Pagi itu, Bandara Soekarno-Hatta mulai padat. Avia berdiri dengan koper kabinnya, mengenakan blazer abu-abu dan celana kain hitam. Rambutnya dicepol rapi, dan kacamatanya terpasang sempurna di batang hidung. Meski terlihat tenang, dari cara tangannya meremas tali koper, bisa ditebak, dia gugup. Di sampingnya, Dirga baru saja menyelesaikan proses check-in untuk lima orang. “Kita dapat kursi kelas bisnis,” ucapnya sambil tersenyum. “Terima kasih, Sayang.” Dirga mendekatkan wajah setengah berbisik, pipi Avia blush! Memerah. Sejenak kemudian dia berusaha menetralkan degup jantungnya. Avia mengangkat alis. “Itu bukan kemewahan, tapi soal efisiensi. Aku enggak tahan berada terlalu lama di kursi ekonomi dengan anak-anak berisik.” “Yang berisik itu malah orang dewasa yang enggak sabaran, Kak,”