Scandal 10

1092 Kata
Kamasena sendiri terkejut dengan ucapannya yang tiba-tiba menyebut soal pernikahan. Sepanjang hidupnya sekarang, dia tidak pernah berpikir untuk menikah. Tidak ada gambaran di kepalanya tentang keluarga ideal, rumah tangga impian karena dia tak pernah merasakan bagaimana memiliki keluarga. Yang dia rasakan saat ini pada Rosalia, mungkin bisa dikatakan jika dia hanya terobsesi pada wanita itu. Dia menginginkan Rosalia, sekaligus ingin melindungi wanita itu. Mengganti kesucian Rosalia yang telah direnggutnya meski dia tidak sengaja melakukannya. Kamasena pulang meninggalkan indekos Rosalia setelah wanita itu menangis memintanya untuk pergi. Tak ingin terus menerus membuat wanita itu menangis, dengan terpaksa dia meninggalkan tempat tinggal wanita itu. Tetapi Kamasena tidak segera pulang. Dia akan menemui seseorang untuk mengungkap skandal video yang menyeret dirinya. Meski wajah dan sebagian tubuhnya disensor, tetap saja, Kamasena merasa tak terima dengan perekaman diam-diam dirinya saat sedang bercin-ta dengan Rosalia. “Silakan, ini berkas terduga A dan ini terduga B. Silakan Pak Kama baca-baca lebih dulu,” ujar pria berbadan tegap dan berpakaian serba hitam tersebut. “Tidak ada bukti chat dan panggilan telepon yang mencurigakan di sini,” komentar Kamasena setelah membaca perlahan berkas tersebut. “Benar. Mungkin pelakunya memang bukan mereka, atau bisa saja pelakunya benar-benar melakukannya dengan amat rapi sehingga tidak meninggalkan jejak sedikit pun.” “Untuk cek CCTV di hotel tempat resepsi dan kami bertemu, apakah masih memungkinkan?” tanya Kamasena. “Bisa, tapi kami membutuhkan biaya lagi untuk menghubungi pihak-pihak terkait.” “Sebutkan saja nominalnya, saya akan transfer segera.” “Baik.” Lawan bicara Kamasena itu mengangguk patuh. Setelah saling menjabat tangan, Kamasena lantas pergi meninggalkan tempat tersebut. Pria itu pulang ke rumahnya untuk memulai bekerja. .… Rosalia sudah berhenti menangis dan kini hanya menatap kosong pada langit-langit kamarnya. Entah kenapa, dia justru menangis untuk mengusir Kamasena dari kamarnya. Selain karena merasa sungkan pada Pak Wendi dan teman-teman kos, Rosalia hanya tidak ingin hubungannya dengan Kamasena terlalu dekat. Dia merasa trauma pada hubungannya dengan Marvin dulu. Hubungan selama 10 tahun, tidak membuat Marvin percaya padanya sepenuhnya. Bahkan disaat dia sendiri tidak tahu mengapa sampai ada video skandal itu, Marvin memilih berlalu pergi di hari pertama pernikahannya. Tidak ingin berlarut memikirkan masa lalu, Rosalia beranjak dari tidurnya. Dia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membasuh muka, lantas kembali duduk di meja kerjanya dan mulai merajut. Tas pesanan dari seorang pembeli harus dikirimkan malam ini juga, jadi meski hatinya sedang gundah gulana, Rosalia harus tetap menyelesaikan tas rajut pesanan pembeli itu. Satu setengah jam merajut dengan fokus, mengabaikan berbagai notifikasi yang hinggap ke ponselnya. Akhirnya, Rosali berhasil menyelesaikan tas berawarna merah marun tersebut. Tas cantik itu dikemas dengan aman menggunakan box berlabel Rose Handmade dan siap untuk dikirim. Namun, betapa mengejutkannya, saat Rosalia hendak menuliskan alamat penerima, alamat tersebut adalah alamat rumahnya yang dulu dan pemesan tas rajut tersebut rupanya adalah adiknya sendiri Rosi. “Rosi? Benar ini Rosi?” gumam Rosalia bertanya-tanya sendiri. Dia mengecek foto profil kontak WA pemesan yang ternyata adalah adiknya sendiri itu. Sayangnya, fotonya tidak menampilkan sosok Rosi, hanya sebuah pemandangan laut di salah satu destinasi terkenal di Bali. Tangan Rosalia bergerak mencari akun i********: Rosi atau Risa. Dia menemukan akun keduanya. Lalu dengan lincah jemari Rosalia menggulir layar, mengamati foto-foto keluarganya yang begitu dia rindukan. Hingga akhirnya dia menemukan fakta jika sang mama sering sakit-sakitan, Rosi yang mempostingnya di akun i********: gadis itu. Fokus Rosalia terhenti di salah satu foto yang hanya ada sang ibunda, Rosi dan Risa. Lokasi foto tersebut berada di rumah sakit dengan tangan sang mama yang terpasangi infus. Caption di foto tersebut membuat Rosalia tidak mampu membendung air matanya; Kak Ros, kalau Kakak baca ini, Kakak harus tahu kalau kami sangat menyayangi Kak Ros. Kami tidak pernah melupakan Kak Ros dan ingin Kakak pulang. Tidak apa kalau Kakak tidak mau tinggal dengan kami lagi. Tapi tolong, sesekali Kakak pulang. Kami semua rindu Kakak. Dan Mama, Mama sekarang sakit-sakitan, Kak. Mama selalu nangisin Kakak setiap malam. Tolong, demi Mama, pulang lah meski cuma sebentar, Kak. Rosalia menangis tersedu. Selama ini dia berpikir keluarganya tidak pernah merindukannya, karena dulu tidak mencoba menahan kepergiannya. Dan setelah melihat foto dengan tulisan sang adik itu, membuat batin Rosalia tersentil. Seketika dia ingin pulang, meski mungkin hanya sebentar. Dia ingin memeluk sang ibu dan kedua adiknya itu. Dan mencoba berdamai dengan sang ayah yang telah mengusirnya begitu saja. Setelah berpikir cukup lama dan mempertimbangkan banyak hal, Rosalia akhirnya memutuskan untuk pulang. Ya, dia harus pulang untuk bertemu dengan sang ibu tercinta. Meski mungkin sebentar, tak apa, asalkan dia bisa bertemu dengan wanita yang mengandung dirinya selama sembilan bulan itu. Rosalia menemui penjaga kos dan Sam untuk berpamitan pada mereka. Sebelum akhirnya Rosalia menuju terminal bus, membawa serta tas rajut pesanan Rosi—salah satu adiknya tercinta. Sepanjang perjalanan menuju terminal, Rosalia lebih banyak melamun. Dia memikirkan kondisi sang mama yang sekarang terlihat sangat kurus. Timbul perasaan bersalah karena selama ini terlalu acuh pada sang mama. Seharusnya dia tidak kabur dan bersembunyi seperti yang selama ini dia lakukan. Seharusnya dia tetap bertukar kabar dengan mama dan kedua adiknya. Tiket bus sudah ada di genggaman, namun Rosalia masih harus menunggu selama hampir du jam sebelum keberangkatan. Rosalia duduk bersandar pada tembok sembari memeluk tas gendongnya. Di sampingnya box berisikan tas merah untuk Rosi dia letakkan. Dia akan pulang dengan segala konsekuensinya, termasuk mungkin dia akan diusir oleh ayahnya lagi. …. Kamasena sedang fokus memahat patung berbahan dasar dari kayu berusia puluhan tahun, ketika ponselnya berdering dan nama Pak Wendi menyala-nyala di sana. Tanpa pikir panjang, pria itu segera menjawab panggilan tersebut dan rupanya Pak Wendi menginfokan jika Rosalia akan pulang ke kota asalnya. Mengesampingkan rasa kesalnya karena Rosalia tidak memberitahunya lebih dulu, Kamasena tetap menyusul gadis itu. Dia berharap, bus belum membawa Rose-nya pergi dari kota ini. Menggunakan motor besarnya, Kamasena menyusul Rosalia. Dia melajukan motornya dengan kecepatan penuh karena tidak ingin kehilangan Rosalia. Lima belas menit kemudian, Kamasena tiba di sana. Dia berlari-lari mencari-cari bus keberangkatan kota asal Rosalia. Sayangnya, Kamasena tak kunjung menemukan Rosalia di sana. Di tempat tunggu, tidak ada sosok yang tengah dicarinya. Panggilannya pada ponsel wanita itu juga tak kunjung dijawab. Hampir saja Kamasena menyerah, sebelum akhirnya Rosalia memanggilnya dengan suara bergetar. “Kama.” Kamasena tersenyum lega. Dia melihat Rosalia baru saja keluar dari lorong toilet. Wajah gadis itu begitu sembab, matanya memerah, jejak-jejak air mata nampak di wajahnya yang cantik. Tanpa kata, Kamasena menuntun Rosalia menuju bangku kosong. Mereka duduk di sana saling menatap. “Aku akan mengantarmu pulang.” “Tapi, Kama.” “Tidak ada tapi, Rose. Aku akan mengantarmu pulang. Kita pulang sama-sama.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN