BAB KETUJUH : CAHAYA MATAHARI DI TENGAH HUJAN (part 7)

1675 Kata
Di tengah ketegangan itu, nenek Adelia masuk dari pintu belakang dengan langkah tergopoh - gopoh. Melihat hak itu, bibinya Adelia dengan sigap langsung beranjak dari duduknya untuk menuntun ibunya yang sudah renta untuk duduk sarapan bersama. Dira yang sebelumnya menatap tajam pada ibunya, tatapannya langsung melunak begitu mengetahui neneknya ikut bergabung. Ia memilih untuk segera menyelesaikan makannya agar ia bisa segera berangkat ke sekolahnya. “Dimana Adelia? Mengapa dia belum muncul?” , tanya bibinya Adelia seraya mengambilkan makan untuk ibunya. Atau lebih tepatnya, ibu dari kakak iparnya, alias ibu dari ibunya Adelia. Entah bibinya tidak tahu atau lupa dengan fakta bahwa ibunya sudah mengalami penurunan kemampuan pendengarannya, satu hal yang pasti, dengan volume suara seperti yang sedang ia lakukan barusan, tentu sang nenek tidak akan mendengarnya dengan jelas. Oleh karena itu dia diam saja, bersikap seolah - olah tidak ada yang bertanya padanya. Setelah menunggu beberapa saat tetap tidak mendapatkan jawaban, bibinya Adelia mendekat pada nenek seraya meletakkan piring yang sudah berisi nasi, sayur, dan juga lauk pauknya, “Dimana Adelia, bu?” , tanyanya lagi. Kali ini ia berbicara dekat telinga nenek agar nenek bisa mendengarnya. “Oh, Adel. Tadi dia pergi pagi - pagi sekali untuk mengerjakan tugas bersama teman - temannya di sekolah.” , jawab nenek dengan sumringah. Ia senang diajak bicara oleh orang lain. Dira yang juga ada di meja makan, merasa ada tidak benar saat mendengar jawaban nenek. Pasalnya, menurut sepengetahuannya yang juga adalah sekelas dengan Adelia, ia tidak pernah melihat Adelia dekat dengan siapapun. Lalu apa Adelia berbohong? Pikirnya. Kemudian Dira mengingat kejadian yang menimpa Adelia kemarin, memang sudah sepatutnya ia menghindari bibinya yang telah melakukan kekerasan fisik padanya. Ibunya Dira pun sadar, Adelia menghindarinya pasti karena kejadian kemarin. Setelah suapan terakhir, Dira meraih gelas dan mengisinya dengan air minum, serta meneguk segelas airnya dalam sekali teguk, “Aku berangkat.” , katanya dengan dingin seraya beranjak dari kursinya dan meraih tas punggung yang ia sampirkan pada kursi makannya. “Kenapa makanmu sedikit?” , tanya ibunya menghentikan langkahnya yang baru berbalik. Tanpa berbalik menatap ibunya, Dira menjawab, “Aku tidak berselera.” , dan melangkah pergi keluar rumah. *** “Ini kembaliannya.” , kata bapak penjual mie asin memberikan satu lembar uang dua ribuan yang sudah tampak usang. “Terima kasih.” , balas Adelia sebelum pergi dari sana. Sekali lagi Adelia harus menyebrangi jalan besar. Penyebrangan kali ini tidak cukup mudah seperti yang pertama tadi, sebab pengendara motor dan pengendara mobil yang semakin ramai. Adelia harus menunggu kurang lebih satu menit untuk bisa melangkah maju dengan terburu - buru, sebab, tidak ingin membuat pengendara yang lain terganggu ataupun terlambat karena dirinya. Sesampainya di depan gerbang sekolah, ia menyadari bahwa dirinya datang terlalu awal. Tidak seperti biasanya, dia akan melihat banyak anak - anak dari kelas lain yang berangkat bersama sambil tertawa, terkadang juga ada yang saling menjaili satu sama lain. Hari ini, sepertinya hanya beberapa anak yang mendapat tugas piket dan para siswa dan siswi kelas akhir yang terlihat belajar mati - matian untuk meningkatkan nilai mereka. Begitu masuk ke dalam lingkungan sekolah, yang Adelia cari pertama kali adalah tempat untuk makan. Ia harus segera memakan mie asin ini sebelum kuahnya menjadi dingin dan tidak nikmat lagi. Sambil menengok kanan - kiri, satu - satunya tempat yang cocok adalah kantin. Ya benar, Adela pegi ke kantin di sekolahnya, yang saat itu masih tutup dan tengah bersiap - siap untuk buka. Dengan sedikit malu, Adelia pergi menuju meja terdekat yang bisa ia tuju dan meletakkan tasnya disitu. Ia melihat sekeliling dan hanya ada dirinya disana. Ia tersenyum lega dan langsung duduk disana dengan nyaman karena kesunyiannya. Entah sejak kapan, tetapi Adelia lebih menyukai ketenangan saat sendirian dibandingkan berada di antara keramaian. Tetapi tidak berarti ia benar - benar menghindari keramaian. Ia mengerti betul manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk tetap bertahan hidup. Baik pada jaman dahulu ketika manusia hidup berkelompok agar bisa bertahan dengan melindungi satu sama lain, masa kini pun tidak ada bedanya. Hanya saja untuk saat ini tidak ada dinosaurus ataupun predator berbahaya lainnya, tetapi manusia masa kini tetap membutuhkan orang lain untuk memastikan mereka tetap pada kewarasan mereka. Adelia membuka bungkusan mie asin yang dibelinya tadi. Kuahnya masih hangat saat ia tuangkan untuk menyiram mie berwarna pucat di dalam mangkuk sterofoam tersebut. Setelah itu tak lupa ia menaburkan bahan pelengkap seperti kacang goreng dan ikan teri. Tak lupa juga daun bawang dan seledri. Asap yang masih membumbung benar - benar menggungah seleranya. Perutnya langsung bereaksi meminta Adelia untuk cepat - cepat memasukkan makanan itu ke dalam perutnya. “Bersabar, ya. Aku akan membuka sumpitnya dulu.” , ujar Adelia pada perutnya yang berbunyi seakan - akan perutnya adalah manusia lain yang harus ia turuti permintaannya. Tak lupa ia mengaduk rata mienya sebelum menyantapnya. Baru saja ia menyuapkan suapan pertama, ia mendengar suara langkah kaki mendekat padanya. Ia berbalik dan melihat ada ibu kantin yang datang sambil mendorong keranjang dengan roda yang berisi sayuran - sayuran untuk keperluannya berjualan nantinya. “Sedang menikmati sarapanmu?” , tegur ibu kantin berbadan gemuk itu dengan amat ramah saat berlalu melewati Adelia. “I-iya.” , jawab Adelia dengan senyum getir di wajahnya. Ia merasa tidak enak pada ibu kantin karena telah memakai sarana miliknya untuk menikmati makanan yang ia beli dari luar. Tetapi dari raut wajahnya, ibu kantinnya tadi tidak terlihat terganggu dengan itu, oleh karena itu, Adelia melanjutkan makannya. Ia menyantap sarapannya sambil mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru Pengetahuan Sosialnya kemarin. Benar yang dikatakan oleh Rangga, tugas kali ini sulit. Dengan senyum miris, Adelia tetap berusaha mengerjakannya hingga akhir. *** Kondisi ruang kelasnya masih kosong begitu Rangga memasukinya. Sepertinya dirinya yang pertama datang. Tidak berlama - lama lagi, ia langsung meletakkan tas pada mejanya yang berada di barisan ketiga dekat jendela. Sejak duduk di sekolah dasar, ia selalu memilih tempat duduk dekat jendela. Karena menurutnya, itu hal yang menyenangkan.Mendapat penerangan yang baik ketika belajar karena dibantu oleh cahaya matahari yang masuk, dan juga ia bisa melihat keluar saat dirinya mulai merasa bosan. Hal pertama yang ia lakukan adalah membuka tirai jendelanya. Menurutnya, itu adalah hal yang paling menyenangkan di antara pekerjaan - pekerjaan lain yang dikerjakan saat piket. Satu - satunya alasan mengapa ia berpendapat seperti itu adalah, karena, ia ingin membuka tirai - tirai tersebut dengan dramatis seperti dalam film. Seperti yang akan ia lakukan hari ini. Setelah meletakkan tasnya, ia berlanjut melangkah mendekat pada jendela yang masih tertutup oleh tirai. Dengan tatapan serius ia berdiri di antara pertemuan dua tirai dan tangannya masing - masing memegang ujung tirai dan menggenggamnya dengan ringan. Setelah itu ia memejamkan matanya beberapa saat masih dengan ekspresi wajah seriusnya, dan beberapa detik kemudian merentangkan kedua tangannya sambil melempar tirai tersebut menjauh. Kepalanya mendongak, membiarkan sinar matahari yang masuk langsung menerjangnya dengan silau dan hangat. “Lihat, lihat, kau mulai lagi.” , ujar Raisa menginterupsi kegiatan favorit Rangga saat piket. Rangga tidak berbalik menatap Raisa karena tidak tersinggung sama sekali dengan perkataan neneknya Adelia dan masih mempertahankan posisinya untuk beberapa saat. “Berhentilah melakukan itu! Cepatlah menyapu!” , tegur Raisa seraya melemparkan sebuah sapu padanya yang mengenai tepat di punggungnya. Setelah mendapat perlakuan seperti itu, barulah, Rangga mau bergerak. Ia mengambil sapu yang terjatuh karena dilemparkan padanya barusan dan mulai menyapu dari bagian paling belakang barisannya hingga ke depan. Mereka berdua menyapu dengan tenang tanpa bicara lagi. Tidak tahu apa yang memancing pikirannya, tiba - tiba saja Rangga teringat pada Adelia. Terutama pada kejadian di dalam bus tadi. Mengingat kejadian itu saja membuat hatinya berdegup kencang tidak karuan. Wajah Adelia saat itu benar - benar terbayang - bayang dalam pikirannya. Saat itu juga ia bertanya - tanya dimana keberadaan Adelia saat ini. Ia pasti jenuh menunggu Raisa, pikirnya. “Eh Raisa, kudengar setelah ini kau akan mengerjakan tugas bersama Adelia?” , tanya Rangga tiba - tiba. Yang ditanya, muncul dari balik meja guru dengan keranjang sampahnya selepas mengumpulkan sampah - sampah yang ada di loker masing - masing, “Apa? Adelia? Adelia yang penyendiri itu?” Rangga mengangguk. “Tidak. Apa kau gila? Apa pernah kau mendengarnya bicara? Mustahil aku mengerjakan tugas dengannya.” , jelas Raisa. Mendengar jawaban dari Raisa membuat Rangga merasa janggal. Apa Adelia berbohong kepadanya? Tanya Ranga dalam hati. Tapi mengapa? Apa dia sengaja melakukan hal itu? Untuk menghindar darinya? Runtutan pertanyaan terkait terus bermunculan dalam pikiran Rangga. Ia merasa sedikit kecewa hanya dengan memikirkan hal itu. *** Adelia masih sibuk dengan tugasnya sementara sarapannya sudah habis bersih. Ia benar - benar terlihat begitu serius membaca baik - baik pertanyaan yang menurutnya begitu rumit untuk dipahami. Hanya tinggal satu soal itu saja yang masih tersisa. Beberapa siswa dan siswi sudah mulai berdatangan seiring semakin meningginya matahari. Tanpa Adelia sadari, meja dan kursi yang ada di kantin tempatnya sudah penuh dengan meraka yang juga mencari sarapan bersamanya ataupun hanya sekedar ingin jajan saja. Adelia terlampau serius sehinga tidak mempedulikan sekitarnya. Di tengah kepusingannya, Adelia sempat - sempatnya teringat dengan surat pemberitahuan bank yang dikirimkan ke rumahnya. Ia bepikir harus bertanya langsung pada bibinya apakah dia tahu menahu soal surat tersebut. Tetapi memikirkan kejadian yang baru menimpanya kemarin, membuatnya merasa tidak enak untuk bertanya permasalahan seperti itu pada bibinya. Tetapi jika ia tidak lekas bicara, maka rumahnya bisa terancam akan disita. Ia tidak ingi hal itu terjadi. Memikirkan semua itu membuatnya menjadi pusing dua kali lipat dari sebelumnya. Tak lama, bel tanda masuk berbunyi. Segera semua siswa dan siswi yang ada disana bergegas kembali ke ruang kelas mereka masing - masing, begitu juga dengan Adelia. Dengan terburu - buru, dirinya memasukkan semua buku dan alat tulis yang ia keluarkan tadi dan tak lupa membawa sampahnya untuk ia buang ke tempat sampah tak jauh dari tempatnya. Semua siswa dan siswi yang sudah berkumpul di dalam kelas, dengan kompak menatap pada Adelia begitu ia memasuki kelas, termasuk Rangga. Tidak seperti teman - teman sekelasnya yang hanya menatap Adelia sekilas saja, Rangga terus menatap Adelia hingga Adelia duduk di tempat duduknya. Ia masih bertanya - tanya dalam hatinya, mengapa Adelia berbohong padanya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN