BAB DUA BELAS : PENGAKUAN (part 1)

1513 Kata
Begitu Adelia keluar dari ruang kelasnya, langit terlihat tidak begitu bersahabat. Warnanya tidak lagi jingga seperti hari kemarin. Kali ini lebih kelabu dengan angin yang cukup kencang. Adelia berhenti sejenak di depan pintu kelas, kepalanya mendongak menatap jauh awan - awan gelap yang berarak tertiup angin. Ini adalah salah satu cuaca yang tidak Adelia ia sukai. Mungkin ia akan menyukainya jika saja ia tidak perlu pergi bekerja dan hanya berbaring baring di rumah bersantai menikmati waktunya dengan melakukan hal - hal yang ia sukai. Tetapi kenyataannya, baik hujan maupun tidak hujan’ baik langit cerah ataupun sedang mendung, ia tetap harus pergi bekerja membantu bibinya di toko. Tiba - tiba saja seseorang menabrak pundak Adelia dari belakang hingga Adelia maju selangkah. “Hei! Jangan berdiri di pintu! Menghalangi orang saja!” , tegur orang tersebut yang merupakan teman sekelasnya. Adelia ingat betul dia adalah salah satu dari lima murid laki - laki yang mendapat label anak nakal di kelasnya. Karena hal itu, Adelia memilih untuk tidak menanggapinya dan hanya melihatnya berlalu pergi seraya bergeser agar tidak lagi menghalangi pintu masuk kelas. Suara gemuruh petir di kejauhan mulai terdengar seolah - olah menjadi pengingat untuk Adelia segera pulang dan tidak membuang lebih banyak waktu lagi di sekolah. Helaan nafas panjang keluar dari mulut Adelia, pundaknya merosot lesu. Ia tidak bisa menari lagi hari ini. Sudah beberapa hari terakhir ini dia tidak sempat untuk menari seorang diri di kelas dan selalu langsung pulang ke rumah karena jam pelajaran terakhir yang berlangsung lebih lama dari biasanya. Meskipun berat, Adelia tetap melangkahkan kakinya mantap bersama dengan teman - teman lainnya yang juga buru - buru bergegas untuk pulang ke rumah. *** “Kurasa kau harus mengganti olinya,” , ujar teman sebangku Dira datang menghampiri Dira yang berjalan menuju tempat parkir. “Kukira kau akan berinisiatif untuk menggantinya begitu kau menyadarinya.” , balas Dira. Satu tepukan mendarat pada pundak belakang Dira yang tidak lain berasal dari teman sebangkunya itu, “Ah kau ini! Ternyata memang sengaja, ya.” Dira nyengir mendengar ucapan teman dekatnya itu. “Tumben sekali kau mau meminjamkan motormu. Kemarin - kemarin kau selalu menolak jika aku meminta untuk kau meminjamkannya. Pantas saja aku merasa aneh saat kemarin kau tiba - tiba saja datang dan menawarkan padaku untuk meminjam motormu.. Ternyata karena itu. Harusnya aku tahu sejak awal pasti ada satu alasan mengapa kau bisa bersikap begitu berbeda. Ck, bodohnya aku tidak berpikir sampai ke sana.” “Tapi kau senang ‘kan bisa berkeliling kota bersama pacarmu?” , balas Dira. Kali ini ganti temannya tersebut yang nyengir, “Hehehe iya. terima kasih ya, bro. Sudah lama aku ingin melakukan hal itu dan berkatmu aku bisa mewujudkannya kemarin.” “Begitukah? Lalu hanya itu ucapan terima kasihmu?” “Tentu saja tidak. Aku sudah mengisi bensinnya sampai penuh tadi sebelum berangkat sekolah.” “Aku pikir kau tidak tahu caranya berterima kasih.” , balas Dira meledek. Saat Adelia melewati tempat parkir khusus untuk murid dan juga tamu yang berada tak jauh dari pintu gerbang, ia berhenti sejenak begitu melihat Dira yang sedang berbincang - bincang dengan rekan sebangkunya di dekat motor milik Dira. Ia merasa sedikit sedih begitu mengetahui motor Dira telah kembali. Itu artinya malam ini ia akan pulang seorang diri dan tidak ada lagi perjalanan pulang menyenangkan seperti yang ia lakukan kemarin bersama dengan teman masa kecil sekaligus sepupunya yang dingin itu. Di tengah pembicaraannya, mata Dira menangkap Adelia yang tengah melihat ke arahnya dengan ekspresi yang tidak bisa ia baca. Mereka saling menatap beberapa saat sebelum Adelia berlalu pergi lebih dulu. “Ada apa?” , tanya temannya ikut melihat ke arah Dira melihat. Namun ia tidak sempat melihat Adelia. “Tidak ada.” *** Di luar, tak jauh dari pintu gerbang, Rangga berdiri bersandar pada dinding sekolahnya seraya menendang - nendang debu jalanan. Sesekali ia menengok pada gerbang sekolah seperti menunggu seseorang keluar dari sana. Tetapi masih belum mendapatinya. Selalu murid - murid lain yang tidak ia kenal dan juga teman - teman sekelasnya yang keluar dari sana. Beberapa dari mereka juga menegur sapa pad Rangga dan bertanya apa yang sedang Rangga lakukan. Namun, selalu Rangga jawab dengan “Ada deh.” Sekali lagi ia menoleh melihat ke arah pintu gerbang dan langsung berdiri tegap menjauh dari dinding, seolah bersiap untuk menghadang seorang yang datang. Langkah kaki Adelia berhenti beberapa meter jauhnya dari Rangga yang sedang berdiri memandang ke arahnya. Mereka diam di tempat mereka berdiri selama beberapa saat tanpa ada salah satu dari mereka yang berinisiatif untuk menghampiri. Adelia mulai bertanya - tanya dalam hatinya. Apa yang dilakukan disana? Apa dia sedang melihat ke arahku? Dia tidak melihat orang di belakangku ‘kan? Dia melihat padaku ‘kan? Apa dia menungguku? Untuk apa dia menungguku? Apa aku telah melakukan sesuatu yang salah pagi tadi? Dan masih sederetan pertanyaan lainnya yang muncul di kepalanya. Rangga masih diam di tempatnya berdiri. Kali ini samar - samar kedua ujung bibirnya tertarik ke atas malu - malu. Adelia yang penglihatannya masih bagus, bisa melihat senyuman kecil itu dari tempatnya berdiri. Melihat senyum pada wajah Rangga, membuat kekhawatiran dalam hatinya pudar dan beberapa pertanyaan negatif dalam pikirannya barusan ia singkirkan dari dalam daftar. Kini hanya menyisakan beberapa pertanyaan mengenai untuk apa dia berdiri di sana. Sadar jika hanya berdiri terus di sini tentu tidak akan mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan dalam pikirannya, akhirnya Adelia memutuskan untuk menghampiri Rangga karena memang searah juga dengan jalan menuju tempat pemberhentian bus. Satu persatu jawaban atas pertanyaan - pertanyaan dalam pikirannya mulai terjawab saat ia melangkahkan kakinya. Pandangan Adelia tidak lepas dari Rangga, begitu juga dengan Rangga. Tatapannya mengekori setiap langkah Adelia. Hal itu membuat Adelia yakin bahwa orang yang ditunggu oleh Rangga adalah benar dirinya. Tapi untuk apa? Hanya tersisa satu pertanyaan itu yang akan terjawab jika bertanya langsung. “Hei..” , sapa Adelia mencoba untuk memulai pembicaraan. “Hei~” , balas Rangga lebih ramah lagi. “Mengapa kau masih disini?” , tanya Adelia memulai pembicaraan. Rangga berbalik dan ikut berjalan bersama Adelia beriringan, “Menunggumu?” , jawabnya singkat. DEG Ini pertama kalinya bagi Adelia ada seseorang yang benar - benar menunggunya selain ayahnya yang dulu sering mengantar jemput Adelia ke sekolah. Namun rasanya kali ini sangat berbeda. Adelia menolehkan wajahnya dengan sedikit terkejut, “Me.. Nung.. guku? Kenapa?” Rangga memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menghirup napas dalam - dalam kemudian mengeluarkannya dengan sekali hembuskan, “Hanya ingin berjaga - jaga. Siapa yang tahu jika penguntit itu masih ada dan akan mengikutimu lagi. Kau tahu.. Belum tentu semesta akan memertemukan kita seperti kemarin, bukan? Jadi aku mengambil inisiatif untuk menemuimu langsung dan bukannya menunggu semesta yang menggiringmu padaku.” , Jelas Rangga seraya menoleh pada Adelia di akhir kalimatnya. Adelia terkejut Rangga memikirkan tentang penguntit itu, padahal dirinya sendiri sudah lupa akan hal itu dan baru memikirkannya lagi saat Rangga menyinggung hal itu dalam kalimatnya. Karena ini adalah pertama kali baginya, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana dan merespon seperti apa atas kalimat yang terdengar indah di telinganya itu, yang baru saja ia dengar dari mulut Rangga langsung. “Kau tidak keberatan ‘kan?” , tanya Rangga memancing respon balik dari Adelia. Dengan agak ragu bibir Adelia melengkung ke atas tersenyum canggung, “Tidak masalah.. sih, tapi.. Ke.. Napa?” ,tanya Adelia bertanya balik dengan ragu. Adelia sebenarnya tidak terlalu memperdulikan apa yang ingin Rangga lakukan, yang terpenting baginya adalah alasan. Rangga ingin menemaninya pasti karena suatu alasan dan ia ingin mengetahui dengan jelas apa alasannya. “Tadi kan sudah kubilang, aku khawatir saja padamu.” “Tidak.. maksudku-- Kau tahu, pasti ada alasan yang benar - benar--” “Oh iya. Kau masih ingat ‘kan, berapa hari yang lalu guru kita sudah memberitahukan tentang kejahatan yang akhir - akhir ini ramai di kota kita ini. Tentu aku tidak ingin temanku menjadi korban. Itu akan menyakitkan bagiku jika hal itu terjadi pada temanku. Apalagi setelah aku tahu betul bahaya apa yang menimpanya kemarin.” , jelas Rangga. Hati kecil Adelia merosot dalam sofa nyamannya. Di satu sisi ia merasa lega setelah mengetahui alasan jelasnya, namun disisi lain juga ia kecewa karena ternyata hanya alasan biasa saja. Alasan yang formal. “Ah begitu..” , ujar Adelia kembali menoleh pada jalanan di depannya. Tanpa ia sadari pada wajahnya tersirat rasa kecewa meskipun samar. Rangga melirik dari sudut matanya untuk mengintip ekspresi wajah Adelia. Hatinya berteriak kegirangan begitu melihat ada sedikit kekecewaan pada air muka Adelia. Menurut pengamatannya ini adalah lampu hijau baginya. Hati kecilnya pun sudah siap dengan helm dan juga perlengkapan mengemudi lainnya bersiap - siap untuk melaju kencang dengan kendaraannya. Tentu lampu hijau ini tidak akan ia sia - siakan begitu saja. “Tidak, aku bercanda. Aku menyukaimu. Karena aku menyukaimu lebih dari sekedar teman. Aku ingin melindungimu.” , kata Rangga dengan nada yang lebih serius. Mata Adelia terbuka lebar kita mendengar setiap kalimat yang baru saja Rangga ucapkan sentak yang berhenti dan menoleh pada Rangga di sampingnya. Langkah kaki Rangga pun ikut berhenti dan tatapannya masih pada Adelia. Mata mereka bertemu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN