“M-maksudnya? Orang itu? Siapa?” Alih-alih menjawab, Mas Rivan malah hanya terus menatapku tanpa kedip. Aku pun tak sadar juga ikut menatapnya tanpa kedip. Jujur, dengan tak tahu malunya aku malah berharap kalau dia sedang membicarakan dirinya sendiri. Namun, bisa jadi aku salah besar. Pasalnya, Mas Rivan seringkali sulit ditebak. Setelah semua yang dia lakukan sejak semalam, mustahil aku merasa biasa-biasa saja. Rasa-rasanya seperti aku ini diberi harapan, hanya saja harapan itu masih semu. Sejak bertemu di indomaret sampai dia membawaku ke sini, minum kopi bersama, dan ngobrol pagi ini, semua terasa keterlaluan jika hanya didasarkan pada rasa iba. Ataukah memang aku saja yang berlebihan mengartikan semuanya? Bingung dan terus bingung. Mas Rivan selalu saja membuatku begitu! Mau mara