Scandal 7

1189 Kata
Sementara itu, di belahan bumi lain. “Ayo, Ma, makan sedikit lagi ya. Mama baru makan dua suap lho,” bujuk seorang wanita muda berambut panjang kepada wanita yang lebih tua yang tengah terbaring sakit di tempat tidur. Wanita separuh baya itu menggeleng lemah, sementara air matanya terus mengalir di kedua sisi pipinya. Dia tidak ingin makan sekali saat ini. Kerinduannya pada sang puteri tercinta yang empat tahun lalu meninggalkan rumah, semakin tak terbendung. Bu Indri begitu merindukan Rosalia—buah hati pertamanya. Wanita muda bernama Rosi menghela napas berat. Lagi-lagi terulang kembali sang ibu tidak bersedia untuk makan. Rosi tahu, jika sang mama saat ini sedang mogok makan karena merindukan kakaknya yang saat ini entah berada di mana. Sudah empat tahun berlalu, kakak perempuannya yang dulu pergi tak kunjung kembali. Padahal berita tentang skandal kakak perempuannya itu sudah mereda sejak lama dan videonya juga sudah banyak yang di-takedown. Rosi dan kembarannya—Risa, juga tidak diam saja selama ini. Mereka berdua sudah mencoba mencari keberadaan Rosalia, baik melalu akun sosial media maupun teman-teman Rosalia, juga kerabat mereka. Namun hingga saat ini pencarian mereka belum membuahkan hasil. Sang kakak tercinta, belum juga diketahui keberadaannya. “Rosi, kakakmu sudah makan belum ya? Dia kerja apa sekarang ya? Dia tinggal dimana?” gumam Bu Indri kepada Rosi. “Kasihan sekali Rosa. Harusnya mama nggak membiarkan dia pergi waktu itu.” Bu Indri berkata dengan penuh penyesalan. “Nanti Rosi sama Risa coba cari Kakak lagi ya, Ma,” kata Rosi memberikan kalimat penghiburan pada sang mama. “Apa kita lapor polisi saja ya? Mama punya emas, nanti dijual saja buat biaya laporan.” “Nggak perlu, Ma. Kata Papa kan kita nggak boleh lapor polisi. Nanti biar Rosi dan Risa yang cari caranya ya, Ma. Mama tenang dulu sekarang.” “Sudah empat tahun, Rosi. Sudah empat tahun kakakmu belum juga kembali. Apa dia sudah tidak ingat kita lagi ya?” “Enggak, Ma. Enggak mungkin Kak Rosa seperti itu. Rosi yakin, Kak Rosa punya alasan tersendiri mengapa sampai saat ini dia belum kembali.” “Rosi, janji ya, kamu harus temukan kakak kamu. Demi Mama.” “Iya, Ma, Rosi janji. Tapi Mama makan dulu ya. Kak Rosa juga pasti sedih, kalau tahu keadaan Mama begini.” “Tapi Mama kenyang, Rosi,” tolak Bu Indri saat Rosi menyodorkan sendok berisi bubur ke bibir wanita itu. Rosi lagi-lagi menghela napas. Dia tidak mungkin memaksa mamanya untuk makan. “Kenapa lagi, Mamamu, Rosi?” Pak Agam yang baru saja memasuki kamar bertanya. Pria itu baru saja pulang kantor untuk lembur katanya. “Ini, Pa, Mama tadi mau pingsan.” Pak Agam menatap sejenak sang istri, lantas menghembuskan napas berat. “Kamu mikirin apa sih, Ma? Rosa lagi? Sudah lah, dia sudah dewasa. Nanti kalau dia mau menikah butuh keluarganya juga pasti pulang,” kata Pak Agam dengan nada marah. Seketika Bu Indri bangun dari tidurnya. Marah sekali dia mendengar kalimat itu terucap dari bibir seorang ayah yang telah mengusir darah dagingnya. “Apa yang sedang Papa sembunyikan sebenarnya?” tanya Bu Indri dengan dingin pada suaminya. “Kenapa Papa benci sekali dengan anak kita sendiri? Kenapa?” Pak Agam mendengus kesal, tanpa berkeinginan untuk menjawab pertanyaan dari Bu Indri. “Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan papa kamu, Rosi? Sikapnya benar-benar aneh selama beberapa tahun ini.” …. Rosalia sudah masuk ke dalam kamarnya. Sudah mengganti pakaian perginya dengan pakaian rumah dan kini sedang berbaring di tempat tidur. Tangannya sedari tadi menggenggam ponsel. Rosalia sedang bimbang, haruskah dia mengirim pesan pada Kamasena atau tidak, karena pria itu telah membelikan nasi bebek madura dalam jumlah yang banyak. Haduh, aku chat jangan ya? Tapi kalau nggak chat, nanti pas ketemu lagi malu. Nanti dia kira aku nggak tahu terima kasih. Rosalia bergumam. Akhirnya, setelah meyakinkan diri, karena memang dia perlu mengucapkan terima kasih, Rosalia mengetikkan pesan pada pria yang sudah merenggut kesuciannya itu. Akan tetapi, belum sempat pesannya terkirim, nomor Kamasena terlihat menyala-nyala di layar ponselnya. “Rose,” panggil Kamasena dari seberang sana. Suaranya terdengar begitu maskulin di rungu Rosalia. “Ya—ya?” Entah mengapa Rosalia justru tergagap. “Sudah di kamar?” “Su—sudah, Kama.” Rosalia terbata saat menjawab. “Eee, Kama, aku mau bilang terima kasih untuk nasi bebeknya. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot membelikannya.” “Bukan sesuatu yang besar, lupakan saja.” “Tapi ini sangat berarti buat aku, Kama. Terima kasih sekali lagi.” “Sama-sama, Rose.” Terjadi jeda sesaat dan kini hanya terdengar hembusan napas dari dua manusia berbeda jenis kelamin itu. Sebelum akhirnya, Kamasena lebih dulu berbicara. “Kamu bisa masak, Rose?” “A—aku?” “Iya, kamu. Kan aku ngobrolnya sama kamu. Bisa masak?” Kamasena mengulang pertanyaannya. “Bisa, tapi nggak seberapa enak rasanya.” “Nggak masalah. Besok kamu libur kan ngajarnya?” “Kamu tahu?” tanya Rosalia kembali dikejutkan karena rupanya hari liburnya pun, Kamasena hafal. “Besok aku jemput jam 7,” putus Kamasena tanpa menjawab pertanyaan Rosalia. “Eh?” “Sudah ya, aku tutup. Kamu harus istirahat.” “Tapi, Kama.” Rosalia ingin protes, namun Kamasena lebih dulu menutup panggilannya. Dan saat Rosalia akan menghubunginya, nomor Kamasena sudah tidak bisa dihubungi lagi. Rosalia menghela napas. Dia bingung, haruskah dia bersedia memasak untuk Kamasena atau menolaknya saja. Cuma memasak kok, Ros. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih buat Kamasena. Hati kecilnya meyakinkannya. …. “Ros, Rosa!” Rosalia masih bergelung di bawah selimut saat pintu kamar diketuk oleh Sam dengan kencang. Dengan malas dan menggerutu, Rosalia membuka pintu kamarnya dan menemukan Sam tidak sendiri, melainkan bersama Kamasena. Ya, Kamasena. Matanya saja belum terbuka secara sempurna, tapi Kamasena sudah datang menjemputnya. “Iih, kok jam segini kamu baru bangun sih.” Itu bukan sebuah pertanyaan dari Sam, melainkan sindiran. Dengan langkah cepat, Rosalia berbalik dan berlari menuju kamar mandi. Dia harus segera mandi, tak ingin membuat Kamasena menunggu terlalu lama. Lima menit kemudian, Rosalia sudah menyelesaikan mandinya. “Loh kenapa kamu ada di sini?” Rosalia berjengit kaget dan kembali masuk ke kamar mandi, namun melongokkan kepalanya di pintu, menatap Kamasena. “Kama, tolong keluar dari kamarku, nanti Pak Wendi marah,” pinta Rosalia memohon karena tak ingin membuat marah penjaga kos atau dia akan terancam diusir dari sana. “Pak Wendi yang memintaku menunggu di sini.” “Apa? Pak Wendi yang minta kamu ke sini?” Rosalia berteriak tak percaya. “Ayo, pakai bajumu, Rose. Aku lapar,” pinta Kamasena, merengek. “Tapi kamu harus keluar dulu, aku harus ambil bajunya di lemari.” “Aku pernah melihat keseluruhanmu, Rose. Jadi jangan malu-malu lagi denganku. Ayo, lekas pakai bajumu, aku benar-benar lapar.” “Tapi, Kama ….” “Ayo, Rose.” Rosalia menghela napas, akhirnya dengan terpaksa keluar dari kamar mandi untuk mengambil pakaian di lemari. Dengan canggung dia berdiri membelakangi Kamasena yang entah sedang memandanginya atau tidak. “Bisa lebih cepat sedikit tidak, Rose? Nanti laparku jadi beda kalau lama-lama melihatmu memakai handuk saja.” Rosalia melirik tajam pada Kamasena, lantas dengan gerakan cepat menuju kamar mandi untuk mengenakan pakaiannya. Kamasena benar-benar! Batin Rosalia kesal. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN