Benar saja, hanya dalam waktu lima menit, Adelia sudah memindahkan hampir seluruh tempat duduk dan meja ke depan kelas agar bagian tengah dan belakangnya benar - benar kosong, dan hanya ada satu tempat duduk dan yang ia biarkan di tempatnya begitu saja, tentu saja itu adalah meja dan kursi miliknya.
Tidak berhenti sampai disitu, Adelia menarik keluar dari pergelangan tangannya sebuah ikat rambut berwarna hitam dan menjepitnya di antara kedua bibirnya agar tangannya bisa leluasa merapikan dan mengikat tinggi rambut hitam panjangnya, yang lurus tanpa ada satu helai pun yang ikal. Salah satu kegiatannya perempuan yang tidak begitu Adelia sukai adalah menata rambut. Sebab, untuk mengikat rambutnya dengan bentuk ikatan yang simpel saja sudah berhasil membuat tangannya pegal.
Tetapi dengan begitu bukan berarti ia membenci rambutnya. Justru ia sangat menyukainya. Ibunya sewaktu dulu juga pernah bercerita padanya bahwa teman - teman ibunya banyak yang iri padanya saat melihat rambut Adelia kecil yang begitu indah. Hitam mengkilap, lurus dan lembut bagaikan kain satin. Dan bagi Adelia, rambutnya benar - benar merupakan mahkota indah yang berharga untuknya.
Sebelum melanjutkan, Adelia menunduk untuk melihat lantai yang diinjak olehnya. Pandangannya meluas hingga ke seluruh bagian lantai yang sudah ia tandai akan menjadi area kosong untuknya. Tidak ada sampah - sampah plastik ataupun kertas - kertas. Hanya saja, debu - debu dari luar yang dibawa oleh sepatu miliknya dan juga teman - teman sekelasnya membuat lantainya kotor dan tidak enak untuk di duduki ataupun diinjak dengan bertelanjang kaki.
Tidak ingin membuang waktunya dengan hanya meratapi lantai kotor tersebut, Adelia bergegas mengambil sapu yang di dalam lemari dekat dengan meja guru. Lemari dua pintu tersebut adalah lemari pakaian tua yang dialihgunakan. Di satu pintu yang terdapat lima sekat - sekat bersusun dari atas sampai bawah, digunakan untuk menyimpan buku - buku tugas dan juga berkas - berkas seperti berkas absen yang hanya dipegang oleh guru. Oleh sebab itu pintu lemari yang satu itu dipasang kunci gembok dan hanya guru wali kelas mereka yang memegang kuncinya.
Sedangkan untuk pintu sebelahnya, sebelumnya adalah tempat untuk pakaian - pakaian seperti jas dan juga kemeja yang cara menyimpannya dengan menggantungnya dan tidak boleh dilipat untuk menjaga kerapiannya. Tetapi sekarang ini malah menjadi tempat untuk menyimpan alat - alat kebersihan kelas yang biasa dipakai untuk piket kelas. Benda - benda seperti sapu, pel, dan juga kemoceng ada di sini. Berbeda dengan pintu sebelahnya yang diberi kunci, untuk pintu lemari bagian ini dibiarkan bebas bisa dibuka oleh siapapun.
Sejak kecil Adelia selalu diajarkan soal kebersihan oleh kedua orangtuanya, terutama ibunya. Salah satu kebiasaan baik itu terbawa hingga ia sebesar sekarang ini. Ia tidak bisa melihat sesuatu dibiarkan kotor begitu saja. Tidak jarang Adelia sengaja memungut sampah yang ada di pinggir jalan untuk ia buang ke tempat sampah terdekat. Sesuatu yang bersih dan rapi adalah kesukaan Adelia. Hal itu membuatnya tenang.
Tanpa merasa berat hati, Adelia mengambil sapu dan melepas sepatu juga kaus kakinya. Ia tidak ingin debu - debu yang menyangkut pada sepatunya berjatuhan selagi ia menyapu dan membuat jejak kotor lainnya yang harus ia bersihkan. Adelia memulainya dengan menyapu bagian yang dekat dengan kakinya agar kaki telanjangnya hanya menginjak lantai yang bersih. Terus berlanjut hingga ke bagian sudut - sudut yang sering diabaikan oleh teman - temannya saat piket membersihkan kelas.
Slash.
Suara air dari toilet yang menyiram terdengar menggema di dalam kamar mandi yang hanya seluas dua belas meter di lantai dua. Kamar mandi laki - laki ini memiliki dua sekat ruang yang berbeda untuk toilet jongkok dan juga toilet duduk. Di depan kedua sekat toilet itu terdapat satu buah wastafel kecil dengan cermin yang lebar ke samping.
Rangga keluar dari toilet duduk seraya mengelus - elus perutnya. Dari raut wajahnya terlihat sisa - sisa penderitaan yang baru saja ia alami di dalam sana. Jika ingin memaki, Rangga pasti sudah memaki adiknya yang telah membuatnya seperti ini dengan bakso pedas semalam yang sengaja dipesan oleh adiknya-- Kaila, untuknya. Padahal Rangga sudah memperingatkan bahwa ia tidak kuat dengan rasa pedas, tetapi adiknya ini malah menantangnya dengan semua bujuk rayunya. Siapa yang menyangka Rangga rela melakukannya hanya karena uang lima puluh ribu.
“Ya ampun, rasanya aku akan mencret sampai mati.” , ujarnya meratapi nasibnya yang telah menggali lubang untuk dirinya sendiri.
Rangga menatap dirinya sendiri di cermin.
“Ya ampun begitu menyedihkan,” , katanya pada dirinya sendiri di cermin, “Lihat dirimu.. Kau tampak seperti sawi putih yang telah direbus seperti ini hanya karena semangkuk bakso siialan itu?” , Rangga menggeleng tidak menyangka perkataan yang barusan ia katakan adalah kenyataan yang dialaminya.
Setelah lebih dari tiga kali Rangga bolak - balik ke kamar mandi, akhirnya usai sudah semua yang tertahan di dalam sana. Pada akhirnya ia bisa bernafas lega setelah kurang lebih setengah jam yang menyiksa itu. Tak lupa ia mencuci tangannya di wastafel dengan sabun dan juga air mengalir. Tidak ingin terlihat pucat dan menyedihkan oleh orang lain, Rangga memutuskan untuk membasuh wajahnya juga.
Dengan tangannya, ia menyeka air - air yang masih tertinggal di wajahnya dan menarik serta menggulung sebanyak dua kali gulungan tissue yang menempel pada dinding, tepat di samping cermin kaca di hadapannya. Tissue itu ia gunakan untuk menghilangkan air pada wajahnya dan juga mengeringkan tangannya sebelum keluar dari kamar mandi.
Kamar mandi yang ada di lantai dua ini, letaknya benar - benar pas berhadapan dengan tangga. Saat Rangga keluar dari kamar mandi, ia bisa melihat pak Burhan, yang merupakan wali kelas untuk ruang kelas di sebelah ruang kelasnya, tengah menaiki tangga menuju dirinya. Dari wajahnya ia terlihat gelisah dengan tumpukan buku tulis yang ia bawa.
“Selamat sora, pak Burhan.” , sapa Rangga begitu jarak mereka hanya tersisa beberapa anak tangga lagi dan pak Burhan pun sudah menyadari kehadiran Rangga.
“Rangga! Bisa tolong bawakan ini ke meja bapak? Bapak sudah tidak tahan lagi!” , kata pak Burhan begitu tergesa - gesa.