Rosalia duduk dengan tenang di samping Kamasena. Dia bersikukuh menggunakan bus untuk kembali ke kota asalnya, menolak saran Kamasena untuk menggunakan kendaraan pria itu. Sebenarnya dia tidak ingin merepotkan Kamasena, tapi pria itu bersikukuh untuk mengantarnya. Jadi, Rosalia membiarkan Kamasena duduk bersamanya kini.
Rosalia menghela napas entah untuk yang ke berapa kali. Dia berdebar, karena dalam hitungan jam dia akan bertemu dengan keluarganya. Dia penasaran, apakah sang papa akan menyambutnya atau mengusirnya lagi.
“Kenapa, Rose?” tanya Kamasena yang sejak tadi memilih memejamkan mata. Tidak tertidur, hanya memberikan waktu pada gadis di sampingnya.
“Nggak apa-apa, Kama. Aku hanya takut.”
“Takut apa?” Kamasena menyerongkan tubuhnya pada Rosalia, tersenyum.
“Kalau Papa langsung mengusirku bagaimana?” tanya Rosalia mengungkapkan keresahan hatinya.
“Kalau beliau memang ayah kandungmu, seharusnya beliau tidak mengusirmu lagi. Cukup sekali saja beliau mengusirmu dulu.”
“Setauku memang aku anak kandungnya.”
“Kalau begitu jangan takut. Kita akan hadapi sama-sama apapun yang terjadi di sana nanti.
“Pun jika ayahmu mengusirmu lagi, kamu nggak perlu takut. Aku siap melawannya, kalau kamu mengizinkan.”
Rosalia menatap Kamasena sendu. Dia tidak tahu apa alasan sebenarnya mengapa pria di sampingnya itu bisa sebaik ini padanya. Tetapi dia merasa bersyukur untuk itu. Dia merasa memiliki seseorang yang begitu tulus melindunginya. Dan semoga saja, Kamasena memang seperti apa yang disangkakannya.
“Tidur lah, Rose, supaya hati dan pikiranmu tenang,” kata Kamasena yang lantas diangguki Rosalia.
Rosalia memejamkan mata, berusaha untuk menyamankan duduknya di bus yang bergoyang-goyang karena jalanan yang bergelombang. Dia memang harus menenangkan pikiran dan hatinya. Ada Kamasena, ada Kamasena yang akan menjadi pelindungnya kali ini.
….
“Kita sudah sampai, Rose.” Kamasena mengusap lembut kepala Rosalia yang bersandar di bahunya.
Mereka sudah tiba di terminal kota tujuan, bus sudah berhenti sejak satu menit yang lalu. Penumpang satu per satu sudah meninggalkan bus, menyisakan Kamasena dan Rosalia.
Rosalia membuka matanya perlahan dan segera menjauhkan kepalanya dari bahu Kamasena. “Maaf, Kama, aku tidak sadar,” sungkannya karena secara tak sadar menyandarkan kepalanya di pundah Kamasena.
“Tidak apa-apa.” Kamasena tersenyum. “Ayo turun, yang lainnya sudah turun.”
Rosalia mengangguk lantas menyiapkan diri untuk keluar dari bus tersebut. Begitu pun dengan Kamasena yang bersiap turun bersama dengan Rosalia.
“Aku sudah sewa mobil, sebentar lagi sampai,” kata Kamasena yang mengiringi Rosalia menuju bangku tunggu.
“Sewa mobil?” tanya Rosalia terkejut. Kamasena begitu sigap.
“Ya, aku akan antar kamu dan menemani kamu sampai urusanmu di sini selesai.”
“Kalau ternyata aku di sini lama, lalu kerjaan kamu bagaimana?”
“Jangan pikirkan pekerjaanku, yang terpenting urusanmu di sini selesai. Kamu bisa bertemu dengan keluargamu dan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.”
“Kamu keja sebagai apa sebenarnya, Kama? Aku lihat di rumahmu waktu itu banyak patung.”
“Ah, itu mobil kita datang,” seru Kamasena, menunjuk sebuah SUV berwarna hitam yang melaju ke arah mereka.
Kamasena melangkah menghampiri pengemudi mobil tersebut. Setelah berbicara singkat dan menerima kunci mobil, dia kembali ke sisi Rosalia.
“Ayo, berangkat,” ajak Kamasena kemudian.
Rosalia mengangguk dan memasuki mobil tersebut. Jalanan masih cukup ramai meskipun tidak begitu padat, karena sekarang sudah pukul dua dini hari. Sewaktu di bus tadi, Kamasena sempat menawarkan untuk singgah ke hotel lebih dulu dan berkunjung ke rumah orang tuanya esok pagi. Tetapi Rosalia tidak sabar, dia ingin malam ini juga bertemu dengann keluarganya.
Perjalanan dari terminal menuju kediaman orang tuanya hanya membutuhkan waktu kurang dari tiga puluh menit saat ini, karena memang jalanan yang tengah lengang. Rosalia mengarahkan Kamasena ke alamat rumahnya dengan baik dan saat ini mereka sudah memasuki komplek kediaman orang tuanya.
Rasa haru seketika menyelimuti hati Rosalia. Dia teringat segala kenangan indah bersama keluarga kecilnya, sebelum skandal video itu terjadi. Jalanan yang dilaluinya sekarang menjadi saksi bisu jika dia lahir dan tumbuh dengan bahagia di tempat tersebut.
“Rose, setelah ini ke mana?” tanya Kamasena yang menggugah Rosalia dari lamunannya.
“Lurus saja, Kama, rumah yang paling ujung,” beritahu Rosalia dengan d**a kian berdebar.
“Kamu siap, kan?” tanya Kamasena melirik sesaat pada wanita di sampingnya itu.
“Ya, aku siap.”
Tersisa lima rumah, tiga rumah dan akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang bercat abu dengan pagar menjulang tinggi.
“Mereka pasti sudah tidur, Rose, apa nggak sebaiknya kita tunggu besok saja?”’ tanya Kamasena memastikan lagi.
“Aku mau sekarang Kama. Diterima atau tidaknya, biar jadi urusan nanti. Yang penting aku harus bertemu mereka sekarang juga.” Rosalia bersikukuh.
Kamasena mengangguk lantas kembali mengikuti Rosalia turun dari mobil. Mereka kini berdiri bersisian, menatap bangunan di hadapan mereka.
Rosalia mengembuskan napas pelan, lantas melatih bibirnya untuk tersenyum. Dia pun sudah mengoleskan pewarna bibir, bahkan sebelum turun dari bus tadi. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan keluarganya.
Baru saja Rosalia akan menekan bel, pintu rumah tiba-tiba terbuka dari dalam. Rosi, Risa, Pak Agam, Bu Indri muncul dari sana dengan raut terkejut. Tak menyangka dengan kedatangan Rosalia yang tiba-tiba.
“Kak Ros.” Rosi dan Risa berteriak histeris dan segera berlari untuk membuka pintu gerbang yang terkunci.
Dalam hitungan detik, gerbang tersebut terbuka yang seketika membuat Rosi dan Risa menyerbu Rosalia. Kedua gadis itu memeluk erat sang kakak yang telah kembali setelah bertahun-tahun pergi.
“Kakak pulang, Kakak akhirnya pulang.” Risa tersedu di pelukan sang kakak.
“Kakak jahat sekali, kenapa baru pulang.” Rosi berpura mengomel di tengah tangisnya.
“Maaf ya, aku baru bisa pulang,” kata Rosalia berusaha menahan tangisnya.
“Kamaniya Rosalia Lesmana, benarkah itu kamu, Nak?” Bu Indri yang bicara dengan manik berkaca-kaca. Wanita paruh baya itu melangkah perlahan mendekati ketiga putrinya. “Benarkah ini kamu, Ros?” tanyanya masih tak percaya.
“Iya, Ma, ini Rosalia. Maaf, Ros baru bisa pulang.” Rosalia melepaskan diri dari pelukan kedua adiknya, lantas memeluk sang ibu dengan penuh kerinduan. Menumpahkan tangisnya di bahu ringkih yang begitu dirindukannya selama ini.
“Nggak apa-apa. Jangan minta maaf. Kamu nggak salah apa pun, Nak.” Bu Indri menangkup wajah Rosalia, memastikan wajah dan tubuh anaknya tidak kurang suatu apa pun. “Kamu masih cantik seperti dulu.”
“Rosalia, kamu masih memiliki nyali untuk pulang?” Pertanyaan tersebut terucap dari bibir lelaki yang Rosalia sebut sebagai Papa.
Dan tentu saja, pertanyaan tersebut membuat semuanya syok sekaligus geram. Bukankah seharusnya seorang ayah bahagia karena puterinya telah kembali? Tetapi mengapa Pak Agam justru terlihat tidak menyukai kehadiran Rosalia? Ada apa?
Bersambung