Rangga langsung kembali menatap lurus pada dinding di depannya. T-tidak!" , katanya berbohong, “Kau sudah sampai di puncaknya?” , tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Sudah!”
“Kau bisa memanjat ke atasnya?”, tanya Rangga memastikan.
Adelia melihat gedung besar tiga lantai tak jauh di depannya. Ia mencoba mendekatkan badannya lebih dekat dengan dinding untuk naik ke atas dinding namun terhalangi oleh tas Rangga di depan dadanya.
“Sebentar.. Aku.. Akan mencoba--” , Adelia melepaskan satu tangannya dari berpegang pada dinding, dan dengan hati - hati mencoba melepaskan tas Rangga. Berhasil. Ia letakkan lebih dulu pada puncak dinding yang cukup lebar.
“Apa yang sedang kau lakukan?” , tanya Rangga merasa tidak ada perubahan pergerakan pada Adelia.
“Aku akan mencoba untuk naik.” , kata Adelia yakin.
Kedua tangannya ia posisikan berdampingan sejajar dengan bahunya, setelah dirasa siap, dengan seluruh kekuatan lengannya, Adelia melepaskan kakinya dari pundak Rangga dan berpaku pada kedua tangannya. Di bawah, setelah Rangga merasakan kaki Adelia sudah tidak lagi menapak pada pundaknya, kepalanya langsung mendongak ke atas untuk melihat keadaan Adelia. Namun, ia langsung menunduk lagi sebab begitu ia mendongak, pemandangan yang ia lihat masih paha mulus Adelia.
Sedangkan Adelia yang masih bergantung di atas, satu kakinya ia coba naikan lebih dulu agar beban yang ditanggung oleh lengan atasnya tidak terlalu berat. Berhasil. Adelia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengerahkan semua kekuatannya untuk menaikan satu kakinya lagi. Sementara Rangga di bawahnya menunggu dengan gugup.
“Aku sudah naik!” , ujar Adelia senang dengan suara agak kencang agar Rangga di bawah bisa mendengarnya.
Rangga mengangguk, “Oke, aku akan naik.” , katanya.
Rangga mundur beberapa langkah mengambil ancang - ancang. Setelah memantapkan diri, ia berlari dan melompat seraya tangannya meraih puncak dinding hingga posisinya berhinggap pada dinding. Sebelum naik, ia mempertahankan posisinya beberapa saat untuk mengatur nafasnya sebelum menarik tubuhnya ke atas dibantu dengan kakinya yang menapak pada dinding.
Sementara itu di atas, Adelia merasa lega karena sudah setengah jalan dan hanya tinggal melompat turun. Begitu ia melihat ke bawah di sisi dalam sekolahnya, tiba - tiba saja ia merasa pusing. Rupanya jaraknya ke tanah lebih tinggi daripada di sisi luar yang tinggi karena trotoar jalan. Kakinya lemas, nafasnya mulai memburu. Sepertinya Adelia terserang phobia ketinggian.
Beberapa saat kemudian Rangga sudah berjongkok di samping Adelia dengan wajah lega karena sudah berhasil naik. Dilihatnya Adelia yang terlihat gugup tengah menengok ke bawah, ia pun ikut melihat ke bawah. Sama seperti Adelia, Rangga juga sama terkejutnya saat menyadari jarak dari puncak dinding menuju tanah yang ada di bagian dalam berbeda dengan yang di luar sebelumnya. Ia tidak pernah perkirakan akan hal ini sebelumnya. Jika tahu jaraknya sampai segitu, tentu ia tidak akan setuju dengan ide ini di awal tadi. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Mereka sudah sejauh ini dan hanya tinggal melompat turun.
“Aku akan lompat lebih dulu. Nanti kau lemparkan tasnya, ya, saat aku sudah di bawah.” , ujar Rangga masih melihat ke bawah untuk memperkirakan bagian mana yang aman untuk mendarat.
Di bawah mereka adalah taman kecil berisi pohon - pohon yang ditanam berjejer pada area tanah panjang dibatasi dengan semen. Lebar area tanah hanya kurang lebih satu setengah meter, sedangkan untuk panjangnya sepanjang dinding ini. Di depan area tanahlah aspal yang tidak terlalu mulus. Jika Rangga melompat dengan asal, sudah pasti ia hanya akan melukai dirinya sendiri dengan aspal itu.
Adelia yang masih merasa detak jantungnya tak beraturan dan pusing sesaat, memilih untuk duduk memejamkan matanya. Setidaknya ia bisa berpura - pura seolah dirinya tengah duduk di sebuah bangku yang ada di atap sekolah. Ia tidak mendengarkan Rangga.
Rangga yang bisa melihat ketakutanya, mendekat, dan tangannya menyentuh pundaknya, untuk menyadarkan Adelia, “TIDAK! TIDAK! JANGAN SENTUH AKU!” , teriak Adelia panik.
Satu - satunya alasan mengapa ia berteriak adalah karena dirinya mengira tangan Rangga yang menyentuhnya itu hendak mendorongnya. Itu sebabnya ia berteriak. Beruntung teriakan Adelia tidak terlalu kencang, sehingga satpam penjaga sekolah mereka masih tidak menyadari kehadiran mereka.
Segera Rangga memegang erat tangan Adelia yang sedang panik. Ia khawatir gerakan - gerakan yang Adelia lakukan karena serangan paniknya, malah akan membahayakan dirinya.
“Hei! Hei! Dengarkan aku.” , kata Rangga tegas, “Aku akan lompat lebih dulu. Lalu kau akan melemparkan tasmu dan juga tasku. Aku akan menangkapnya.” , ujar Rangga menjelaskan lagi. Kali ini tempo bicaranya lebih lambat agar Adelia yang panik bisa memahaminya.
“Lalu.. Aku?” , tanya Adelia dengan ekspresi wajah yang takut.
Rangga melonggarkan genggaman tangannya pada tangan Adelia, “ Pertama, kau perhatikan bagaimana caraku turun & kau akan menggunakan cara yang aman. Aku akan berjaga - jaga di bawah, dan akan langsung menangkapmu jka sesuatu terjadi.” , balas Rangga menenangkan.
Adelia tidak merasa yakin, namun ia tidak punya pilihan lain.
“Kau siap? Aku akan melakukannya sekarang, jika kau siap.” , kata Rangga.
Adelia menatap ke bawah sekali lagi. Masih terlihat menakutkan.
“Adel, jangan lihat ke bawah. Lihat aku. Kau hanya harus melihatku. Jangan sekali - kali mengalihkan perhatianmu dariku.” , tambah Rangga menatap lurus pada Adelia.
Adelia menoleh dan manik mereka bertemu. Tidak ada pembicaraan dan hanya ada pembicaraan tersirat dalam tatapan mereka satu sama lain. Adelia merasa aneh, kini detak jantungnya tiba - tiba saja berdebar dengan tempo yang lebih beraturan meskipun masih berdegup kencang. Rasanya ia berada di sebuah tempat teduh di bawah hamparan langit biru dengan awan - awan berarak tertiup angin.
“Aku akan melompat sekarang.” , kata Rangga menginterupsi khayalan Adelia.
Adelia mengangguk memberi restu.
Bergeser sedikit menjauh dari Adelia, Rangga melepaskan genggamannya pada tangan Adelia. Dengan memantapkan diri, ia berbalik menatap jalan raya di belakangnya, lalu menurunkan kedua kakinya bergantian dengan posisi menapak pada dinding, sementara tangannya berpegangan pada dinding paling atas.
Bertahan dalam posisi tersebut selama beberapa saat, ia menengok ke belakang, tepatnya ke bagian bawah untuk memperkirakan dimana ia harus mendarat. Hap, Rangga melepaskan pegangan tangannya, dan memutar badannya agar mendarat dengan menghadap ke jalanan aspal sekolahnya. Berhasil! Rangga mendarat dengan posisi yang sempurna. Rasa lega timbul dalam hati keduanya saat itu juga.
Segera Rangga berdiri dan mengacungkan jempolnya pada Adelia untuk memberi kode bahwa dirinya baik - baik saja.
“Lemparkan tasnya!” , kata Rangga di bawah.
Adelia menurut. Ia meraih tas milik Rangga lebih dulu dan melemparkannya. Hap. Dapat ditangkap dengan mudah. Hal yang sama terjadi pada tas Adelia meskipun lebih berat. Hap. Tertangkap dengan sempurna.
Kini giliran Adelia yang harus melompat. Ia berusaha keras untuk tidak melihat ke bawah, tapi ia melihat ke arah Rangga yang dengan sabar memberi komando.
Adelia ingat betul bagaimana persisnya cara Rangga melompat turun sebelumnya. Dengan perasaan agak takut Adelia mulai menurunkan kedua kakinya. Bagian tubuh atasnya diputar agar tangannya bisa mencengkram bagian pojok dari puncak dinding. Setelah dirasa cukup kuat, ia menaikkan kakinya agar menapak pada dinding dan membebankan berat tubuhnya pada bagian punggung dengan cara menariknya kuat - kuat. Sebab jika ia membebankan pada kakinya, sudah pasti kakinya akan merosot ke bawah tertarik oleh gravitas. Dan hal itu juga akan membebani cengkraman tangan kecil Adelia yang tidak begitu kuat untuk menahan beban tubuhnya.
Setelah memastikan ini adalah tahapan yang benar, Adelia bersiap untuk gerakan selanjutnya. Dan yang paling penting, ia harus membalikan badannya dan melompat dengan kaki menendang dinding. Rangga di bawah masih memperhatikan dengan khawatir meskipun gerakan yang Adelia lakukan subah sama persis seperti yang ia lakukan sebelumnya dan tidak ada yang salah dengan posisinya, Rangga tetap ragu Adelia bisa melakukan gerakan yang terakhir. Jadi ia memutuskan untuk bergeser memperkirakan di sebelah mana Adelia akan jatuh. Tentu ia tidak ingin Adelia mendarat terlalu jauh dari area tanah, yang mana artinya ia akan mendarat pada aspal kasar yang tidak ramah terutama pada murid yang memanjat dinding karena takut menghadap satpam sekolah mereka yang siap menghukum murid-murid yang terlambat.
Adelia menarik nafasnya dua kali dan meyakinkan diri dalam hatinya. Ia mulai menghitung mundur seolah - olah memberi tahu kepada seluruh anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan secara bersama - sama dalam waktu bersamaan.
Sayangnya semua persiapan yang Adelia lakukan tidak berakhir dengan mulus saat hitungan kedua. Kakinya tiba - tiba saja tergelincir, membuat beban tubuhnya berpindah dan tangannya yang tidak siap terlepas dari cengkraman. Adelia terkejut begitu juga dengan Rangga. Semuanya terjadi dengan begitu cepat.
Rangga maju selangkah besar untuk menangkap tubuh Adelia yang bersiap membentur tanah. Jarak yang diperkirakan oleh Rangga tepat sekali. Adelia jatuh menghantam Rangga dengan sikunya yang menyikut hidung Rangga dibelakangnya. Mereka sama-sama berbaring telentang menghadap langit.
Adelia membuka matanya perlahan, ia mengira tulang - tulangnya sudah remuk. Namun menyadari ia masih bisa menggerakkan tangan dan kakinya, segera ia bangkit dan berbalik melihat Rangga yang meringis. Mulut Adelia terbuka dan tangannya secara otomatis menutupi mulutnya begitu melihat Rangga yang baru saja tertimpa dirinya.