Mata Kaila ikut menelusuri apa yang tengah kakaknya lihat sehingga raut wajahnya begitu berbeda. Meskipun usianya lebih muda, pandangan Kaila tidaklah lebih baik dari kakaknya. Ia memiliki pandangan yang kurang baik jika matahari sudah turun. Matanya menyipit berusaha melihat lebih jelas dua garis seperti noda besar yang bergerak ke arahnya. Bayangan samar itu semakin mendekat, begitu juga dengannya dan kakaknya yang semakin mendekat.
Setelah jarak mereka hanya tersisa beberapa meter saja, barulah Kaila bisa melihat dengan jelas sesuatu yang pada awalnya ia lihat sebagai dua garis noda besar, lalu menjadi dua buah bayangan samar yang bergerak, dan barulah tampak dua orang laki - laki dan perempuan datang ke arah mereka.
Selagi menceritakan kejadian yang terjadi pada mereka berdua sewaktu kecil, pandangan Adelia lurus ke depan, melihat sosok yang tampak familiar baginya. Tanpa mencoba menebak, Adelia memilih untuk menunggu jarak mereka semakin mendekat dan mungkin akan berpapasan. Jalanan yang dua orang di hadapannya lewati tidak ada lampu penerang jalan yang hidup. Hanya tersisa tiang - tiang lampu yang masih tegak berdiri dengan banyak poster iklan dan juga coret - coretan pada bagian bawah yang bisa dijangkau oleh orang - orang. Penerangan yang ada hanya dari cahaya remang - remang lampu berwarna kuning dari toko - toko yang sudah tutup.
Mereka semakin mendekat, langkah kaki Rangga berhenti begitu jarak mereka hanya terpaut dua meter, Kaila juga ikut berhenti, begitu juga dua orang yang ada di depannya.
“H-hei,” , sapa Rangga lebih dulu, “Kalian baru pulang?”
Kaila mencoba membaca situasi yang sedang terjadi. Ia melihat ke arah mana tatapan kakaknya menuju. Adelia, tentu saja. Namun Kaila masih tidak mengenal dan tidak mengetahui hubungan Adelia dengan kakaknya. Satu hal yang ia ketahui pasti, kakaknya terlihat tidak senang melihat kedua orang yang berdiri di depannya. Entah mana yang membuat kakaknya menjadi tidak senang, kedua orang tersebut atau kebersamaan mereka. Kaila tidak begitu yakin.
“H-hei~, iya.” , jawab Adelia singkat seraya tersenyum kecut.
Mata Adelia bertemu dengan mata Kaila yang tengah menatapnya dengan begitu sengit yang membuatnya bergidik ngeri. Padahal tanpa ia ketahui, Kaila sedang berusaha melihat wajahnya dengan lebih jelas karena pandangannya berkurang.
Tidak ingin terlibat kontes tatap mata dengan Kaila, Adelia kembali beralih pada Rangga, “Kau sedang berjalan - jalan malam?” , tanya Adelia basa - basi.
“Iya. Hanya mengantarkannya ke depan sebentar.” , jawab Rangga memaksakan diri untuk tersenyum.
Dira di sana hanya diam saja. Tidak membuka mulutnya sama sekali. Matanya bertemu juga dengan mata Kaila yang menatap sengit padanya. Hanya saja ia tidak seperti Adelia, ia malah balas menatap sengit Kaila.
"Kalau begitu.. mari." , ujar Adelia berpamitan lebih dulu.
Ia merasa tidak ada lagi yang harus ia katakan. Meskipun dalam hatinya ia ingin tahu siapa perempuan yang ikut bersamanya, tetapi karena ia tidak siap untuk menerima jawaban yang mungkin akan menyakitinya, ia mengurungkan niatnya.
Rangga menganggukan kepalanya sekali sebagai jawaban dan menyingkir ke sisi untuk mempersilahkan Adelia dan Dira pergi lebih dulu. Trotoar yang mereka tapaki tidak cukup besar untuk mereka berempat berjalan berdampingan saat berpapasan.
"Siapa kak?" , tanya Kaila menegur kakaknya yang masih terus menatap ke arah Adelia.
"Teman sekelas." , jawab Rangga singkat.
Matanya masih terfokus menatap samar punggung Adelia yang semakin menjauh. Hati kecilnya meringkuk pada sudut ruangan dalam dirinya karena pemandangan yang ia lihat.
Salah satu hal yang tidak ia sukai adalah dibuat menyerah sebelum mencobanya sama sekali. Pertemuannya yang baru saja terjadi beberapa sat lau tidak pernah ia duga ataupun ia rencanakan sebelumnya. Apakah ini sebuah peringatan? Atau hanya rintangan awal saat perlombaan baru saja dimulai? Rangga sadar, dua pertanyaan itu tidak bisa ia dapatkan jawabannya sebelum ia tahu apa yang terjadi pada seseorang yang ia sukai untuk pertama kalinya dengan teman sekelasnya yang tidak pernah ia sangka akan terlibat dengannya.
Sebagai seorang perempuan, Kaila memiliki insting yang kuat. Termasuk untuk kejadian yang baru saja terjadi. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi diantara mereka bertiga. Tetapi ia masih tidak bisa memastikan apakah itu sebuah cinta segitiga atau hanya kesalahpahaman belaka. Sayangnya, Kaila tidak bisa melihat dengan jelas wajah dua orang dihadapannya tadi, selain karena penglihatannya yng kurang baik di malam hari, posisi Adelia dan Dira yang berdiri membelakangi cahaya lampu yang ada sehingga ia tidak bisa membaca raut wajah keduanya.
"Apa mereka berpacaran?" , tanya Kaila asal.
Rangga langsung melotot pada adiknya itu, "A-apa? Pacaran?!" , Rangga tidak senang begitu mengetahui bukan dirinya saja yang berpikiran seperti itu.
"Kau ini..!" , Rangga kembali merangkul bahu adiknya dan menariknya pergi dari sana, "Masih kecil tahu apa soal pacar-pacaran? Darimana kau belajar kata itu, hah? Teman - teman sekolahmu, ya? Apa mereka juga mengajarkanmu cara melakukannya?" , tanya Rangga megninterogasi Kaila seakan - akan adiknya itu telah menyebutkan sesuatu yang begitu tabu.
"Aduh, kak! Lepas, kak! Aku mendengarnya dari teman - temanku! Aku tidak berpacaran, kok!" , tukas Kaila mencoba melepaskan dirinya lagi dari apitan lengan kakaknya.
Mendengar samar - samar keributan di belakangnya, Adelia memutuskan untuk melihat sebentar. Kepalanya menengok sebentar ke belakang dan mendapati Rangga sudah berjalan menjauh dengan perempuan yang bersamanya ia rangkul begitu erat sehingga perempuan tersebut meronta - ronta minta dilepaskan.
Adelia begitu iri melihatnya. Tidak sanggup rasanya untuk melihat lebih lama. Ia kembali menatap ke depan atau lebih tepatnya pada jalanan di hadapannya. Pikirannya kembali pada ingatan sore tadi saat sandiwara yang Rangga lakukan padanya, ia merasa begitu rendah. Sebelumnya, ia memandang Rangga sebagai seorang laki - laki yang begitu menawan. Tidak hanya dalam segi penampilan, kepribadiannya pun demikian. Tetapi setelah melihat pemandangna di belakangnya, ia membuang semua kesannya yang sebelumnya.
Dalam hatinya ia menyalahkan dirinya sendiri yang telah membiarkan dirinya jatuh begitu mudah pada sosok Rangga. Padahal menurut apa yang ia lihat barusan, hati kecilnya langsung menyumpahi Rangga dengan sebutan 'hati singa'.
'Hati singa' disini bukan sebuah sebutan yang sama dengan yang dimiliki oleh Richard I dari Inggris yang mendapat julukan 'hati singa' karena sikap ksatria dan kehebatannya dalam Perang Salib Ketiga yang terjadi pada abad ke dua belas atau lebih tepatnya pada tahun seribu seratus delapan puluh sembilan sampai tahun seribu seratus sembilan puluh dua, karena sikapnya yang begitu pemberani itulah yang membuatnya menjadi raja yang populer di masanya. 'Hati Singa' yang Adelia maksudkan adalah seperti singa yang tidak cukup hanya dengan satu betina. Ia merasa dipermainkan.
Tidak ada pembicaraan lagi diantara Adelia dan juga Dira. Mereka sama - sama diam. Adelia masih berlarut dalam pikirannya tentang Rangga. Sementara Dira di sampingnya, tanpa ia ketahui, sesekali melirik ke arahnya. Tidak ada ekspresi, hanya sebuah lirikan dari sudut matanya saja. Dira bisa menebak Adelia pasti tengah memikirkan sesuatu tentang Rangga.
Pada malamnya, baik Rangga maupun Adelia sama - sama tidak bisa tidur. Pikiran mereka masih belum selesai memikirkan satu sama lain. Mencoba mencari posisi tidur yang nyaman, berguling ke kanan, berguling ke kiri, menutupkan bantal ke wajah, telentang seperti bintang laut, semua posisi sudah mereka coba, tetapi masih belum cukup untuk membuat pikiran mereka teralihkan.
“Aish! Pergilah dari pikiranku!” , keluh mereka bersamaan di tempat masing - masing.