Rosalia tersenyum dan mengucapkan terima kasih, menerima es krim pesanannya. Wanita itu tengah berada di alun-alun kota bersama dengan Sam untuk lari pagi. Tidak benar-benar lari pagi sebenarnya, karena baru 5 menit berlari, mereka sudah kelelahan dan kini justru tengah duduk di tepi lapangan, membeli jajanan.
“Enak juga es krimnya, Ros,” komentar Sam yang sudah menghabiskan setengah porsi es krimnya.
“Iya, lumayan, Sam,” sahut Rosalia, menikmati es krimnya sembari melihat orang-orang yang berlalu lalang di depannya.
“Kamu libur kan hari ini?” tanya Sam kemudian.
“Libur, kenapa?”
“Kamu nggak baca grup memangnya?” Yang dimaksud Sam adalah grup anak-anak kos.
Rosalia menggeleng pelan. “Ada apa memangnya?”
Sam berdecak lirih dengan kebiasaan Rosalia yang jarang sekali membuka grup yang beranggotakan anak-anak kos, pemilik kos dan penjaga kos.
“Itu, anak-anak mau jalan ke pantai. Ikut yuk, dari pada gabut di kos,” ajak Sam.
Rosalia menggeleng pelan. “Aku mau istirahat di kos aja, Sam. Capek kalau harus pergi-pergi jauh. Lagian, aku harus nyelesaian tas pesanan pelangganku.”
“Akh, kamu nggak asyik deh. Setiap diajak jalan pasti selalu nggak bisa.” Sam nampak kecewa.
“Iya, maaf ya. Aku lebih suka di kos soalnya.”
“Atau jangan-jangan kamu mau pergi sama Bang Kama?” tebak Sam. Yang mulai curiga dengan kedekatan Rosalia dan Kamasena, karena keduanya cukup sering pergi bersama.
“Kenapa namaku disebut-sebut, Sam?” Kamasena tiba-tiba muncul dari arah belakang Rosalia dan Sam.
Pria itu dengan tatapan datar kemudian melangkah, berdiri tepat di depan Rosalia.
“Loh, Abang kok udah ada di sini? Kapan datangnya sih?” tanya Sam terkejut dan merasa malu karena baru saja menyebut-nyebut nama pria itu.
“Kenapa, Sam? Kamu nggak suka melihat saya datang?” tanya Kamasena dengan tatapan sedingin kutub pada perempuan di samping Rosalia itu.
“Bukan begitu, Bang. Aku kan tadi sebut nama Abang cuma tanya aja ke Rosa.” Sam berdalih. “Kalau aku sih, asalkan Rosalia senang, aku juga senang-senang aja Abang datang.”
Kamasena mengangguk sebagai jawaban atas kalimat Sam. Pria itu lantas menekuk lutut di hadapan Rosalia dan tersenyum pada wanita itu.
“Aku lapar, Rose,” katanya kemudian yang seketika membuat Sam menyemburkan tawa.
Sam tak menyangka, Kamasena yang berpenampilan seperti preman dan baru saja berkata dengan dingin padanya, ternyata bisa bertutur lembut pada Rosalia.
Rosalia yang tak ingin membuat Kamasena marah, memukul pelan lengan Sam untuk menghentikan tawa gadis itu.
“Beli saja makanan di sini, aku lagi malas masak, Kama,” sahut Rosalia.
“Goreng telur saja untukku. Tolong.” Kamasena memohon.
“Ayo kita ke rumah makan saja, nanti aku pesankan telur untukmu, biar aku yang bayar nanti.”
“Enggak. Aku mau kamu yang goreng buatku.”
“Kama, tapi aku capek, mau istirahat.”
“Kamu bisa tidur di rumahku nanti. Aku sudah siapkan baju untukmu,” beritahu Kamasena yang membuat Rosalia dan Sam terkejut bersamaan. Sam bahkan tersedak oleh es krim yang tengah disantapnya.
“Aku kayak lagi lihat adegan w*****d di sini,” kata Sam, menatap takjub pada Kamasena dan Rosalia. Bagi Sam, Kamasena adalah sosok pria yang sempurna, tampan, perhatian dan sepertinya juga mapan.
“Sam, bujuk temanmu supaya bersedia masak untukku,” kata Kamasena pada Sam.
“Apa imbalannya, Tuan Kama?” Sam nyengir lebar, mengabaikan pelototan Rosalia padanya.
“Es krim selama sebulan,” sahut Kamasena.
“Ok.” Sam mengacungkan jempolnya dan mengedipkan satu matanya pada Rosali, tersenyum penuh arti. “Ayo lah, Ros, kan cuma masak telur untuk Bang Kama,” bujuk Sam pada Rosalia.
“Nggak, aku mau istirahat di kos,” kata Rosalia memutuskan.
“Ya udah, Bang, ke kos kami saja kalau gitu. Nanti Rosa masaknya di kos kami.”
“Boleh kalau begitu.”
Dan mereka bertiga akhirnya menuju indekos yang berjarak 5 km dari alun-alun tersebut. Rosalia duduk berdampingan dengan Sam di kabin kedua. Sementara Kamasena menyetir di depan.
“Harusnya kamu duduk di depan tadi. Kasihan tuh, Bang Kama duduk sendirian,” bisik Sam pada Rosalia, yang masih bisa didengar jelas oleh Kamasena dari kabin depan.
Rosalia melirik tajam pada Sam. Dia kesal juga pada Sam, yang justru mengajak Kamasena ke indekos mereka.
“Iih, galak banget mukanya.” Sam berpura bergidik ngeri. “Jangan galak-galak begitu. Katanya kalau cewek galak, tambah cantik, nanti Bang Kama tambah naksir,” kelakar Sam yang membuat Kamasena tersenyum di balik kemudinya.
Lima belas menit berlalu, mereka pun tiba di indekos setelah sepanjang perjalanan menuju ke sana, mereka lebih banyak diam.
“Karena Sam yang mengajakmu ke sini, jadi Sam yang seharusnya masak buatmu,” kata Rosalia, lantas berlalu menuju kamarnya.
Kamasena tersenyum saja dan melangkah mengekori Sam menuju ruang tamu kos. Kamar Rosalia sendiri berada ditengah di lantai 1, begitu pun dengan kamar Sam. Dapur kos berada di lantai 1 sedangkan area laundry berada di lantai 2.
“Bang, gimana nih? Rosanya ngambek,” kata Sam yang kini duduk berseberangan dengan Kamasena.
“Nggak apa-apa. Mungkin dia memang capek. Biarkan saja dia istirahat.”
“Terus Bang Kama mau apa ke sini, kalau Rosanya ngambek?”
“Saya lapar, bisa minta tolong pesankan makanan yang enak buat saya, Sam?”
“Bisa-bisa. Sebentar aku pesankan ya, Bang. Tunggu dulu.”
….
Jarak antara ruang tamu dan kamar kosnya tidak begitu jauh. Hal tersebut membuat Rosalia mampu mendengar dengan jelas pembicaraan antara Rosalia dan Sam. Bahkan apa yang sedang mereka lakukan pun Rosalia tahu, karena dia mengintipnya melalui ventilasi di atas pintu.
Tak disangka, meski dirinya enggan menemani dan memasakkan untuk Kamasena, pria itu tetap bertahan di ruang tamu kos. Bahkan pria itu berbincang-bincang dengan penghuni kos yang lain dan kini bermain catur dengan Pak Wendi. Ya, Kamasena kini tengah asyik bermain catur dengan penjaga kos. Pintar sekali pria itu mengambil hati warga kos.
“Rosa, aku tahu kamu nggak tidur.” Sam mengetuk pintu kamar Rosalia ke sekian kali. “Keluar lah, tolong, kasihan Bang Kama.”
Rosalia menghela napas, lalu menjawab panggilan Sam dengan malas. “Aku capek, Sam.”
“Sama, aku juga capek. Tapi nggak baik lah, nyuekin tamu begini. Ayo, dong, keluar, seenggaknya temani Bang Kama di sini. Dia udah makan kok tadi, aku orderin sopifood.”
Rosalia akhirnya membuka pintu dan menemukan Kamasena yang masih memainkan pion-pion caturnya. Kamasena sudah mengepung Pak Wendi. Dan selangkah saja Pak Wendi salah langkah, maka pria paruh baya itu akan kalah dalam permainan caturnya.
“Pak, sudah dulu ya. Yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar juga.” Kamasena tiba-tiba berdiri dari duduknya, menatap Rosalia dengan penuh antusias. Tak sia-sia menunggu hampir dua jam lamanya, hingga akhirnya Rosalia keluar dari kamarnya.
“Tapi, Mas, ini belum selesai. Nanggung.”
“Saya izin bicara sama Rose di kamar dia ya, Pak,” kata Kamasena, yang tanpa menunggu jawaban dari Pak Wendi sudah menuntun Rosalia ke dalam kamar wanita itu.
“Kama, kamu apa-apaan?” protes Rosalia berusaha membuka pintu kamarnya kembali. “Diluar sedang banyak orang, kamu jangan macam-macam ya!”
“Justru karena di luar banyak orang, aku nggak mungkin macam-macam sama kamu,” kata Kamasena yang seketika membuat Rosalia berhenti memberontak.
“Terus, mau kamu apa sebenarnya, Kama? Aku nggak mau disuruh-suruh terus sama kamu. Aku bukan tukang masak kamu!”
“Maaf kalau begitu, aku cuma mau kita dekat. Jadi, kita harus bagaimana supaya kamu nggak merasa aku jadikan tukang masak? Kita pacaran? Atau menikah saja?”
Bersambung