BAB SEPULUH : TERUS TERANG (part 5)

1789 Kata
“Angin. Angin di luar begitu dingin. Jadi aku masuk.” , jelas Adelia mencoba menghapus rasa canggungnya. Dira mengernyitkan dahinya dan melangkahkan kakinya keluar. Setelah sepuluh langkah maju, ia sudah sampai di sisi jalan raya depan tokonya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba merasakan angin yang Adelia maksud. Adelia ikut menyusul ke luar namun hanya sampai di depan pintu, memperhatikan Dira. Hanya berdiri diam beberapa saat, Dira tidak merasakan angin yang Adelia katakan sebelumnya. Padahal Dira sedang tidak menggunakan pakaian tebal dan hanya memakai kaos tipis pendek berwarna hitam yang sudah mulai pudar. Ia menengok ke kanan dan ke kiri untuk memeriksa sesuatu yang mungkin bergerak karena angin. Namun tidak ia dapati hal itu dari pohon - pohon Ketapang Kencana yang ada di sisi - sisi jalan itu bergerak sedikitpun. Pohon yang ada tiap lima meter sepanjang jalan itu memiliki ranting ramping yang tumbuh lurus. Daun - daun kecilnya subur bergerombol seperti membentuk payung, sehingga sekecil apapun angin yang lewat, ranting kecil dan juga daun - daun yang menempel padanya, akan bergerak. Tetapi saat ini, pohon - pohon rindang tersebut tenang, diam, tidak bergerak sama sekali. Dira berbalik dan matanya saling bertemu dengan Adelia yang berdiri di depan pintu. Ia menatap Adelia dengan tatapan datar seakan mengatakan -dimana angin yang kau bicarakan?- Adelia bisa menangkap apa yang Dira katakan melalui sorot matanya, “Aku tidak bercanda. Tadi benar - benar ada angin besar.” , ujar Adelia membela diri. Dira menghela nafas dan menggeleng. Ia tidak ingin melanjutkan pembicaraan soal angin lagi. Kakinya melangkah pergi ke arah kiri, beberapa langkah ke depan langkahnya terhenti dan kembali berbalik menatap Adelia. “Kau tidak pulang?” , tanya Dira. “Pulang. T-tentu saja.” , jawab Adelia sedikit gugup. Dalam hati, Adelia merasa takut untuk pulang seorang diri. Meskipun ia mengendarai sepeda, rasa takut dan khawatir itu masih ada. Dalam pikirannya, skenario ia sedang mengendarai sepedanya di jalanan yang sepi dan gelap lalu seseorang menarik sepedanya hingga membuatnya tersungkur dan kemudian melakukan sesuatu yang jahat padanya terus - terusan mengiang - ngiang dalam pikirannya. Dira menatapnya sesaat sebelum melanjutkan langkah kakinya. Rupanya ia pergi ke sisi kiri toko milik ibunya. Ia menghilang di balik kegelapan yang ada pada lorong kecil yang menjadi pembatas toko dengan gedung sebelah, lalu beberapa saat kemudian muncul dengan menuntun sepeda miliknya. Adelia yang sejak tadi memperhatikan terkejut. Ia mengira Dira akan mengeluarkan motornya, tetapi yang ia lihat saat ini sungguh menimbulkan pertanyaan sekaligus memberikan secercah cahaya padanya. Ia tidak akan pulang sendirian. “Kau.. kemana motormu?” , tanya Adelia. “Masuk bengkel. Aku baru akan mengambilnya besok.” , jawabnya singkat tanpa menatap Adelia. Adelia mengangguk mengerti. Sedetik kemudian kedua sudut bibirnya tertarik ke atas sedikit, ia senang dirinya tidak akan pulang sendirian malam ini. Senang rasanya bisa pulang ke rumah dengan tenang dan tanpa harus merasa was - was. Meskipun sikap Dira yang dingin membuatnya terlihat sedikit menakutkan, setidaknya itu lebih baik daripada skenario yang ada dalam pikiran Adelia. Dira berhenti. Ia menoleh pada Adelia, “Kau tidak pulang sekarang?” , tanyanya yang terdengar seperti kalimat perintah. “I-iya. Aku akan pulang sekarang. Tunggu aku!” Segera Adelia berlari kecil menuju tempat ia memarkirkan sepedanya dan langsung menaikinya untuk menyusul Dira yang sudah berjalan pergi lebih dulu. Begitu ia sudah sejajar dengan Dira, Adelia berhenti, turun, dan menuntun sepedanya sama seperti Dira. “Apa yang terjadi dengan motormu?” , tanya Adelia memulai pembicaraan. Dira menelan ludahnya berat, matanya berkedip gugup, “Sesuatu terjadi saat pulang sekolah tadi. Jadi aku membiarkannya di bengkel untuk sementara.” , katanya. Tanpa Adelia ketahui, sebenarnya Dira berbohong tentang keadaan motornya. Dira sengaja menitipkan motornya pada salah satu teman terpercayanya agar ia bisa menemani Adelia pulang. Untuk memastikan perjalanan pulang Adelia aman, namun tidak ingin Adelia tahu ia sengaja melakukannya. “Bengkel mana? Bagaimana kau bisa dengan tenang menitipkan motormu begitu saja?” Mungkin saat ini Dira ingin mengurungkan niatnya sebelumnya. Adelia benar - benar banyak bicara dan banyak tanya. Tidak seperti Adelia saat di sekolah. “Bengkel itu punya temanku. Jadi aku tidak perlu khawatir.” “Teman? Teman yang mana?” , tanya Adelia terus berlanjut. Demi Tuhan, jika Adelia bukan sepupunya dan bukan seseorang yang ia sayang, ingin sekali Dira meninggalkannya saat ini juga. Ia tidak menyangka Adelia akan membuatnya berbohong begitu dalam seperti ini. Rencananya ia hanya akan berbohong secara samar saja dan tidak mendetail seperti yang ia lakukan sekarang ini. Siapa yang menyangka Adelia akan bertanya dan terus menggali sedalam ini. “Ada, temanku. Kau tidak mengenalnya.” , jawab Dira ingin segera menyelesaikan wawancara dadakan ini. Adelia diam sejenak, matanya memejam dengan erat tanda ia sedang mencoba menggali sesuatu dalam ingatannya, “Temanmu yang waktu itu? Iya?” , katanya. Dira menoleh pada Adelia dan menaikan satu alisnya, mencoba mengisyaratkan tanda tanya dalam pernyataan Adelia dengan raut wajahnya. “Anu.. Temanmu. Yang waktu itu.”, jelas Adelia mencoba memberitahu apa yang ada dalam ingatannya, “Kau tahu, yang datang untuk menjemputmu pada waktu itu..” Dira menerawang untuk menebak yang Adelia maksud, “Ah. Tidak, bukan dia.” , katanya. “Ooh..” , mulut Adelia membulat oval. Dira bernafas lega, pada akhirnya wawancaranya dengan Adelia selesai. Hening. Tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka selama beberapa saat. Hanya suara hingar - bingar lalu lalang kendaraan yang lewat dan suara langkah kaki mereka yang terdengar semakin jelas saat tidak ada kendaraan yang lewat. Satu hal yang patut menjadi pertanyaan tetapi tidak dipertanyakan oleh mereka adalah, untuk apa mereka membawa sepeda jika pada akhirnya mereka akan berjalan kaki sambil menuntunnya? Adelia? Tentu saja Adelia hanya mengikuti Dira. Tidak mungkin ia pergi lebih dulu, itu sama saja ia pulang seorang diri. Dira? Ban sepedanya tidak bocor, rantai sepedanya juga masih di tempatnya menyatu saling berkaitan dengan sempurna. Alasan yang paling mungkin ia miliki adalah ingin menikmati udara malam atau memang ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Adelia. “Bibi--” “Ibuku--” , ujar mereka bersamaan. Keduanya kembali terdiam. Adelia tersenyum geli. Ia tidak bisa mengerti mengapa dirinya dan Dira bisa bicara dengan waktu bersamaan ditambah lagi mengatakan satu hal yang sama. “Maaf, kau dulu.” , kata Adelia mempersilahkan Dira untuk bicara lebih dulu. “Tidak. Kau dulu.” , elak Dira. Dirinya sedang mencoba menerapkan perannya sebagai laki - laki sekaligus sepupunya yang usianya lebih tua meskipun status ibunya adalah adik dari ayahnya Adelia. ‘Tidak, tidak. Kau dulu saja.” , Adelia juga mengelak. Ia tahu betul Dira jarang bicara, terutama pada dirinya. Itu sebabnya ia tidak ingin menyia - nyiakan kesempatan ini. Ia tidak tahu kapan lagi Dira akan memulai lebih dulu untuk bicara dengannya. “Tidak. Kau saja.” “Kau saja, Dira. Tadi mau bilang apa?” Dira menyerah. Sejak awal memang seharusnya ia tidak mencoba melawan Adelia dalam hal ini. Ia tahu betul Adelia tidak akan kalah jika berdebat soal siapa yang harus bicara lebih dulu. Sudah beberapa kali terjadi sebelumnya, dan ia baru mengingatnya sekarang. “Ibuku.. Apa membuat masalah lagi?” , tanya Dira. Adelia menoleh untuk melihat raut wajah Dira. Wajahnya tampak serius seperti biasanya. Mungkin jika matanya lebih besar lagi akan terlihat sangat menakutkan seperti preman - preman yang biasa Adelia lihat di pasar - pasar dan juga terminal besar. Kedua mata sipit tanpa kelopak mata ganda juga bibir tipis itu lah yang membuatnya terlihat seperti orang yang selalu serius. Dalam hati Adelia, ia merasa bimbang. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya? Atau ia simpan saja untuk sendiri? Tetapi apa masalahnya jika ia memberitahukannya, toh Dira bukan seseorang yang akan langsung bertindak. Siapapun tahu betapa cueknya Dira. Bahkan kucing yang sering mampir untuk mencuri ikan di dapur bibinya pun tahu akan hal itu. “Kau tahu sendiri, hubunganku dengan bibi memang tidak begitu baik.” , balas Adelia. Ia mengurungkan niatnya untuk memberitahukan yang sebenarnya terjadi. Dira mendecih. Tanpa Adelia ketahui, Dira sudah tahu soal surat pemberitahuan dari bank. Sebab sebelum Adelia pulang, nenek mereka bertanya lebih dulu pada Dira. Ia tidak menyangka Adelia akan tetap menyembunyikan hal ini darinya. Bagaimana bisa Adelia mengembannya seorang diri? Dira yakin Adelia juga pasti menyembunyikan hal ini dari nenek mereka. Tentu Adelia tidak ingin membuat asma pada neneknya kembali kumat. “Sampai kapan kau akan terus menyimpannya seorang diri?” , ujar Dira. Suara hatinya tersampaikan sampai ke bibirnya. “Hah? Apa maksudmu?” Dira menggeleng, “Tidak ada. Tadi kau mau bilang apa?” “Oh. Bukan apa - apa, sih. Hanya penasaran, bagaimana bibi pulang.” Dira mendongakkan kepalanya ke atas seraya tertawa garing. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa Adelia mengkhawatirkan bagaimana cara ibunya pulang setelah semua yang telah ibunya lakukan padanya. Adelia yang hanya menunggu jawaban pasti, tidak mengerti dengan respon Dira, “Kenapa kau tertawa?” “Haah! Kau ini memang sulit dimengerti.” , jawab Dira. Adelia semakin tidak mengerti. Memangnya ada yang salah dengan pertanyaannya? Atau maksud Dira dirinya terlalu bodoh karena telah menanyakan hal seperti itu? “Dia akan naik ojek.” , ucap Dira. “Ooh..” , balas Adelia dengan mulutnya yang membulat. Mereka terus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki disertai pembicaraan - pembicaraan kecil yang terjadi di antara mereka. Ini adalah hal yang jarang terjadi. Adelia membayangkan hal seperti ini akan terus mereka jalani sampai motor Dira sudah selesai diperbaiki. Meski ini mungkin akan terdengar sedikit jahat, ada sedikit rasa senang dan bersyukur dalam hati kecilnya akan motor Dira yang masuk bengkel. Selain memiliki teman yang menemaninya pulang, Adelia juga merasa mendapatkan kembali teman masa kecilnya yang sudah lama hilang. Rasanya ia kembali ke masa lalu saat ia masih berteman baik dengan Dira. *** Rangga dan adiknya, Kaila, masih dalam perjalanan mencari konter yang buka. Konter terdekat dari rumahnya sedang tutup. Mereka terpaksa mencari konter lain yang ada di sisi jalan raya. Mereka berjalan sambil bercerita hal - hal konyol dan tertawa bersama. Terutama Kaila yang terus - terusan tertawa mendengar cerita Rangga yang menceritakan kejadian konyol yang ia alami dengan teman - temannya. Itu adalah salah satu tema cerita yang paling Kaila sukai. Di tengah - tengah tawa mereka, Rangga melihat tak jauh dari tempatnya, dari arah yang berbeda, berjalan ke arahnya, Adelia bersama dengan Dira tengah berbincang - bincang sambil menuntun sepeda mereka masing - masing. Tawa dan wajahnya yang mengkerut karena tawanya, pudar seketika. Dalam hatinya seakan didatangi badai petir yang begitu menggelegar dan menyambar kesana kemari tak menentu arah. Belum pernah ia melihat Adelia yang seperti sekarang ini di sekolahnya. Rangga melihat wajah Adelia yang tertawa kecil saat Adelia dan Dira lewat tepat di bawah lampu penerang jalan yang mengeluarkan cahaya putih. Pemandangan itu membuat tenggorokannya tercekat. “Ada apa, kak?” , tanya Kaila di sampingnya yang bisa melihat dengan jelas perubahan raut wajah kakaknya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN