Scandal 8

1174 Kata
“Kama,” panggil Rosalia pada pria yang sedari tadi sibuk dengan iPad-nya. Sosok yang dipanggil itu menaikkan wajah, tersenyum menatap Rosalia. “Ya, Rose, kenapa?” “Bisa tolong cicipi dulu,” pinta Rosalia. “Tentu.” Kamasena tersenyum semakin lebar dan dengan bersemangat menghampiri Rosalia. Kamasena lantas mengulurkan sendok yang dikirimkan oleh Rosalia, dan mencicipi masakan wanita itu. “Gimana rasanya?” tanya Rosalia penasaran. “Sudah pas. Enak,” sahut Kamasena. “Jadi sudah selesai kan? Aku mau makan sekarang,” tanyanya tak sabar. “Iya, sudah. Aku siapkan dulu ya.” “Aku bantu.” Mereka berdua saling bantu menyiapkan makanan ke meja makan. Masakannya sederhana sebenarnya. Hanya tumis kangkung, tempe goreng dan telor dadar. Tapi bagi Kamasena, masakan sederhana tersebut menjadi masakan terlezat yang pernah dia cicipi. Karena selama ini tidak ada yang pernah memasak untuknya. “Lain kali, kalau aku minta masakin lagi, apa kamu bersedia, Rose?” tanya Kamasena di sela-sela kegiatan makannya. “Memangnya nggak apa-apa?” tanya Rose bingung harus menolak atau mengiyakan permintaan Kamasena saja. “Kamu keberatan, Rose?” Kamasena bertanya balik, dengan penuh penekanan. Pria itu tidak suka ditolak. Terlebih, dia suka sekali dengan rasa masakan Rosalia. “Bukan begitu.” Rosalia berpikir keras mencari jawaban yang tepat. “Lantas bagaimana?” “Aku sibuk, Kama. Aku harus mengajar dan menyelesaikan pesanan.” Rosalia tidak sepenuhnya berbohong memang. Dia memang sibuk mengajar dan menyelesaikan pesanan tas rajut yang hampir setiap hari datang. Sedangkan untuk membuat tas rajut dalam ukuran kecil saja dia membutuhkan waktu empat sampai tujuh hari. “Aku bayar,” kata Kamasena lagi. Dia tidak main-main, dia menginginkan Rosalia. “Bukan begitu.” “Lalu kenapa? Kamu ingin menghindariku?” tuntut Kamasena lagi. “Kenapa kamu sekarang memaksaku begini?” Suara Rosalia tanpa sadar meninggi. “Maaf, Rose.” Tatapan dan suara Kamasena melunak. “Aku nggak bermaksud memaksa kamu. Tapi aku benar-benar ingin kita dekat.” “Untuk apa kita harus dekat?” tanya Rosalia penasaran. “Aku ingin membantumu, membalaskan dendammu pada mereka.” Suara Kamasena terdengar dingin di rungu Rosalia. Rosalia membuang napas kasar. Lantas menatap isi piringnya yang masih penuh. “Ayo makan dulu, nanti kita bicarakan lagi,” putus Rosalia, lantas kembali menyantap makanannya. Kamasena menuruti permintaan Rosalia. Pria itu pun mulai menyantap kembali makanannya dan sesekali mencuri pandang pada wanita di hadapannya itu. Tetapi, hal itu tidak boleh terlalu lama, atau dia akan semakin jatuh pada pesona Rosalia. Usai menghabiskan isi piring mereka, keduanya bersama-sama merapikan meja makan dan mencuci peralatan makan. Lantas Kamasena mengajak Rosalia menuju lantai teratas rumah tersebut. Mereka menikmati sinar mentari yang menyirami pagi ini, sembari menikmati keindahan laut di depan sana. Rosalia menyukai rumah Kamasena. Selain berbentuk unik, rumah itu juga dilengkapi dengan furniture lengkap dan dikelilingi pemandangan yang memukau. Kini, wanita itu tengah melepas penatnya dengan menyaksikan pemandangan laut yang membiru yang menenangkan jiwanya. Juga mentari yang kini mendekap tubuhnya, menghangatkannya. “Kamu boleh tinggal di sini kalau kamu mau,” kata Kamasena yang kini menyebelahi Rosalia, memandangi laut. Rosalia tersenyum. “Apa kata orang-oarang nanti kalau aku tinggal di sini, Kama? Mereka pasti akan berpikir aku perempuan ….” “Jangan lanjutkan. Kamu bukan perempuan seperti apa yang kamu pikirkan Rosalia. Aku tahu, kamu perempuan baik-baik. Kamu dijebak agar tidur bersamaku waktu itu.” Kamasena menatap Rosalia dalam. “Aku berpacaran dengan Marvin sangat lama, Kama. Kami memang belum tidur bersama, tapi setiap bertemu selalu ada sentuhan fisik. Jadi, aku memang bukan perempuan baik-baik. Aku tidak bisa menjaga diriku.” “Sudah cukup, aku nggak ingin mendengar masa lalumu dengan pria pengecut itu. Aku ingin kita merencanakan pembalasan dendam untuk mereka. Kamu harus pulang.” Rosalia menggeleng lemah. “Aku nggak bisa, Kama. Terlalu sakit berada di sana, karena tidak ada yang mempercayaiku lagi.” “Ibumu tidak mengusirmu bukan? Hanya ayahmu saja yang mengusirmu?” tanya Kamasena memastikan yang diangguki oleh Rosalia. “Itu berarti kamu masih memiliki rumah untuk pulang, Rose. Ayo pulang bersamaku. Aku akan membantumu semaksimal yang aku mampu.” “Kejadiannya sudah terlalu lama, Kama. Pasti akan sulit untuk menemukan pelakunya. Sudah lah, lupakan saja soal itu.” “Tidak bisa, Rose. Aku tidak mungkin membiarkan mereka hidup tenang di atas penderitaanmu.” “Aku nggak menderita, Kama. Aku hidup dan tinggal dengan layak,” sanggah Rosalia. Rosalia memang hidup dengan layak. Dia masih bisa makan 3 kali dalam sehari dan tinggal di indekos yang sangat layak. Hanya saja, Rosalia memang harus berhemat untuk bisa menabung. Bagaimana pun, dia hidup sendirian sekarang, kalau tidak memiliki tabungan, maka dia yang akan kebingungan sendiri di saat sedang kesulitan. “Iya, aku tahu. Tapi kamu sering murung dan melamun. Kamu juga tinggal jauh dari keluargamu. Seharusnya kamu bisa tinggal dengan mereka, menghabiskan waktumu dengan meraka saat libur dan merajut rumah tanggamu dengan mantanmu itu, jika kamu nggak dijebak.” “Sudah jalan takdirku begini, Kama. Tidak apa-apa. Aku sudah menerima semuanya.” Rosalia tersenyum teduh yang membuat Kamasena semakin jatuh hati pada wanita itu. “Rose ….” “Kama, stop. Aku nggak apa-apa.” “Nggak bisa.” Kamasena bersikukuh. “Kamu harus mencari tahu semuanya. Mencari pelaku sebenarnya. Aku yakin, orang ini adalah orang yang mengenalmu dengan baik dan dengan sengaja menghancurkan pernikahanmu untuk kepentingannya sendiri.” “Pasti lah orang itu memang sengaja melakukannya, Kama. Buat apa dia membuat rencana penjebakan itu kalau memang nggak memiliki tujuan tertentu.” “Kalau begitu, ayo kita cari tahu bersama-sama. Aku akan membantumu.” “Buat apa, Kama? Meskipun semuanya sudah terungkap, namaku sudah terlanjur buruk. Hubunganku dengan Marvin sudah berakhir. Dan Papaku, dia tidak sesayang itu kepadaku.” Kamasena menggenggam jemari Rosalia. Memakukan tatapannya pada wanita di sampingnya itu. Meyakinkan Rosalia, jika dia memang bersungguh-sungguh membantunya. “Pikirkan lagi, Rose. Aku benar-benar akan membantumu sampai pelakunya terungkap.” “Kamu akan meninggalkan rumah ini dengan ikut bersamaku?” Rosalia balas menatap Kamasena, setelah meloloskan tangannya dari genggaman pria itu. “Ya, demi mengungkap semuanya, aku akan ikut kamu.” “Kenapa kamu ingin bantu aku, Kama?” “Karena aku ingin.” Kamasena menatap deburan ombak di depan sana yang tengah menjilati bibir pantai. Dia secara tulus ingin membantu Rosalia. Tidak seharusnya Rosalia di sini. Seharusnya wanita itu berada di tengah-tengah keluarganya. Bukan hidup sendirian seperti ini. “Lalu keluargamu bagaimana, kalau kamu ikut bersamaku?” Kamasena tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan Rosalia. “Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, Rose.” “Maksud kamu? Orang tuamu sudah meninggal? Maaf kalau begitu, Kama, aku tidak tahu.” “Tidak apa-apa, Rose. Karena aku sendiri tidak tahu orang tuaku siapa. Waktu kecil, aku tinggal di panti asuhan.” “Benarkah?” tanya Rosalia tak percaya. Seketika dia trenyuh dengan kenyataan yang dihadapi Kamasena. Ternyata, dia jauh lebih beruntung dari Kamasena. “Ya, benar. Aku hidup sebatang kara, Rose. Tapi memang sudah jalan hidupku begini. Beda denganmu. Kamu masih memiliki keluarga lengkap. Maka dari itu, aku ingin kamu pulang dan berkumpul lagi dengan mereka. Sekaligus mengungkap dalang di balik SKANDAL video kita.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN