Rangga khawatir dirinya telah membuat Adelia merasa tidak nyaman dengannya. Selama beberapa saat ia memperhatikan gerak - gerik Adelia dari tempat duduknya. Di tengah suasana ramai dari teman - teman sekelasnya yang tidak berhenti bicara dan bertingkah, perhatiannya hanya tertuju pada Adelia. Pikirannya tidak memikirkan apa - apa, hanya mencoba merekam sebanyak yang ia bisa dari gambaran Adelia yang telah dikirimkan oleh matanya.
Walaupun sekitarnya sibuk mengobrol satu sama lain, saling melempar lelucon dan tertawa, Adelia tidak terusik sama sekali. Ia seperti memiliki dunianya sendiri yang menjadi tempat aman baginya. Selagi menunggu guru mereka yang tak kunjung datang, Adelia memilih untuk membuka kembali buku tugasnya dan memeriksa kembali jawabannya dari awal. Rangga bertanya - tanya, bagaimana bisa Adelia fokus di tengah keramaian di sekitarnya? Untuknya, itu adalah hal yang sulit untuk dilakukan.
Pintu ruang kelas terbuka dan seseorang datang. Tiap kali pintu terbuka, semua siswa dan siswi yang ada di dalam ruang kelas sontak langsung melihat ke arah pintu, begitu juga dengan Adelia. Ia menatap ke arah pintu yang dibuka oleh seseorang yang ternyata adalah Dira. Siswa dan siswi lainnya langsung kembali ke aktifitas mereka begitu mengetahui itu adalah Dira. Tetapi tidak dengan Adelia. Ia masih terus menatap Dira, begitu juga Dira yang matanya langsung menangkap sosok Adelia yang tengah menatapnya dengan banyak pertanyaan di kepalanya.
Dira masih berdiri di pintu untuk beberapa saat sampai akhirnya ia berhenti untuk menatap Adelia dan hendak berjalan menuju tempat duduknya yang berada di depan Adelia namun beda barisan. Adelia segera bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memberanikan diri untuk menghampiri tempat duduk Dira. Sebab, selama ini mereka bersikap tidak saling mengenal walaupun kenyataannya mereka adalah saudara sepupu.
“Ayo bicara sebentar.” , ujar Adelia singkat.
“Jika itu menyangkut hal yang kemarin, tidak usah.” , balas Rangga acuh seraya mengeluarkan buku yang akan dipelajari hari ini dari dalam tasnya.
Adelia menggeleng, “Bukan, bukan itu.”
“Ya sudah, katakan saja.”
“Ini soal ibumu.” , jelas Adelia mengingatkan.
Mendengar hal itu, Dira menoleh pada Adelia dan melihat raut wajah serius tergambar jelas disana, “Ayo keluar.” , katanya setuju untuk bicara.
Adelia mundur sedikit agar Dira bisa keluar dari tempat duduknya dan mempersilahkannya jalan lebih dulu lalu ia akan mengikuti di belakangnya. Rangga yang melihat hal itu, merasa sedikit tidak senang. Apalagi saat melihat mereka keluar dari kelas dan menutup pintunya kembali seolah - olah itu adalah pembicaraan yang sangat rahasia. Rangga bertanya - tanya ada hubungan apa Adelia dengan Dira.
Sementara itu di luar, Dira terus berjalan sampai ke tangga diikuti Adelia di belakangnya. Selama berjalan menuju tangga, Dira berjalan seraya melihat sekeliling untuk melihat keadaan. Ia khawatir akan timbul isu - isu yang tidak diinginkan dan hanya akan membuat Adelia dikenal namun bukan dengan cara yang baik. Dira tahu betul Adelia suka ketenangan, dan ia pasti tidak akan merasa senang saat mengetahui orang lain membicarakannya dengan isu - isu.
“Disini saja. Ada apa?” , tanya Dira langsung ke intinya. Ia membawa mereka berhenti tepat di tengah tangga.
Adelia tidak menjawab. Ia merogoh saku yang ada pada roknya dan mengeluarkan secarik kertas pemberitahuan dari bank yang sudah terlipat untuk kemudian ia serahkan pada Dira. Tanpa ragu, Dira menerimanya dan langsung membukanya. Raut wajahnya tidak berubah seperti yang Adelia ekspetasikan sebelumnya.
Setelah melihat sekilas isi kertas tersebut, Dira menyerahkannya kembali pada Adelia, “Lalu apa?”
“Lalu apa?” , Adelia tidak menyangka dengan reaksi Dira.
“Kenapa? Apa kau menuduh ibuku yang melakukannya?” , tanya Dira dengan dingin.
Adelia memang selalu merasa tidak sanggup untuk bicara dengan Dira. Baginya, tatapan dingin dan nada bicaranya yang tenang lebih menakutkan daripada omelan bibinya.
“T-tidak. Bukan begitu maksudku..” , Adelia tergugup, “Aku hanya bertanya apa bibi pernah pergi dengan nenek saat aku tidak ada di rumah.”
“Aku tidak tahu.” , jawab Dira singkat.
Adelia menyerah. Ia memasukan kembali kertas di tangannya ke dalam saku roknya.
“Bagaimana tanganmu?” , tanya Dira dengan nada bicara yang melunak.
“Uh?” , Adelia terkejut dengan pertanyaan mendadak seperti itu. Sebab, tidak biasanya Dira memperhatikan orang lain. Ditambah intonasi bicaranya yang melunak dengan tiba - tiba.
Dira tidak mengulang pertanyaannya lagi. Ia hanya menatap Adelia menunggu jawaban atas pertanyaan darinya.
Butuh waktu tiga detik bagi Adelia untuk menyadari bahwa Dira bersungguh - sungguh dengan pertanyaannya, “Ah, tanganku. Mereka baik.” , katanya seraya mengulurkan kedua tangannya ke depan sebagai bukti atas ucapannya.
“Baguslah.” , balas Dira kembali dingin seperti sebelumnya dan melangkahkan kakinya menaiki tangga untuk kembali ke dalam kelas.
“Tunggu!” , ujar Adelia berbalik pada Dira yang kini berada beberapa anak tangga di atasnya, sementara dirinya masih di tempatnya berdiri.
Dira tidak menjawab ataupun berbalik, ia hanya diam menghentikan langkahnya tanpa berbalik untuk mendengarkan perkataan apa yang akan Adelia katakan.
“Kau, tidak benar - benar mencurinya, kan? Bukan kau yang sebenarnya mencurinya, kan?" , tanya Adelia tidak tahan lagi.
Adelia ingat, sebelumnya Dira sudah memberitahunya bahwa ia tidak tertarik dengan pembicaraan tentang apa yang terjadi hari kemarin. Tetapi mau bagaimana lagi. Bibir Adelia tidak bisa menahannya untuk menanyakan hal itu dan pikirannya tidak bisa lepas dari harapan bahwa uang yang menjadi masalah antara ia dengan bibinya tidak benar - benar hilang dan juga jika benar - benar ada yang mencurinya, Adelia berharap bukan Dira yang mencuri uangnya. .
Setelah beberapa saat mendengar pertanyaan dari Adelia, pada akhirnya Dira mau berbalik mentap Adelia, “Iya , benar aku yang mengambilnya.” , katanya singkat. Pandangannya tak lepas dari manik Adelia. Ia berusaha membaca apa yang ada dalam pikiran Adelia memalui sorot matanya.
Adelia tertegun. Banyak sel - sel dalam otaknya yang mati seketika mendengar pengakuan tersebut, “Kau bersungguh - sungguh dengan perkataanmu?” , tanya Adelia lagi. Jika mendengarnya lebih dekat, akan terdengar ada sedikit getar pada nada bicara Adelia.
Dira menghela nafas panjang sambil mendongak ke atas sebelum kembali beralih pada Adelia, “Jangan tanya aku jika sejak awal kau berniat untuk percaya pada apapun yang akan aku katakan.” , katanya sebelum akhirnya benar - benar meninggalkan Adelia masih berdiri disana seperti patung.
Tenggorokan Adelia terasa begitu berat untuk menelan dan air matanya berhamburan keluar dari kantung mereka dan berkumpul pada kelopak mata Adelia bersiap untuk jatuh kapanpun. Ia tidak menyangka mengapa orang yang ia kira adalah orang baik sebelumnya justru menjadi titik awal penyebab pemfitnahan pada dirinya.
Sementara itu, Rangga di dalam ruang kelas, duduk dengan tidak tenang menunggu Adelia kembali. Ia terus menggerak - gerakan kakinya harap - harap cemas. Sesekali ia menatap pada pintu seraya berdoa dalam hatinya meminta agar Adelia segera kembali kemari. Setelah penantian yang terasa amat panjang bagi Ranga, pintu ruang kelas mereka akhirnya terbuka oleh seseorang yang ternyata hanyalah Dira. Rangga heran, mengapa hanya Dira yang kembali dan dimana Adelia? pikirnya. Segera Rangga bergegas melongok ke arah luar jendela, berusaha untuk tanda - tanda keberadaan Adelia. Rangga menyayangkan arah kemana Adelia pergi tadi berada pada titik buta, sehingga ia tidak bisa melihatnya.
CLEK
Pintu kelas kembali terbuka, cahaya matahari dari luar ikut masuk sebentar sampai pintu kembali di tutup. Rangga bernafas lega saat akhirnya orang tersebut adalah Adelia. Segera Rangga berpura - pura besikap acuh dan fokus pada bukunya. Di tengah kepura - puraannya itu, sesekali, Rangga menyempatkan diri untuk melirik kembali pada Adelia yang terlihat lebih tidak bersemangat dibandingkan sebelumnya. Ada apa dengannya? Pikir Rangga penasaran. Belum sempat Rangga berpikir dan berprasangka lebih banyak lagi, guru yang sejak tadi mereka tunggu - tunggu pun akhirnya datang dan kelas pun dimulai dengan quiz dadakan seputar ilmu pengetahuan yang mereka pelajari selama ini.
***
Kelas terakhir telah berakhir, dan langit sudah mulai menunjukkan cahaya jingganya yang memukau siapa pun yang melihatnya. Setiap siswa dan siswi sudah berkemas untuk pulang. Beberapa dari meraka ada juga yang sudah keluar kelas lebih dulu, karena sudah ditunggu oleh penjemput mereka di bawah.
Satu per satu tiap - tiap murid mulai bubar dan menininggalkan ruang kelas untuk pulang kembali ke rumah mereka masing - masing. Terkecuali Adelia yang masih duduk di tempat duduknya seorang diri. Hanya ada Adelia di dalam ruang kelas itu. Di tengah suasana hatinya yang buruk itu, alangkah baiknya ketenangan itu untuk mengembalikan energi baiknya kembali.
Selama beberapa saat Adelia hanya terdiam sambil memandangi kertas pemberitahuan sekaligus peringatan untuk segera membayar hutang yang dipinjam, atau jika tidak bisa membayar setelah waktu yang ditentukan, mereka biasanya akan menjadikan barang atau sesuatu yang adalah sebuah jaminan. Dalam surat tersebut rumah peninggalan kedua orangtuanya yang menjadi jaminan atas peminjamannya. Itu artinya rumahnya bisa disita sewaktu - waktu.
Memikirkan hal itu membuat kepala Adelia terasa begitu tegang dirasa. Ia pun berhenti untuk memikirkan hal ini dan memasukkan dengan kasar kertas pemberitahuan tersebut ke dalam tasnya. Perhatian Adelia kembali pada sekelilingnya. Ia melihat ruang kelas miliknya rupanya cukup besar juga, terlebih lagi jika semua tempat duduk maupun mejanya ia kumpulkan di satu tempat. Kedua sudut bibirnya tanpa sadar menyungging membentuk busur panah yang manis. Setelah hanya wajah putus asa yang bisa ia tunjukan sejak tadi, Adelia tersenyum senang membayangkan ide yang terlintas dalam pikirannya.
***