BAB SEBELAS : KEBETULAN YANG SEPERTI TAKDIR (part 4)

1818 Kata
“Ya ampun! Rangga kau baik - baik saja?!” , tanya Adelia panik. Ditimpa oleh seseorang dari ketinggian seperti itu bukanlah hal yang baik. Pinggang Rangga serasa remuk dan sikunya terasa nyeri karena membentur tanah tadi, saat ia berusaha mempertahankan kepalanya agar tidak membentur apapun di belakangnya. Rangga berusaha bangun sambil memegangi siku kirinya. Segera Adelia menarik tangannya membantu Rangga untuk duduk. Tidak ada lagi yang Rangga rasakan selain rasa nyeri di punggung, tulang hidungnya yang juga terasa nyeri, dan dadanya yang sedikit sesak. Adelia sibuk memperhatikan Rangg. Melihat seluruh bagian tubuh Rangga yang bisa terlihat untuk memastikan tidak ada luka fatal yang terjadi. Beruntung semalam tidak hujan. Tidak terbayangkan oleh Adelia jika tanah yang sekarang mereka pijak ini basah. Namun karena tanahnya kering, bagian belakang seragam Rangga tidak begitu kotor oleh tanah meskipun ada beberapa bulir - bulir tanah yang menempel. Buru - buru Adelia membersihkan tanah - tanah itu dari seragam putih Rangga. Ia begitu merasa bersalah telah membuat seseorang yang menarik perhatiannya akhir - akhir ini berakhir seperti ini. Setelah selesai dengan punggung Rangga, ia kembali ke bagian depan.Tepatnya untuk memeriksa wajah Rangga. Oh syukurlah tidak ada lecet ataupun luka yang terlihat, katanya dalam hati. Beberapa detik kemudian setelah Adelia mengucap syukur, tiba - tiba saja cairan berwarna merah mengalir keluar dari dalam hidung Rangga. Rangga tidak merasakan sakit apa - apa kecuali rasa hangat yang keluar dari hidungnya yang mengingatkannya pada saat ia tengah terserang pilek. Adelia terkejut sampai - sampai mata dan juga mulutnya terbuka. Rangga yang masih tidak menyadari cairan hangat itu adalah darah, mengusapnya dengan jari tangannya dan melihat sesuatu berwarna merah pada ibu jarinya. Reaksinya tidak jauh berbeda dengan Adelia. Segera ia menutupkan satu lubang hidungnya yang terus mengalirkan darah dan mempertahankan kepalanya agar terus mendongak ke atas. Ini merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan saat sedang mimisan. Ia ingat pernah mempelajarinya saat masih duduk di sekolah dasar. Dan sejak saat itu ia selalu penasaran bagaimana rasanya mimisan. Siapa yang menyangka keinginannya itu akan terwujud hari ini dengan cara yang begitu tidak terduga. “H-Hidungmu-- D-darah.. Ada darah di hidungmu.” , ujar Adelia tergagap. Iia tidak menyangka sampai separah itu. Apa itu karena dirinya? “Ayo cepat! Kita harus menghentikan pendarahannya!” , Adelia langsung menyambar tasnya dan juga tas Rangga. Memakainya di bagian depan dan juga belakang sama seperti saat ia memanjat dinding tadi. “Tidak perlu. Aku baik - baik saja.” , elak Rangga. Adelia menatapnya tajam, “Apanya yang baik - baik saja? Lihat sikumu juga! Kita harus membersihkan lukanya juga!” Rangga tidak berkata apa - apa lagi. Ia hanya menurut saja. Melihat Rangga yang harus terus mendongak sebagai pertolongan pertama, tangan Adelia meraih tangan Rangga yang bebas dan menariknya, menuntunnya dengan sedikit berlari menuju gedung sekolah mereka. Tak jauh dari sebelah kiri mereka, ada pintu gerbang sekolah dimana satpam penjaga sekolah mereka masih berkacak pinggang memperhatikan murid - murid di luar gerbang yang tengah ia beri pelajaran tentang kedisiplinan. Mau tidak mau, mereka harus berlari meskipun badan mereka masih terasa nyeri karena insiden tadi. Mereka tidak punya pilihan lain. Jika tidak, kemungkinan besar mereka akan tertangkap basah oleh penjaga sekolah, dan jika hal itu terjadi, maka sia - sia sudah semua tenaga dan juga rasa sakit yang telah mereka korbankan hanya untuk menyelinap masuk dengan melompati dinding. “Pertahankan posisi kalian! Jangan berhenti! Jangan sekali - kali ada yang berani menurunkan bokongnya sebelum aku memberikan komando. Jika hal itu terjadi, maka kalian akan aku suruh berlari mengelilingi lapangan sebanyak seratus kali. Mengerti?” , tegas penjaga sekolah tua itu berjalan mondar - mandir di balik pintu gerbang bagian dalam, sementara mereka yang terlambat harus menjalani serangkaian hukuman yang diberikan di bagian luar pagar. “Baik, pak!” , sahut mereka dengan meringis menahan sakit dari otot - otot mereka yang bereaksi karena mereka jarang berolahraga. “APA?! AKU TIDAK MENDENGARMU!” , katany lagi. “Siap, Pak!” , kata mereka lagi dengan kompak, Wajah mereka meringis menahan yang begitu terasa hingga lengan mereka bergetar. Tidak ada di antara mereka ada yang bercita - cita menjadi militer. Menerima hukuman seperti ini secara tidak langsung mereka merasa sedang dilatih oleh pimpinan militer yang terkenal dengan sikap tegas dan tanpa ampunnya. Satpam penjaga sekolah tua yang sekarang masih berkacak pinggang memperhatikan dengan teliti postur murid-murid yang sedang dihukum, mendapatkan isu yang tersebar di antara semua murid yang ada di sini bahwa dirinya adalah mantan anggota militer. Meskipun tubuhnya kurus tapi suaranya begitu menggelegar membuat siapapun akan segan berbicara ataupun bermain - main dengannya. Daun telinga kirinya bergerak - gerak menangkap sebuah suara yang mencurigakan dari arah kiri tempatnya berdiri. Segera ia menoleh ke samping, tepatnya dimana Rangga dan Adelia beberapa saat yang lalu masih ada. Begitu ia menoleh, Rangga dan Adelia sudah lebih dulu bersembunyi di tempat parkir para guru yang berada di seberang dinding. Mereka bersembunyi di balik mobil Avanza berwarna hitam. Dengan kompak., mereka berjongkok bersembunyi. Pria tua penjaga sekolah itu merasa ada yang tidak beres. Ia yakin betul mendengar sesuatu di sana. Mengingat tupoksinya sebagai satpam sekaligus penjaga sekolah yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan sekolah, mendorongnya untuk pergi memeriksa secara langsung daripada berdiri di tempatnya sekarang, hanya mengamati. Ia khawatir itu adalah orang asing yang melompat masuk dan berniat untuk berbuat onar di sekolah ini. “Kalian tetap pertahankan posisi itu sampai aku kembali. Jangan coba - coba untuk turun. Mengerti?” katanya memberi peringatan pada murid - murid di luar gerbang. “Iya, pak!” , jawab mereka serempak. Tanpa ia ketahui, mereka langsung ambruk bersama - sama. Memanfaatkan kesempatan itu untuk menambah teman baru, dan juga otot perut mereka yang tegang. “Dia memang sudah gila.” , ujar salah satu dari mereka pada orang tua yang menyuruh mereka melakukan hal - hal seperti ini. Sambil waspada dan dengan langkah pelan agar suara langkah kakinya tidak terdengar, satpam penjaga sekolah mulai mendekat ke tempat Adelia dan juga Rangga sebelumnya. Disana tidak terlihat satupun manusia. Yang ada hanya jejeran mobil - mobil dan juga motor kendaraan milik para guru terparkir dengan acak. Dengan sedikit mencondongkan tubuhnya, Adelia mengintip keadaan di dekat gerbang sana. Betapa terkejutnya ia menyadari satpam penjaga sekolah itu tengah berjalan kemari. Segera Rangga dan Adelia mengendap - endap berusaha untuk menginjakkan kaki di lantai gedung sebelum satpam penjaga sekolah menemukan mereka. Mereka membungkuk sambil berlari kecil dengan berjinjit berusaha agar langkah mereka tidak terdengar. Usaha mereka berhasil. Tanpa pikir panjang lagi, Adelia berlari membawa Ranga pergi menuju ruang Unit Kesehatan Sekolah, alih - alih pergi ke kelas mereka terlebih dahulu. Mereka berlari melewati ruang - ruang kelas di mana pelajaran pertama sedang berlangsung. Pemandangan mereka berlari melewati tiap kelas seolah - olah seperti iklan yang lewat saat tayangan tengah berlangsung. Kelas yang ada di sekolah tersebut tidaklah kedap suara. Sehingga suara dari luar bisa dengan jelas terdengar oleh orang - orang yang ada di dalam kelas. Perhatian mereka yang sebelumnya fokus pada apa yang ditulis oleh guru mereka pada papan tulis putih di depan, begitu Adelia dan Rangga berlari melintas, menimbulkan suara langkah kaki berisik yang menarik perhatian mereka. Lantas semua menoleh kearah jendela tak terkecuali guru mereka yang terinterupsi. Adelia bersyukur ruang UKS hanya berjarak dua kelas dari tangga. Sehingga mereka tidak perlu membuang tenaga untuk berlari lebih jauh dengan beberapa bagian tubuh mereka yang masih terasa nyeri. “Bu Dewi! Bu Dewi” , panggil Adelia sembari menurunkan gagang pintu dan mendorongnya sehingga pintu berwarna putih dengan papan persegi panjang yang tertulis ruang UKS tergantung di bagian atas pintu itu terbuka lalu bergegas masuk. Ia berhenti di tengah ruangan seluas sepuluh meter persegi tersebut. Matanya melihat ke segala arah mencoba mencari sosok yang baru saja ia panggil - panggil namanya. Ruangan tersebut kosong. Adelia tidak menemukan satupun orang di sana selain dirinya dan juga Rangga. Kemana kiranya ibu Dewi, guru olahraga kesehatan jasmani di sekolah yang sudah terlatih dalam bidang kesehatan itu? Rangga yang masih mendongak sambil memegangi hidungnya, ikut melihat sekeliling. “Apa tidak ada orang?” , tanyanya. Adelia semakin merasa bersalah karena Rangga tidak segera mendapatkan pertolongan. Tidak ingin rasa bersalahnya semakin besar menarik rangga duduk di atas ranjang perawatan. “Duduklah.” , kata Adelia. Rangga yang masih tidak tahu niat Adelia menurut saja. Adelia meletakkan tas mereka di atas ranjang yang berseberangan dengan Rangga. Kemudian pergi ke meja tempat biasa ia menemukan Bu Dewi duduk seraya menangis - nangis menonton film India lawas kesukaannya, kuch Kuch Hota Hai. Satu - satunya film lawas yang tak pernah bosan - bosan ditonton berkali - kali oleh bu Dewi. Di sisi kanan atas meja Adelia mengambil kotak P3K, langsung kembali ke tempat Rangga duduk menunggu, dan meletakkan kotak yang dibawanya di samping Rangga. “Ayo kita obati lukamu.” , kata Adelia. Rangga terdiam. Dia tidak menyangka Adelia akan berbuat sejauh itu padanya. Tanpa menunggu persetujuan Rangga, Adelia membuka kotak P3K yang ada di samping Rangga. Pertama - tama, ia mengambil kapas bulat dan juga pinset untuk menjepit kapas tersebut. “Maaf, tolong singkirkan tanganmu.” , pinta Adelia dengan menunjuk tangan Rangga yang masih menahan hidungnya. Rangga menurut saja. Ia melepaskan tangan dari hidungnya dan cairan berwarna merah yang tertahan langsung mengalir keluar. Segera Adelia menahan aliran darah tersebut dengan kapas yang sudah ia siapkan tadi. Ia lakukan secara berulang kali sampai darahnya tidak mengalir banyak lagi dan menyumbat hidung Rangga yang mimisan dengan kapas baru. Rangga hanya diam saja merasakan kapas lembut itu menyapu bagian bawah hidungnya dan menyumbat pada salah satu lubang hidungnya. “Nah sudah.” , kata Adelia. Rangga mencoba menurunkan kepalanya perlahan dan merasakan sensasi rasa pegal pada tengkuk lehernya karena terus mendongak selama beberapa saat. Sudah berhenti. Rangga tidak lagi merasakan ada cairan hangat yang mengalir dari hidungnya. Kini Adelia beralih mengambil kapas baru dan menuangkan sedikit cairan alkohol pada kapas yang dijepit pinset, “Perlihatkan sikumu.” , katanya. Rangga mengangkat tangannya membentuk siku - siku, sesuai yang diminta oleh Adelia. Kapas yang sudah dituangkan cairan alkohol tadi, Adelia gunakan untuk menyapu luka gores - goresan yang ada pada siku Rangga, membersihkannya dari tanah - tanah yang ada. Rangga diam saja melihat Adelia yang telaten membersihkan lukanya. Jantungnya tiba - tiba saja berdegup kencang saat menatap wajah serius Adelia yang tampak begitu cantik dan bersinar di matanya. Tanpa sadar, tangannya bergerak dengan lembut menyentuh anak rambut Adelia yang menjuntai turun menghalangi wajah Adelia dari pandangannya dan menyelipkannya ke belakang telinga Adelia, membuat wajah Adelia semakin terlihat jelas. Jantungnya berdegup semakin cepat, ditambah lagi Adelia yang langsung menoleh padanya karena apa yang baru saja ia lakukan. Mata mereka bertemu beberapa saat dan saling menatap tanpa ekspresi. Angin dari luar tiba - tiba datang, menerobos masuk melalui jendela, meniup tirai putih yang menutupi jendela yang terbuka. Angin pagi itu juga meniup anak - anak rambut juga poni tipis Adelia yang membuatnya terlihat seperti tengah melambai - lambai, menyapa siapapun yang melihatnya. Saat itu waktu terasa berhenti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN