BAB SEBELAS : KEBETULAN YANG SEPERTI TAKDIR (part 2)

1691 Kata
Di dalam bus, Adelia masih nyenyak tertidur sampai tiba - tiba bus mengerem mendadak karena ada sesuatu yang menghalangi jalurnya di depan. Sontak guncangan yang dihasilkan dari itu membuat Adelia terantuk membentur dahi Adelia pada tempat duduk di depannya. Adelia yang terkejut langsung membuka matanya dan mengelus dahinya yang terasa nyeri. Bus kembali melaju. Adelia yang sudah terlanjur terbangun, mengerjap - ngerjapkan matanya dan melihat keluar. Butuh beberapa detik untuk Adelia menyadari pemandangan di luar bukanlah pemandangan yang biasa ia lihat. Begitu menyadarinya, ia mulai panik bertanya - tanya dimana ia sekarang. Seakan melihat kebingungan yang Adelia rasakan, bus tersebut berhenti di sebuah pemberhentian bus. Adelia berdiri, berusaha untuk membaca nama pemberhentian bus di depannya. Matanya membelalak begitu menyadari ia telah tertidur sampai terlewat tiga pemberhentian bus dari pemberhentian tujuannya. Langsung saja Adelia beranjak berdiri dan buru - buru turun dari bus dengan langkah sempoyongan karena tidurnya. “Akh! Aku akan terlambat!” , gerutu Adelia dan juga Rangga di masing - masing tempat. Adelia berlari menyebrang jalan melalui jembatan layang penyebrangan jalan, pergi ke pemberhentian bus di seberang jalan untuk kembali ke pemberhentian bus dekat sekolahnya. Sementara Rangga berlari menyebrangi jalan untuk mengejar waktu bus yang sedang berhenti menurunkan dan menaikan penumpang. *** Di rumah Dira, bibi Adelia nampak tengah tidak begitu sehat. Matahari sudah meninggi namun dirinya masih terbaring di tempat tidurnya. Ia sudah bangun pagi - pagi tadi menyiapkan sarapan dan kembali ke berbaring lemas di tempat tidur. Meskipun cuaca di luar terasa hangat, tubuh bibi Adelia menggigil kedinginan. Jaket tebal yang dikenakannya tidak cukup tebal untuk menghangatkan tubuhnya, sehingga ia pun mengeluarkan selimut tebal yang biasanya hanya disimpan saja di dalam lemari. Ayah Dira yang baru saja selesai mandi, terkejut melihat istrinya sudah terbaring menggigil di atas tempat tidur. Pasalnya beberapa saat lalu, sebelum ia mandi, ia masih melihat istri gemuknya itu menyiapkan sarapan untuknya di dapur. “Kau kenapa?” , tanya ayah Dira seraya berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian yang akan dikenakan hari ini. Mendengar suara suaminya, ia membuka matanya perlahan dan bisa melihat samar - samar bayangan suaminya yang tengah memakai baju, “Kau sudah mau berangkat kerja? Telur bagianmu ada di wajan di atas kompor.” , katanya lirih. Ayah Dira mendekat dan menyentuh dahi istrinya. Ia bisa merasakan panas pada punggung tangannya, “Kau demam.” , katanya yang langsung berjalan keluar dari kamarnya menuju dapur. Tak berapa lama, ia kembali masuk dengan mulut yang masih berkumur - kumur. Ia pergi menuju jendela dan membukanya lebar - lebar sehingga sinar matahari masuk sepenuhnya. Sedangkan istrinya bergeliat dan semakin meninggikan selimutnya, saat merasakan angin dingin yang masuk. Kemudian ia menarik kursi yang ada di dekat meja rias istrinya tepat di depan jendela. Ia kembali mendekat pada tempat tidur dan menyibakkan selimut yang menutupi istrinya dan mengguncangkan pelan bahunya. “Hei bangunlah, berjemur biar tubuhmu hangat.” , kata ayah Dira sembari menarik tangan istrinya itu agar mau bangun dari tempat tidur. Ibu Dira yang masih setengah sadar, menurut saja. Ia bangun duduk, dan berdiri, berjalan dengan sempoyongan menuju kursi yang sudah disiapkan oleh suaminya. Begitu ia duduk, suaminya pergi meninggalkannya seorang diri di kamar. Ia tidak mempermasalahkannya. Sinar matahari yang menerpa wajah dan seluruh tubuhnya, menyiraminya dengan kehangatan. Rasanya lebih baik dibandingkan kehangatan dari selimut dan jaketnya. Tak berselang lama, suaminya kembali dengan membawa mangkuk berisi bubur dan segelas teh manis hangat. Ia memberikan segelas air teh hangat di tangannya pada istrinya dan duduk pada kusen jendela yang rendah. “Apa kau membuatkanku bubur?” , tanya ibu Dira tersenyum lemah pada suaminya yang duduk di depannya sembari meniup - niupkan uap panas yang keluar. “Sudah, minum tehmu.” , katanya tidak menjawab pertanyaan istrinya. Ibu Dira lagi - lagi tersenyum. Ia lupa, meskipun suaminya begitu diam dan tidak banyak bicara, perhatian darinya selalu tepat pada waktunya dan tidak pernah gagal membuatnya semakin bersyukur telah menikahinya. Dilihatnya suaminya menyendok bubur yang ia tebak berisi irisan daging ayam, brokoli, dan juga wortel. Lalu mengangkatnya setinggi mulutnya untuk kemudian ia menghembuskan tiupan - tiupan kecil pelan dengan memonyongkan bibirnya. Setelah memastikan sudah tidak ada lagi uap panas yang membumbung dari kepala sendok di tangannya, dengan hati - hati ia menyuapkannya pada istrinya. Dengan lemah ibu Dira membuka mulutnya, membiarkan suapan dari suaminya itu masuk sepenuhnya. Melumat bubur tersebut dalam mulutnya sebentar, membiarkan lidahnya bermanja ria dengan rasa - rasa yang muncul. Namun tiba - tiba saja raut wajahnya berubah. “Kau sudah memasukan garam?” , tanyanya melihat pada bubur dan suaminya bergantian. “Oh,” , ayah Dira beranjak berdiri, “Aku lupa.” , katanya seraya pergi meninggalkan kamar, pergi ke dapur memasak ulang buburnya untuk memberikan sejumput garam yang terlewat tadi. Sontak sebuah tawa renyah terdengar dari dalam kamar berasal dari istrinya yang menertawakan tingkahnya, “Sudah, tidak apa - apa, abang. Abang! Kemarilah!~” , panggilnya. Namun suaminya tersebut tidak menggubrisnya. Ia tetap melanjutkan memasak kembali buburnya. “Abang, kau harus berangkat bekerja, ingat?” , ujar istrinya lagi dari dalam kamar. Ayah Dira mengambil sebuah wadah kecil plastik berwarna kuning muda yang berisi garam halus. Ia mengambil sebanyak satu sendok takaran kecil garam dan membaurkannya di atas bubur yang sudah mulai bergejolak karena api di bawahnya, “Tidak apa. Aku sudah izin akan datang terlambat pagi ini.” , katanya menenangkan. Setelah itu ia mengaduknya. Setelah dirasa cukup, ayah Dira mematikan kompor dan menuangkan kembali buburnya pada mangkuk yang tadi lalu dibawanya kembali ke kamar. Masih di tempat yang sama, istrinya tengah menyesap teh manis hangat buatannya dengan hati - hati. Ia mengambil sesendok bubur dan meniup pelan agar uap panasnya berkurang, lalu menyuapkannya. Sebenarnya ibu Dira masih tidak merasakan ada rasa asin, tetapi ia memilih untuk diam sebab tidak ingin suaminya itu bolak - balik ke dapur lagi. Mereka menikmati sarapan pagi itu dengan tenang dan hangat. Sesekali tawa keluar dari bibir mereka karena hal receh yang hanya mereka berdua pahami. *** Adelia telah sampai di tempat pemberhentian bus lebih dulu daripada Rangga. Segera, ia berlari secepat yang ia bisa karena dirinya sudah benar - benar terlambat lima menit. Belum sampai di depan gerbang, Adelia berhenti dua belas meter jauhnya dari gerbang. Ia melihat sudah ada beberapa temannya yang berbaris rapi membentuk garis horizontal dan dengan kompak melakukan gerakan plank dengan wajah menatap lurus ke depan. Gerakan plank hampir mirip dengan push-up, tetapi menggunakan lengan bawah sebagai tumpuannya. Adelia tahu betul bagaimana rasanya melakukan gerakan itu, sebab dulu ia juga pernah melakukannya saat pelajaran olahraga. Rasa panas pada lengan atas begitu menyiksa. Jika saja Adelia mendekat lima meter lebih dekat, tentu ia sudah bisa melihat kaki teman - temannya yang sudah bergetar dan urat - urat pada leher mereka mulai terlihat. Adelia yakin, di hadapan mereka pasti ada satpam penjaga