BAB SEBELAS : KEBETULAN YANG SEPERTI TAKDIR (part 1)

2053 Kata
Esok paginya, Adelia bangun dengan wajah lelah. Ia baru bisa benar - benar tidur pada jam tiga pagi, dan itu artinya ia hanya bisa tidur selama kurang lebih dua jam. Penampilannya tampak seperti daun selada yang dipetik kemarin lalu dibiarkan begitu saja di udara terbuka semalaman. Untuk bangun dari tempat tidurnya saja ia merasa berat. Saat di kamar mandi pun, dinginnya air masih tidak cukup untuk membuka matanya yang masih enggan bangun dari tidurnya. Dira yang bertemu dengannya saat mereka berpapasan di ruang makan rumah Dira, terkejut, melihat penampilan Adelia yang sudah mirip zombie. Tetapi ia tidak bertanya apapun soal itu, dan berlalu saja melewati Adelia untuk segera mandi. Setelah menyelesaikan sarapan singkatnya, Adelia berjalan gontai menuju tempat pemberhentian bus. Ada keuntungan tersendiri baginya yang telah melawan keinginannya untuk tidur lebih lama, ia tidak perlu lagi berlari - larian mengejar bus. Langkah kakinya yang terlampau santai pun masih bisa membuatnya tidak tertinggal bus yang biasa ia naiki. Tetapi tetap saja, rasa kantuknya tidak mendukungnya untuk berdiri di dalam bus. Dengan kedua tangannya, Adelia berpegangan pada cincin besar untuk menjadi penompang tubuhnya agar tidak terjatuh karena guncangan yang ada. Namun, beberapa kali ia hampir jatuh ke depan dan ke belakang menabrak orang yang berdiri di hadapannya dan di belakangnya. Sampai akhirnya, seorang bapak tua yang duduk tak jauh dari Adelia berdiri dan mendekat pada Adelia. “Nak, duduklah.” , katanya seraya menepuk bahu Adelia yang matanya sudah hampir terpenjam sepenuhnya. Adelia membuka matanya terkejut dan menengok ke sumber suara yang tengah menunjuk tempat duduknya, “Ah tidak perlu, pak. Silahkan bapak saja.” , jawab Adelia merasa tidak enak. Pasalnya dari penampilan orang tersebut saja sudah bisa terlihat betapa tuanya dia. Rambutnya yang sudah beruban dan hanya menyisakan beberapa helai rambut yang masih hitam. Kerutan - kerutan pada wajahnya juga sudah terlihat, mencirikan sekali bahwa dirinya telah berusia lewat dari setengah abad. Tentu Adelia merasa tidak enak hati untuk menerima tawaran tersebut. Meskipun sisi malas dirinya berteriak kegirangan setelah mendapat tawaran tadi. “Tidak, tidak apa. Bapak akan turun disini.” , balas bapak tadi memaksa. Adelia menoleh ke bagian depan bus dan dilihatnya pemberhentian bus selanjutnya di depan. Tentu itu adalah sebuah keberuntungan untuknya. “Ah.. Terima kasih.” , ujar Adelia seraya mengangguk memberi hormat. Bus mulai melaju perlahan sebab sang sopir menginjak rem agar berhenti tepat di pemberhentian bus yang ada tak jauh di depan. Adelia mendudukan dirinya di tempat duduk yang diberikan padanya tadi. Tempat duduk itu tidaklah begitu bagus, namun terasa begitu nyaman dibandingkan harus berdiri. Adelia bergeser ke sisi badan bus dan menyandarkan kepala juga badannya. Matanya yang tadi berusaha untuk tetap membuka, kini dengan bebas menutup tanpa khawatir akan jatuh ataupun menabrak orang - orang di sekitarnya. Ini adalah hal yang sangat jarang terjadi. Terakhir kali ia mendapat tempat duduk saat berangkat sekolah adalah pada hari berkemah tahun lalu. Pada waktu itu ia berangkat dari rumah pukul lima pagi. Tidak jauh berbeda dengan Adelia, Rangga pun tidur lebih larut dari biasanya semalam. Hanya saja ia punya waktu tidur lebih lama. Empat jam, waktu yang cukup untuknya tetap bangun lebih awal tanpa merasa mengantuk di pagi hari. Ia tetap berangkat seperti biasa, di jam yang biasa. Namun, kali ini ia tidak berharap akan bertemu dengan Adelia di pemberhentian bus. Setelah kejadian semalam, rasanya begitu canggung untuk bertemu lagi. “Aku berangkat dulu, ma!” , ujar Rangga dari pintu depan rumahnya dengan sedikit berteriak agar ibunya yang ada di dapur bisa mendengarnya. Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, ia melangkahkan kakinya keluar rumah dan menyusuri jalanan aspal yang tidak terlalu lebar. Rumah Rangga berada di tengah - tengah komplek perumahan. Untuk pergi ke tempat pemberhentian bus, seharusnya ia pergi memutar melalui pintu masuk komplek perumahannya. Tetapi ia memilih untuk mengambil jalan pintas melalui pintu kecil yang menghubungkannya ke sebuah gang kecil. Setelah menyusuri gang kecil itu sampai ujung yang kurang lebih sepanjang enam puluh meter, akan membawanya ke jalan besar. Tak jauh dari depan gang itu, bisa terlihat sebuah tempat kecil dengan atap yang melengkung meneduhkan orang - orang yang menunggu bus di bawahnya. Saat Rangga menyusuri gang, dari kejauhan ia melihat seorang nenek renta yang tubuhnya kecil dan agak bungkuk, membawa dua kantung kresek cukup besar di masing - masing tangannya. Langkahnya tergopoh - gopoh pelan dan kecil. Rangga memperhatikan dengan was - was, merasa akan ada sesuatu yang terjadi. Benar saja, tiba - tiba saja nenek tersebut terjongkok sambil memegangi lututnya dan salah satu kantung plastik yang dibawanya terjatuh membuat jeruk - jeruk yang ada di dalamnya menggelinding berhamburan ke segala arah, keluar dari kantung plastik tersebut. Rangga yang melihat hal itu terkesiap dan langsung berlari menghampiri seraya memunguti jeruk - jeruk yang menggelinding ke arahnya. “Kau baik - baik saja, nek?” , tanya Rangga menghampiri nenek tersebut dan membantunya berdiri. Nenek tua itu tidak menjawabnya. Tetapi mengeluarkan ocehan - ocehan yang tidak jelas sambil menggerak - gerakan tangannya. Rangga menebak nenek ini memiliki gangguan tidak bisa bicara. Hatinya terenyuh merasa iba. Nenek tersebut terus - terusan mengoceh sambil menggerak - gerakan tangannya memberi kode bahasa isyarat yang tidak Rangga pahami. “Nenek diam saja disini, ya. Biar aku yang memunguti jeruk - jeruknya.” , ujar Rangga menatap dekat pada wajah nenek tersebut dan bicara perlahan, berharap sang nenek dapat mengerti ucapannya. Setelah Rangga bicara, nenek tersebut berhenti mengoceh dengan menggerakan tangannya. Rangga menganggap nenek tersebut sudah mengerti maksud dari ucapannya. Ia pun melakukan apa yang ia katakan, yaitu memunguti semua jeruk - jeruk yang menggelinding. Beruntung jalan pada gang tersebut hanya ada jalanan aspal saja yang sisi kanan dan kirinya dinding ruko dua lantai. Tidak ada selokan ataupun tanah - tanah, sehingga semua jeruknya selamat tanpa ada kotoran yang terlihat. Jeruk - jeruk yang menggelinding benar - benar ke segala arah. Beberapa kali Rangga harus berjongkok lalu berpindah tempat, berjongkok lagi dan berpindah tempat lagi. Ia perkirakan jeruk - jeruk yang ia kumpulkan kurang lebih dua kilo beratnya. Untuk jumlahnya, Rangga tidak tahu pasti, sebab ia hanya fokus untuk memunguti secepat mungkin tanpa sempat menghitungnya. Bersyukur kantong plastik yang menjadi tempat jeruk - jeruk itu sebelumnya tidak robek sama sekali. Setidaknya Rangga tidak perlu repot - repot mencari kantong plastik lagi. Setelah terkumpul semua, Rangga membuat simpul ikatan pada kantong plastik besar yang sudah terisi setengahnya dengan jeruk, sebelum memberikannya pada sang nenek. “Ini jerukmu, nek.” , kata Rangga menyodorkan bungkusan plastik itu dengan kedua tangannya. Tangan kecil nan keriput itu bergerak dengan gemetar berusaha menerima kantong plastik yang Rangga sodorkan padanya. Melihat hal itu tentu Rangga tidak tega. Bagaimana mungkin tangan kecil renta yang sudah sulit bergerak itu harus membawa beban seberat ini? Rangga sangat tidak yakin akan hal itu. Ia menarik kembali kantong plastiknya. “Biar aku bantu bawakan saja ya, nek. Ayo, aku akan mengantar sampai ke rumahmu. Nenek yang tunjukan jalannya.” , ujar Rangga meraih satu kantong plastik yang masih ada di tangan kanan nenek tersebut, Raut wajah bahagia terlihat jelas pada air muka nenek tua itu. Meski kulit wajahnya sudah sangat keriput, senyum tanpa gigi di wajahnya masih terlihat menenangkan. Rangga merasa sedang melihat senyum seorang bayi, begitu tulus. Ia sampai lupa bahwa ia harus segera berangkat ke sekolah. Hanya tersisa waktu dua puluh menit sampai pintu gerbang sekolah akan ditutup oleh penjaga sekolah. Sang nenek memimpin jalan, menuntun Rangga yang berjalan di sampingnya dengan kecepatan langkah yang sama. Bungkuk di punggungnya membuat nenek itu tidak bisa melangkah cepat - cepat. Kecepatan langkah anggun seorang putri Solo pun kalah lambat dengan sang nenek. Setelah berjalan selama lima menit, Rangga sudah mulai tidak sabar. Ia khawatir dirinya akan tertinggal bus dan terlambat. Tetapi ia juga tidak bisa meninggalkan nenek ini seorang diri membawa beban seberat ini. Rasa empatinya amat sangat menolak hal tersebut. Hal lain yang membuatnya sebal adalah, ia tidak menemukan satupun orang yang lewat. Setidaknya untuk ia mintai bantuan untuk membawakan barang bawaan si nenek sedangkan dia akan menggendong nenek di punggungnya, jadi ia tidak akan terlambat. Mereka masuk semakin dalam hingga sampai di ujung gang dan berbelok. Banyak rumah - rumah di sisi kiri dan kanan jalan gang, tidak seperti di depan gang tadi yang hanya didominasi dinding tinggi. Namun, masih juga tak ia jumpai seorang pun manusia disana. “Apa masih jauh, nek?” , tanya Rangga mulai tidak sabar. Satu hal yang Rangga lupa. Nenek tersebut tidak bisa bicara dengan normal. Tentu saja sang nenek menjawabnya dengan mengoceh tidak jelas sambil menggerak - gerakan tangannya. Rangga menurunkan kedua bahunya bersamaan seraya menghela nafasnya, pasrah. Nasi sudah menjadi bubur. Dirinya sendiri yang sudah memutuskan untuk menolong si nenek, tentu ia harus melaksanakannya dengan tuntas. Mereka terus berjalan. Rangga memperhatikan apa saja yang ia lewati. Ini adalah jalan yang belum pernah ia lalui sebelumnya, tentu ia harus menghafalnya agar tidak tersesat saat kembali nanti. Jalan gang ini mengingatkannya pada sebuah labirin besar. Jalannya kecil dan banyak belokan. Ia harus benar - benar mengingat jalannya, jika tidak, tentu ia akan menghabiskan banyak waktu untuk keluar dari labirin raksasa ini. Setelah kurang lebih lima belas menit mereka berjalan melalui tikungan, jalan sempit, halaman rumah orang, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang letaknya di ujung jalan. Rumah tersebut berbeda dengan rumah lainnya. Saat rumah lainnya sudah terbuat dari dinding batu batu yang di semen, rumah si nenek tampak begitu berbeda dengan dinding kayunya yang sudah reyot. Rangga tidak bisa tidak merasa iba dengan si nenek. Beberapa saat yang lalu, dalam hatinya ia menggerutu soal si nenek. Mulai dari bagaimana bisa seorang nenek tua berbelanja sejauh itu sendirian. Apa ia tidak punya anak atau cucu yang bisa dimintai tolong. Bahkan dalam pikirannya ia sudah berprasangka bahwa di rumah si nenek ada cucunya yang sudah besar dan bisa dimintai tolong, tengah berbaring santai sembari memainkan ponsel menunggu kedatangan si nenek. Rangga bersumpah akan langsung meninju orang tersebut di wajahnya jika benar adanya. Tidak peduli ia laki - laki ataupun perempuan. Rangga sudah bertekad. Tetapi yang ia dapati kini tidak sama dengan semua yang ia bayangkan sebelumnya. Membayangkan sang nenek tidur di rumahnya yang sudah pasti akan begitu dingin saat malam karena angin malam yang masuk melalui celah - celah sambungan kayu, membuat hati Rangga terenyuh. Rangga ikut masuk ke dalam rumah yang pintunya tidak dikunci. Hal itu wajar menurut Rangga, lagipula siapa yang mau mencuri di rumah seperti ini. Tidak banyak perabotan di dalam. Benar - benar rumah sederhana dengan barang seadanya. Rangga meletakkan kedua kantong plastik yang dibawanya pada meja usang yang ia temukan di bawah jendela. “Nek, ini belanjaannya aku taruh disini, ya.” , ujar Rangga memberitahu. Si nenek menoleh pada Rangga dan mengangguk - angguk sambil bicara tidak jelas. Rangga menganggapnya sebagai jawaban iya. Rangga melihat sekeliling kondisi dalam rumah. Benar - benar mengingatkannya pada rumah - rumah yang ada pada masa penjajahan dulu. Begitu sederhana. Kemudian pandangannya beralih pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, ia terkesiap. Hanya tersisa sepuluh menit lagi untuknya sebelum pintu gerbang ditutup. “Nek, maaf, ya. Aku tidak bisa berlama - lama lagi. Aku harus segera berangkat sekarang.” , kata Rangga dengan gelisah. Si nenek mengangguk mengerti. Rangga langsung menghampiri dan mencium punggung tangan nenek tersebut, “Panjang umur dan sehat selalu ya, nek.” Dengan lembut, nenek tersebut mengelus rambut Rangga dan mendoakan hal yang sama meskipun Rangga tidak bisa mendengar doanya. Tanpa membuang waktu lagi, dengan tergesa - gesa, buru - buru Rangga keluar dari rumah reyot itu dan berlari, berharap masih bisa mengejar bus yang berangkat pada pukul tujuh lewat dua puluh tiga menit. Rangga menyayangkan ia tidak bisa berbincang - bincang banyak dengan nenek tadi. Mau bagaimana lagi, ia punya prioritas lain yang harus ia utamakan. Sebelum berbelok, sekali lagi Rangga berbalik melihat rumah nenek tadi. Ia berusaha mengingat - ngingat letak rumah tersebut, agar ia bisa berkunjung lagi suatu saat nanti. Setelah menatap rumah tersebut selama beberapa detik, Rangga kembali berbalik dan berlari menyusuri tiap belokan dan jalan sempit. Tanpa Rangga ketahui, rumah nenek tadi tiba - tiba saja menghilang, menguap begitu saja bagikan tetesan air yang menguap ke langit. Yang tersisa hanya sebuah lahan kecil tempat pembuangan sampah warga. Seiring menghilangnya rumah nenek tadi, barulah orang - orang mulai terlihat dan beberapa kali Rangga berpapasan dengan ibu - ibu, bapak - bapak, maupun anak - anak. Namun, karena sedang terburu - buru, Rangga tidak menyadari keanehan tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN