BAB SEBELAS : KEBETULAN YANG SEPERTI TAKDIR (part 5)

1604 Kata
“Kalian tidak masuk kelas?” , tanya seseorang dengan suara bassnya. Adelia dan Rangga sontak menghentikan kontes bertatap mata mereka dan menoleh ke sumber suara. Itu adalah ibu Dewi yang datang menghampiri mereka dengan membawa semangkuk bakso yang panasnya masih membumbung. Rupanya ia baru saja dari kantin untuk menjadi pelanggan pertama yang memesan bakso andalan kantin di sekolah ini. “Oh Adelia.” , katanya dengan nada lebih ramah dari sebelumnya. Adelia tersenyum masam. Ia merasa bersalah telah masuk tanpa izin. Apalagi pada jam pelajaran pertama yang membuatnya terkesan seperti murid yang suka bertindak sesuka hati. “Maaf aku masuk tanpa izin dan menggunakan peralatanmu. Aku harus mengobati temanku segera.” , jelas Adelia. Ibu Dewi tidak menjawab. Ia meletakkan mangkuk baksonya dan mendekat pada Rangga untuk memeriksa keadaannya mulai dari wajah hingga kakinya. Kepalanya mengangguk - angguk saat melihat hasil kerja Adelia menangani luka yang ada. “Kau melakukannya dengan baik,” , puji ibu Dewi sambil tersenyum pada Adelia, “Siapa yang mengajarimu?” , tanyanya. Dengan senyum malu terlukis di wajahnya, Adelia menjawab, “Dulu aku suka memperhatikan bagaimana ayahku mengobati lukaku.” “Wah benarkah? Kalau begitu dulu kau sering terluka ya?” , ledek ibu Dewi. Senyum Adelia semakin melebar hingga menampakan deretan giginya yang rapi, “Iya, ibu benar. Terkadang memang aku suka dengan sengaja melukai diriku sendiri agar bisa melihat ayahku menangani luka saat masih kecil dulu.” Baik Rangga maupun ibu Dewi, sama - sama terkejut dan bergidik mendengar jawaban Adelia yang terkesan menyeramkan. Adelia melihat reaksi dua orang yang bersamanya di ruangan tersebut secara bergantian. Kurang lebih ekspresi mereka berdua sama. Sama - sama terkejut. Saat itu juga Adelia merasa dirinya sudah keterlaluan dengan memberikan jawaban seperti tadi. “Aku hanya bercanda.” , katanya. Ia tidak menyangka reaksi mereka akan begitu terkejut saat mendengar jawaban lelucon darinya. “Ah kau ini!~” , ujar ibu Dewi seraya menepuk pundak Adelia pelan, “Kalian tidak akan masuk kelas hari ini?” , tanyanya sambil membantu Adelia merapikan kembali peralatan yang digunakan ke dalam kotak P3K. “Setelah ini kami akan langsung ke kelas.” , ujar Rangga enyerobot Adelia yang baru saja hendak menyuarakan jawabannya. “Baguslah. Kukira kalian akan membolos hahaha.” , timpal ibu Dewi diakhiri dengan tawamya yang begitu menggelegar. Meskipun penampilannya begitu feminim dengan rok panjang dan juga hijab yang selalu berganti warna setiap harinya, suara ibu Dewi begitu berat untuk ukuran wanita. Sehingga ketika tertawa suaranya akan tawanya terdengar begitu mirip dengan suara tawa pria muda. Tidak pernah Adelia tidak terkejut tiap kali mendengar suara tawa ibu Dewi. Sedangkan Rangga yang baru pertama kali mendengarnya setelah dua tahun bersekolah di sekolah ini terlihat begitu syok. Belum pernah dirinya melihat ada seorang wanita dengan suara seperti laki-laki. Sempat dalam pikirannya melintas sebuah pertanyaan yang meragukan identitas ibu Dewi sebagai perempuan. “Ayo.” , kata Adelia menegur Rangga. “O-oh, iya. , katanya yang kemudian langsung beranjak turun dan mengambil tasnya setelah berpamitan mereka langsung buru - buru pergi menuju kelas mereka. Kurang lebih lima belas detik waktu yang mereka butuhkan untuk sampai di depan pintu kelas mereka dari ruang UKS yang berada di lantai satu. Mereka tidak langsung masuk. Dengan agak ragu, Rangga mengetuk pintu kayu tersebut sebanyak tiga kali sebelum membukanya dan masuk ke dalam diikuti Adelia dibelakangnya yang langsung menutup pintu. Tentu kedatangan mereka menginterupsi kegiatan belajar mengajar yang sedang berlangsung. Dira yang duduk pada baris ke dua menoleh ke arah mereka dengan tatapan dingin terutama pada sepupunya itu. Guru bahasa Indonesia mereka pak Amir yang usianya nya tua dari satpam penjaga sekolah itu juga menoleh pada Adelia dan Rangga yang masih berdiri di depan ambang pintu. “Ada apa dengan hidungmu?” , tanya gurunya yang menurunkan dagunya hingga menempel dengan lehernya. Pupil matanya bergerak ke atas agar bisa melihat mereka melalui bagian atas kecamatanya, sebab yang dipakai olehnya adalah kacamata baca yang sama sekali tidak membantu untuk melihat jarak jauh. Rangga baru menyadari kapasnya masih menyumbat pada hidungnya. Ia langsung menariknya dan menyembunyikan di balik tubuhnya. “Sesuatu terjadi saat aku dalam perjalanan menuju sekolah tadi.” jawabnya singkat dan mencari aman. Guru berperawakan kurus dengan celana yang dinaikkan sepinggang membuatnya tampak culun itu tidak bertanya apa - apa lagi pada rangga. Matanya kini beralih pada Adelia yang berdiri lebih ke belakang di samping Rangka. Adelia sudah bersiap - siap untuk semua jenis pertanyaan yang mungkin akan diajukan padanya. Namun rupanya guru bahasa yang membosankan itu hanya menatapnya dan mempersilahkan mereka duduk. Adelia bersyukur tidak ada yang bertanya mengapa mereka datang bersama. Sebab ia tidak tahu harus menjawab apa jika ditanya seperti itu. Jawaban seperti ‘kami menerobos masuk dengan melompati dinding bersama’ , tentu akan menimbulkan pertanyaan lainnya dan masalah yang lain lagi. “Baik, kita lanjutkan, ya.” , kata guru bahasa sambil membuka kembali buku tebal di tangannya, “Suatu kejadian baik itu kejadian alam maupun kejadian sosial yang terjadi di sekitar kita, selalu memiliki hubungan sebab akibat dan proses.” , ia mulai melanjutkan membacakan materi yang ada dalam buku. Mata pelajaran bahasa Indonesia pada jam pertama memang bukan ide yang bagus. Sebagian besar murid yang mendengarkan mulai mengantuk dan menguap, seakan - akan pembahasan materi yang dibacakan oleh guru adalah sebuah nyanyian pengantar tidur. *** Setelah serapan yang tidak biasa beberapa jam yang lalu, ibu Dira terbangun dari tidurnya saat mendengar suara mesin cuci yang berputar dalam mode mengeringkan pakaian. Tidak seperti keadaannya sebelum sarapan pagi tadi, kali ini ia merasa tubuhnya sudah fit kembali saat bangun dari tidurnya. Ia tidak lagi merasa pusing dan tubuhnya pun tidak lagi menggigil. Bahkan ia baru menyadari dirinya tidur tanpa selimut yang menutupi tubuhnya dan hanya jaket tebal yang masih dikenakan olehnya, membuat dirinya kepanasan. Ia tidak pernah mengira sebelumnya bahwa bubur buatan suaminya ditambah teh hangat dan juga obrolan kecil sambil berjemur sudah cukup ampuh untuk mengusir demam yang datang. Ibu Dira langsung bangun berdiri melepas jaketnya dan melihat jam dinding tua yang sudah menguning berbentuk persegi menggantung di salah satu sisi dinding dalam kamarnya. Rupanya sudah pukul sebelas dan ia masih mendengar tanda - tanda kehadiran suaminya di rumah ini. Dengan langkah yang tidak lagi gontai keluar kamar menghampiri asal suara tersebut. Begitu membuka pintu iya sudah disambut dengan pemandangan suaminya duduk di bangku kecil rendah yang terbuat dari kayu, tengah bersandar dengan mata terpejam pada mesin cuci yang bergetar. Ibu Dira tercengang dan mendecih menahan tawa melihat pemandangan tak biasa tak jauh dari tempatnya berdiri. “Apa yang sedang kau lakukan, bang?” , tanyanya. Mendengar suara yang begitu familiar di telinganya, ayah Dira langsung membuka matanya dan menoleh, “Kau sudah bangun? Hei selama ini kau tidak pernah bilang kita memiliki alat pijat listrik di rumah.” katanya. “Alat pijat listrik apanya..” , balas istrinya tersenyum geli seraya berjalan menuju meja makan, mengambil segelas air putih untuk menghilangkan rasa kering di tenggorokannya. “Kenapa kau tidak pergi kerja?” , tanya ibu Dira sebelum meneguk air dalam gelas di tangannya. “Aku akan berangkat setelah ini. Apa kau akan membuka toko hari ini?” “Iya.” Ayah Dira mengangguk dan tidak menjawab lagi. “Abang,” , panggil ibu Dira dengan nada bicara yang berubah lebih serius, “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Kedua mata suaminya tersebut masih terpejam namun telinganya mendengarkan, “Hm?” , katanya pelan tersamarkan oleh suara berisik dari mesin cuci. “Aku meminjam uang pada bank.” Mendengar hal itu ayah Dira baru mau membuka matanya dan menatap langsung pada istrinya yang tengah membuat pengakuan itu, “Berapa banyak?” “Cukup banyak dan aku menggunakan sertifikat rumah Adelia sebagai jaminannya.” Ayah Dira bangkit berdiri, “Lalu kau tidak bisa membayarnya dan sekarang rumah Adelia terancam, begitu?” , tanya suaminya mendesak. “Apa yang harus kulakukan?” , tanya ibu Dira alih - alih menjawab pertanyaan suaminya. Ayah Dira berpikir sejenak, “Kau menggunakan uang sebanyak itu untuk apa?” “Untuk toko. Aku ingin menambah banyak barang agar bisa menarik lebih banyak pembeli, namun semuanya tidak berjalan mulus seperti rencana yang aku buat pada awalnya.” Mesin cuci tersebut berhenti dan terdengar suara yang memberitahu prosesnya telah usai. Ayah Dira berbalik dan membuka penutupnya. “Kau masih mempertahankannya? Memangnya keuntungan dari toko cukup banyak? Pada akhirnya kau hanya membuat dirimu kelelahan, bukan? Gajiku sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita termasuk Adelia dan juga ibu mertua. Kau tidak perlu khawatir dan memaksakan dirimu.” , jelas ayah Dira dan mulai mengeluarkan pakaian dari dalam mesin cuci. “Lalu maksud abang aku harus menjual tokonya?” “Iya. Hanya itu satu - satunya cara. Karena abang sendiri tidak memiliki uang sebanyak itu dalam tabungan abang. Sebisa mungkin, kita jangan menggunakan cara gali lubang untuk menutup lubang. Kau tahu, hal itu hanya menunda kesusahan untukmu. Untuk kita." Sebenarnya pernah terpikirkan oleh ibu Dira sebelumnya tentang solusi yang dikatakan oleh suaminya tersebut. Namun ia mengingat jatuh bangun dirinya yang berusaha keras untuk mengembangkan dan memajukan toko grosir yang sudah berjalan selama dua tahun itu, membuatnya tidak begitu yakin bahwa solusi itu adalah solusi yang terbaik. Tetapi saat meminta solusi setelah mengakui masalah yang selama ini disembunyikan dari siapapun termasuk suaminya, tetap membawanya pada solusi yang sama. Apakah ini memang jalan keluar yang terbaik? tanya ibu dira pada dirinya sendiri. “Aku akan memikirkannya lagi.” , Katanya. “Jangan persulit dirimu sendiri, Shinta.” , balas suaminya mengingatkan. Rasanya sudah lama sekali suaminya itu memanggil dirinya dengan nama. Hal itu mengingatkannya pada masa - masa muda dulu. Saat itu lah ia baru menyadari betapa waktu berlalu begitu cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN