamasena yang sudah merasa bosan berkeliling, sementara perempuan di sampingnya belum terlihat memutuskan apa yang diinginkannya.
Rosalia menghela napas, melihat gerobak bebek madura membuatnya ingin memakan bebek berbumbu hitam pekat itu. Tapi apalah daya, uangnya sekarang hanya cukup untuk makan semangkuk mi rebus.
“Rose?” tanya Kamasena lagi.
“Mi ayam,” jawab Rosalia akhirnya. Dia malu jika harus makan di warung kopi sederhana dan memesan mi rebus.
“Ok.” Kamasena mengangguk dan mendahului Rosalia melangkah menuju pedagang mi ayam berjarak beberapa langkah dari mereka.
Begitu Rosalia tiba di warung mi ayam tersebut, Kamasena menyodorkan mi ayam dengan porsi jumbo ke hadapan Rosalia.
“Ayo, dimakan,” perintah Kamasena.
Rosalia memandangi mi ayamnya. Ada daun yang beraroma menyengat di sana yang tidak disukainya. Dia tidak bisa memakan itu, atau jika dipaksa dia akan mual.
“Kenapa, Rose? Kamu berubah pikiran?” tanya Kamasena, setelah melihat wanita di depannya hanya diam.
“Maaf, tapi aku nggak suka daun bawang,” kata Rosalia dengan sungkan.
“Tunggu sebentar.” Kamasena berdiri sembari membawa mi ayamnya dan tak lama duduk kembali. “Maaf, aku nggak tahu kalau kamu nggak menyukai daun bawang,” kata pria kemudian.
“Enggak apa-apa. Cuma, nanti mi ayam itu bagaimana? Kenapa nggak kamu makan saja?”
“Aku minta penjualnya untuk kasihkan ke orang.”
“Kamu sendiri nggak makan?” tanya Rosalia, begitu mi ayamnya tiba di meja dan lagi-lagi hanya satu porsi.
“Kamu makan saja, aku masih kenyang,” jawab Kamasena meyakinkan wanita di depannya.
Rosalia tak ingin mendebat lagi. Dia lantas fokus pada makanannya, mengabaikan tatapan Kamasena yang terus menatapnya dengan intens.
Kamasena tersenyum kecil, menyaksikan wanita di depannya yang tengah menikmati semangkuk mi dengan lahap. Dia tahu, sedari tadi Rosalia memandangi penjual bebek madura, namun entah mengapa wanita itu justru memilih mi ayam untuk makan malamnya.
Senyum Kamasena semakin lebar mendapati Rosalia menghabiskan semangkuk mi ayam itu dalam waktu yang cukup singkat. Dia cukup takjub dengan kecepatan makan wanita yang baru ditemuinya selama beberapa kali itu.
“Mau tambah?” tanya Kamasena yang masih memandangi Rosalia dengan tersenyum.
“Enggak, sudah cukup.”
Kamasena mengangguk. “Sudah kan? Yuk jalan,” ajaknya kemudian.
“Tapi ini belum dibayar.”
“Sudah aku bayar. Ayo,” jawab Kamasena.
Rosalia mengikuti Kamasena entah menuju ke mana. Dia mencoba menyamai langkah Kamasena yang lebar. Hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah kedai kopi. Kamasena mengajaknya ke rooftop setelah memesan minuman dan camilan.
“Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Rose,” kata Kamasena begitu mereka duduk berhadapan.
“Silakan,” jawab Rosalia dengan menghindari tatapan Kamasena yang mengganggu konsentrasinya. Meski samar, tatapan itu mengingatkannya pada malam panas mereka.
“Aku mencoba mencari tahu berita tentang video kita itu. Tapi yang kutemukan sungguh diluar dugaanku. Jadi ada seseorang yang sengaja menayangkan video kita di pesta pernikahanmu?” tanya Kamasena dengan hati-hati.
Rosalia menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Kamasena itu. “Ya, dan saat itu juga suamiku menceraikanku.”
Tragis, tragis kisah hidup Rosalia. Tetapi banyak kejanggalan juga di sini. Mengapa bisa seseorang menayangkan video syur di acara pernikahan Rosalia dengan mantan suaminya. Kamasena yakin sekali, jika orang tersebut lah yang merekam mereka. Orang tersebut, entah siapa, yang sudah mengatur rencana sedemikan rupa untuk menghancurkan pernikahan Rosalia dengan sang suami.
“Aku turut prihatin, Rose.” Kamasena yakin sekali, Rosalia merasa amat sedih karena pernikahannya kandas tepat di saat pesta pernikahannya.
“Aku sudah enggak apa-apa, Kama. Eee, boleh ya, aku panggi Kama?”
“Tentu.”
Pembicaraan mereka terjeda saat pelayan mengantarkan pesanan ke meja mereka.
“Lalu kenapa akhirnya kamu bisa tinggal di sini sekarang?” tanya Kamasena lagi, setelah mengaduk kopinya.
“Papa mengusirku.” Rosalia menjawab dengan tersenyum.
Meski begitu, Kamasena tahu, jika Rosalia tengah memendam rasa kecewa dan sedihnya.
“Kenapa kamu dan keluargamu tidak mencoba mencari tahu pelaku perekam dan penyebar video itu, Rose? Kalau pelakunya ketemu, aku yakin kamu nggak seharusnya di sini sekarang.”
“Untuk apa? Untuk mengemis belas kasihan orang-orang yang sudah mempercayaiku lagi?” Rosalia menggeleng tegas. “Enggak, Kama. Aku lebih baik pergi dari pada harus mengemis pada mereka.”
“Bukan begitu, setidaknya dengan kita menemukan pelakunya, nama kamu bisa kembali bersih.”
“Tidak semudah itu, Kama.” Rosalia tersenyum pahit. “Sudah lah, aku belum ingin bahas hal itu lagi. Ayo, habiskan kopimu, setelah itu kita pulang.”
Kamasena lagi-lagi menuruti permintaan Rosalia. Mereka saling terdiam menikmati kopi dan cake yang dipesan Kamasena tadi, hingga akhirnya mereka meninggalkan kedai kopi tersebut.
Motor besar milik Kamasena sudah berhenti di depan gerbang indekos Rosalia. Rosalia segera turun dan tak lupa mengucapkan terima kasih pada pria yang telah mentraktirnya itu.
“Aku pamit. Terima kasih untuk malam ini. Dan terima kasih untuk nomor teleponmu.”
“Sama-sama.”
Rosalia memandangi sosok Kamasena hingga hilang ditelan kejauhan. Wanita itu tersenyum kecil, hatinya menghangat denga berbagai perlakuan Kamasena mala mini. Bukan sesuatu yang mewah memang, tetapi sangat cukup membuatnya merasa dihargai. Tetapi, Rosalia kembali menyadarkan dirinya jika dia tidak boleh terjebak oleh perasaannya sendiri. Kamasena bukan pria baik-baik, dia pemain wanita. Rosalia yakin, Kamasena bersikap manis seperti tadi tidak hanya dengannya saja.
“Nah ini yang ditunggu-tunggu akhirnya pulang juga.” Sam muncul dari balik pintu gerbang, bersamaan dengan Pak Wendi—penjaga kos. “Dia mana, Ros?” Sam menanyakan Kamasena.
“Barusan pulang,” jawab Rosalia.
“Mbak, ayo masuk yuk. Saya mau minta nasi bebeknya,” kata Pak Wendi sambil mengusap-usap perutnya yang buncit.
“Nasi bebek?” tanya Rosalia bingung.
“Sudah kuduga kalau kamu pasti nggak tahu,” kata Sama.
“Tahu apa, Sam? Aku sama sekali nggak paham.”
“Itu, tadi ada ojol nganterin paket nasi bebek 20 porsi, katanya dari pacar kamu itu,” terang Sam yang membuat manik Rosalia seketika melebar.
“Pacar? Siapa? Kamasena?”
“Ya, siapa lagi memangnya?”
Rosalia tidak bisa berkata-kata. Ini terlalu mengejutkan, karena Kamasena bisa mengetahui apa yang ingin dimakannya tadi. Dan diam-diam membelikan nasi bebek madura itu untuknya. Bukan hanya satu porsi, melainkan banyak.
“Mbak, sering-sering ajak pacarnya ke sini ya, biar saya kecipratan makanannya terus,” kata Pak Wendi dengan mulut penuh berisi nasi bebek.
Rosalia hanya tersenyum dan tidak tahu harus menyahuti apa.
Bersambung