Akhirnya saat - saat yang mereka tunggu pun tiba. Bus berhenti di tempat pemberhentian dekat sekolah mereka dan segera mereka ikut turun bersama penumpang lain yang turun. Karena banyaknya penumpang yang juga ikut turun, Adelia sempat terdorong oleh seseorang di belakangnya saat ia hendak turun dengan hati - hati hingga tanpa sengaja ia hampir mencium tanah. Untungnya Rangga yang turun lebih dulu, ada disana dan menahan tubuh Adelia agar tidak jatuh tersungkur.
“M-maaf.” , ujar Adelia seraya berpegangan pada lengan Rangga untuk membantunya bangkit berdiri tegap.
Tak lupa, Rangga pun ikut membantunya untuk berdiri, “Sepertinya kau agak sedikit.. ceroboh, ya?” , katanya tidak bermaksud meledek.
“Tidak.. Aku hanya.. Yah, kau tahu, mereka tadi yang terburu - buru dan mendorongku.” , jelas Adelia.
Rangga mengangguk - angguk mengerti.
Mereka berjalan beriringan. Rangga yang lebih tinggi dari Adelia tentu langkah kakinya lebih lebar, tetapi ia memperkecil langkahnya agar ia bisa berjalan beriringan dengan Adelia. Berjalan beriringan tanpa ada pembicaraan adalah hal yang mengganggu bagi Adelia. Entah mengapa, dirinya merasa tertekan dengan hal itu, menganggap jika dirinya harus mencari topik pembicaraan agar orang lain merasa nyaman dengannya. Sejak dulu ia sudah berusaha melakukan hal itu, tetapi, semuanya berakhir dengan tragis. Pada akhirnya Adelia ditinggalkan. Itu sebabnya, sejak duduk di sekolah menengah atas, ia memilih untuk tidak memaksakan diri membuat orang lain nyaman dengannya. Tetapi ia merasa hal itu tidak berlaku pada Rangga. Ada dorongan dalam hatinya untuk mencari topik pembicaraan yang bisa ia bicarakan dengan Rangga. Ia penasaran, apakah itu karena ia menyukai suara Rangga atau hanya ingin membuat Rangga nyaman dengannya.
“Kenapa kau--” , ujar mereka tiba - tiba dengan bersamaan. Mereka menoleh dan menatap satu sama lain karena terkejut. Mereka tertawa garing.
“Kau dulu.” , kata Rangga dengan senyum di wajahnya.
“Tidak, kau dulu.” , balas Adelia malu - malu.
Rangga tidak mengerti mengapa ia tidak bisa menahan senyumnya saat ini. Rasanya bibirnya bertindak semaunya dengan terus mengembang ke atas sehingga gigi - giginya yang tersusun rapi itu terpampang dengan jelas.
“Tidak apa - apa kau dulu. Sungguh.” , elak Rangga mencoba untuk menjadi pria keren yang mau mengalah.
Adelia tidak ingin terlihat payah jika ia membalikkan kembali perkataan Rangga, oleh sebab itu ia memberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa kau datang pagi sekali?” , tanyanya.
Rangga mengulum bibirnya ke dalam, “Hmmm.. Aku sih sudah jelas karena hari ini jadwal piketku. Tentu aku harus datang lebih awal dari yang lainnya.”
‘Ah, aku tidak terlalu memperhatikan jadwal piket yang lainnya selain hari jadwal piketku.’ , kata Adelia dalam hati.
“Bagaimana denganmu?” , Rangga bertanya balik pada Adelia.
Saat itu juga ia menyesal telah bertanya jika tahu akan ditanya balik dengan pertanyaan yang sama. Pasalnya, tidak mungkin ia mengatakan dirinya berangkat lebih awal karena menghindari bibinya yang telah menuduhnya sebagai pencuri dan menyakitinya dengan kekerasan fisik. Tentu tidak. Adelia tidak ingin masalahnya diketahui orang lain dan menjadi semakin besar. Itu hanya akan merugikannya dan bibinya.
“Hmm, aku.. Hanya ingin saja.”
“Hm? Ingin datang lebih awal? Kenapa? Apa kau berniat untuk membantu yang bertugas piket hari ini?”
Adelia tertawa garing sambil menggeleng, “M-maksudku.. Aku ada janji dengan temanku untuk mengerjakan tugas bersama.”
“Ah~” , Rangga mengangguk mengerti, “Memang sih, tugas yang kemarin agak sulit jika dikerjakan seorang diri.”
“Begitulah, hehe.” , Adelia merasa lega alasannya terdengar masuk akal dan bisa diterima.
“Omong - omong, kau akan mengerjakannya bersama siapa?” , tanya Rangga lagi. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk terus mencecar Adelia dengan pertanyaan - pertanyaan yang begitu mendetail. Ia hanya ingin pembicaraan di antara mereka terus berlanjut dan tidak berhenti begitu saja.
“Apa?” , Adelia tidak menyangka akan ditanya begitu mendetail seperti itu. Hal itu membuatnya gugup, “Raisa. Iya, dengan Raisa. Kau tahu, yang banyak bicara di kelas. Duduk di samping mejaku.” , jelas Adelia asal. Ia hanya asal menyebutkan nama teman sekelasnya yang melintas di pikirannya saat itu.
Dengan takut - takut, Adelia melirik pada Rangga untuk memeriksa raut wajah Rangga. Ia khawatir dirinya ketahuan sedang berbohong.
Dari raut wajahnya, Rangga tampak ada keraguan tergambar jelas disana, “Raisa? Tapi dia satu jadwal piket denganku. Apa tidak apa - apa kau menunggu sampai dia selesai?”
Saat itu juga Adelia menyesal telah menyebutkan nama itu saat masih ada banyak daftar nama yang bisa ia sebutkan. Ia mengutuk dirinya sendiri bagaimana bisa ia melewatkan hal seperti itu untuk menjadi pertimbangan saat hendak menyebutkan nama.
“Iya tidak apa - apa. Aku memang akan berencana untuk menunggunya.” , balas Adelia dengan senyum ketirnya. Ia berharap wawancara ini akan segera berakhir.
Di tengah keputus asaannya mencoba keluar dari situasi tersebut, Adelia melihat ada pedagang yang menjual mie asin di seberang jalan sementara sekolah mereka berada di sisi jalan yang mereka tapaki sekarang, hanya tinggal beberapa puluh meter lagi di depan. Ia melihat itu sebagai kesempatan yang bagus untuk segera menjauh pergi.
Adelia menghentikan langkahnya, “K-kau pergilah ke sekolah lebih dulu. Aku akan mencari sarapanku.”
Rangga berhenti dan melihat ke sekitar memeriksa apa ada sesuatu yang bisa dijadikan sarapan. Matanya menangkap gerobak besar yang kacanya tertulis ‘mie asin’ dengan ukuran yang cukup besar hingga bisa terbaca dalam radius lima puluh meter.
“Baiklah. Sampai bertemu nanti di kelas.” , ujar Rangga seraya mengangkat tangannya canggung. Tadinya ia berniat untuk melambaikan tangannya, namun, ia khawatir Adelia akan menganggapnya aneh jika melakukan hal itu. Pada akhirnya ia hanya menepuk udara dengan canggung dan memasukkan kembali tangannya ke dalam saku celananya.
Adelia mengangguk saja menanggapinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk membalas hal seperti itu.
Begitu Rangga berbalik dan melanjutkan langkahnya pergi, Adelia merasa lega karena akhirnya ia dibiarkan bernafas dengan bebas tanpa harus khawatir dengan pertanyaan - pertanyaan yang mungkin akan menyudutkannya dan memaksanya untuk berbohong.
Segera, Adelia ke sisi jalan untuk menyebrang. Jalanan pagi itu sudah cukup ramai dengan kendaraan. Dengan sabar, Adelia menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kendaraan - kendaraan baik yang beroda dua maupun yang beroda empat posisinya masih jauh darinya. Setelah dirasa jarak mereka cukup jauh, Adelia melangkah maju dengan santai sambil merentangkan tangannya ke samping, memberi tanda pada pengendara yang datang ke arahnya untuk memberinya kesempatan untuk menyebrang. Jalan raya yang harus di laluinya cukup besar. Ada empat jalur yang terbagi dua dengan pembatas jalan terbuat dari semen yang rendah, cukup rendah untuk dilompati oleh Adelia. Masing - masing adalah jalur bolak - balik, sehingga Adelia memilih untuk berhenti sejenak di pembatas jalan sebelum melanjutkan.
Dengan satu upaya penyebrangan lagi, akhirnya Adelia sampai pada pedagang yang menjual mie asin. Di Kalimantan ini, terlebih lagi di Singkawang, mie asin adalah makanan yang sudah umum dimakan untuk sarapan. Terbukti, saat Adelia sampai, sudah ada beberapa orang yang mengantri untuk membeli mie asin. Beberapa dari mereka adalah pengendara motor yang lewat. Ada yang membelinya untuk dibawa, ada juga yang makan langsung di tempat karena bapak pedagangnya menyediakan kursi dan meja yang muat untuk empat orang. Bagi Adelia sendiri, mie asin adalah salah satu makanan kesukaannya. Belasan tahun ia tinggal disini, tidak pernah ia bosan untuk menyantap mie asin.
“Pak, mie asinnya satu porsi, ya.” , ujar Adelia menginterupsi bapak pedagang yang sedang menyajikan pesanan dari pembelinya yang sudah mengantri.
“Makan disini atau untuk di bawa?” , tanya bapak pedagang tersebut terlihat tidak terganggu sama sekali. Tangannya terlihat sekali sudah cekatan.
Adelia berpikir sejenak. Jika ia makan disini maka dia akan kekurangan waktu untuk mengerjakan tugas yang belum sempat ia kerjakan, tetapi jika ia bawa pergi, ia tidak tahu harus makan dimana. Adelia tidak ingin mengambil resiko tidak sempat mengerjakan tugasnya dan mendapatkan hukuman.
“Dibawa saja, pak.” , jawab Adelia setelah diskusi singkatnya tadi dengan beberapa bagian otaknya.
“Tunggu sebentar, ya.”
***
Sementara itu suasana pagi di rumah Dira, rumah bibinya Adelia tampak lebih tenang dari biasanya karena tidak ada Adelia yang ikut sarapan bersama dan juga suami bibinya Adelia yang tidak pulang ke rumah dengan alasan pekerjaan. Di meja makan hanya ada bibinya Adelia dan juga Dira. Sejak awal bangun tidur hingga mereka sudah sama - sama duduk di meja makan, terasa begitu senyap walaupun suasana yang sebenarnya adalah kecanggungan yang begitu kental terasa. Pasalnya, bibinya Adelia masih memikirkan perkataan anaknya yang mengatakan dirinya yang mencuri uangnya.
“Kau bersungguh - sungguh dengan perkataanmu kemarin?” , tanyanya menginterupsi Dira yang baru akan menyendok nasi dari penanak nasi di dekatnya.
Tangan Dira terhenti di udara sesaat mendengar pertanyaan dari ibunya. Merasa tidak perlu untuk menjawabnya, Dira melanjutkan mengambil nasi dan juga lauk yang tersedia di meja. Ia mengacuhkan ibunya dengan sengaja.
“Jawablah. Apa benar kau yang mencuri uangnya?” , tanya ibunya lagi.
“Menurut mamah, bagaimana? Apa aku yang mengambil uang mamah?” , alih - alih menjawab pertanyaan ibunya, Dira balik bertanya.
Ibunya mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti mengapa jadi dirinya yang ditanyai padahal pendapatnya tidak berkaitan dengan siapa yang mengambil uangnya.
“Padahal uang yang dicuri tidak seberapa dengan uang yang ibu curi darinya.” , ujar Dira sambil tersenyum miris dengan menaikkan sebelah sudut bibirnya.
“Apa maksudmu?”
Dira merasa muak dengan sikap ibunya yang tidak merasa bersalah sama sekali. Ia menatap ibunya dengan tatapan jijik, “Uang yang mamah ambil dari Adelia, tidak seberapa dengan uang yang hilang kemarin, kan?”
Mendadak, ibunya Dira merasa gugup. Ia bertanya - tanya apa yang sedang putranya maksudkan dengan memojokkannya seperti itu sekaligus khawatir apakah putranya sudah mengetahui soal sesuatu yang ia tutup - tutupi dari siapapun kecuali suaminya.