sekolah mereka yang mematikan. Meskipun usia dan penampilannya sudah tidak lagi muda, kekuatannya masih setara dengan mereka - mereka yang masih muda. Berdasarkan rumor yang beredar, sosoknya yang begitu keras dan tegas adalah karena dirinya seorang mantan pasukan khusus. Adelia tidak begitu percaya pada rumor tersebut, namun Adelia percaya bapak tua penjaga sekolah mereka tidak segan untuk menghukum murid perempuan yang terlambat juga. Tidak ingin mengambil resiko terlambat, Adelia mencoba mencari jalan lain. Ia mundur dan kembali. Hanya ada dinding tebal setinggi dua setengah meter menjulang. Tidak ada pintu masuk lain selain pintu gerbang dengan penjaga singa itu. Sejenak, Adelia merasa bangga pada sekolahnya yang begitu aman, tetapi di sisi lain ia juga merasa kesal karena tidak ada celah untuk murid yang terlambat seperti dirinya. Tidak berselang lama, Rangga yang baru turun dari bus juga langsung berlari mengetahui dirinya terlambat. Karena begitu fokusnya ia yang hanya berpaku pada pintu gerbang sekolah, ia melewati Adelia begitu saja. Namun karena Adelia sudah melihat kedatangan Rangga beberapa meter jauhnya, langsung menangkap tangan Rangga begitu Rangga melewatinya dan menariknya untuk menghentikannya. Rangga yang terkejut langsung menoleh pada orang yang menarik tangannya. Adelia. Pikirannya membeku sejenak. Semua pekerja - pekerja dalam otaknya seakan - akan berhenti bergerak. “Adel?” Adelia langsung menarik Rangga mundur untuk menempel pada dinding, “Kau yakin mau menghadap langsung satpam penjaga sekolah?” , tanya Adelia mendesak. Rangga berkedip beberapa kali mencoba membangunkan mereka - mereka yang terdiam dalam otaknya, tidak menyangka akan bertemu dengan Adelia di pagi ini. Ia melongo, melihat ke arah gerbang kemudian melihat menatap Adelia di depannya. Adelia menaikan alisnya menuntut jawaban dari pertanyaannya tadi. “Lalu, apa kau ada ide?” , balas Rangga balik bertanya. Dari pertanyaan Adelia, ia sudah bisa menebak Adelia tidak setuju jika ia menghadap langsung ke satpam penjaga sekolah dan bergabung dengan teman - teman lainnya yang sampai saat ini masih melakukan gerakan plank. Adelia melihat ke atas, tepatnya pada puncak dinding di belakangnya. “Memanjat dinding?” , tanya Rangga mencoba memastikan. Beberapa saat kemudian, kaki Adelia sudah naik ke atas pundak Rangga yang berjongkok di bawahnya. Perlahan, Rangga berdiri dengan Adelia di atasnya yang membawa dua tas sekaligus, di depan d**a dan juga di belakang punggungnya, berpegangan pada dinding menjaga keseimbangannya saat Rangga mengangkatnya naik. “Apa kau sudah sampai?” , tanya Rangga di bawah. “Tidak, belum. Masih sedikit lagi.” , jawab Adelia yang tengah deg-degan, takut dirinya akan jatuh ke belakang karena beban tas miliknya yang berada di punggungnya lebih berat daripada tas milik Rangga yang ada di depan. “JANGAN LIHAT KE ATAS!” , ujar Adelia tiba - tiba, mengejutkan Rangga yang memang baru mau mendongak ke atas untuk melihat seberapa jauh lagi jaraknya. “T-tidak!” , balas Rangga gugup. Mereka sama - sama baru menyadari jika Rangga mendongak ke atas, maka ia bisa melihat bagian dalam rok Adelia. “Tidak perlu mendongak! Teruslah berdiri!” , tambah Adelia mengingatkan. “Iya! Aku tahu!” Meskipun menjawab begitu, naluri Rangga terus mencoba mengambil alih dirinya. Lagi - lagi, sisi harga diri dengan sisi nalurinya berdebat. Pertarungan tak terlihat dalam pikirannya berlangsung cukup sengit dengan hasil naluri yang memenangkan pertarungan tersebut. Sontak, ia berhasil mengambil alih tubuh Rangga, membuatnya mendongak ke atas. Dilihatnya sekilas paha mulus Adelia dan celana pendek ketat berwarna hitam. “Kau tidak sedang melihat ke atas, kan?” , tanya Adelia di atas khawatir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN