Ternyata, resto mie yang Mas Rivan pilih memiliki cita rasa yang unik. Rasanya cukup cocok dengan lidahku. Ya, meski tetap ada sedikit penyesuaian. Aku pesan yang kuah, Mas Rivan pesan yang goreng. Memang sejak dulu dia lebih suka mie goreng daripada mie kuah. Bagian ini, kami cukup bersebrangan. Selama makan, baik aku maupun Mas Rivan banyak diamnya. Aku tidak banyak berkomentar, pun dia tidak mengajakku bicara. Ekspresi wajahnya memang sudah cukup melunak, tetapi entah kenapa aku masih merasakan ketegangan. Sebanyak apa pun aku berpikir selama makan, aku tidak mengerti kenapa dia mendadak marah-marah. Baiklah, dia mungkin kesal karena aku asal pergi, padahal bisa saja dia membutuhkanku. Atau bisa saja dia marah karena aku keluar sembarangan di negara orang, sementara dialah yang memba