Ibunya membasahi ibu jari telunjuk kanannya untuk membuka satu halaman buku yang sedang dibacanya. Buku di tangannya msasih begitu baru, ia baru membelinya beberapa waktu lalu, “Keduanya menurut mam sama - sama kuat. Pada dasarnya mereka sama - sama manusia. Artinya kekuatan mereka tidak begitu jauh berbeda.” , katanya.
Rangga diam tidak menimpali lagi. Tetapi dari wajahnya nampak jelas ketidakpuasannya atas jawaban dari ibunya. Tentu ibunya menyadari itu, ia menutup bukunya dan membenarkan posisi duduknya menjadi lebih nyaman.
“Kau tahu, laki - laki dan perempuan memiliki kekuatan mereka masing - masing. Mungkin bagi laki - laki, hal - hal yang membutuhkan kekeuatan fisik adalah sesuatu yang tidak sulit. Namun, tidak dengan perempuan. Dari segi kekuatan fisik, mereka memang tidak sekuat laki - laki, tetapi dari segi mental.. Perempuan lebih kuat bertahan dibandingkan laki - laki." , jelas ibunya lagi, mencoba memberikan jawaban yang lebih memuaskan.
Rangga tidak menanggapi. Ia diam, mendengarkan, dan memikirkan.
“Yah, memang perempuan lebih sering menangis dibandingkan laki - laki. Tetapi memang itu cara mereak mengekspresikan apapun yang mereka rasakan. Rangga ingat tidak, dulu jika ada teman Rangga yang mengganggu saat sedang bermain, lalu Rangga kesal dan langsung menghajarnya? Itu bentuk pelampiasan emosi yang dirasakan Rangga saat itu. Coba lihat Kaila, sewaktu kecil, jika ada orang yang mengganggunya, dia akan menangis. Beda, kan?” , tambah ibunya.
Lagi - lagi Rangga tidak menanggapi. Ia masih diam mendengarkan dan memikirkan.
Ibunya tersenyum hangat. Senang saat melihat putranya mendengarkan perkataannya dengan sungguh - sungguh, “Apa kau pernah mendengar pepatah mengatakan ‘orang - orang menangis bukan karena mereka lemah, tetapi karena mereka telah sudah berusaha untuk kuat terlalu lama’, pernah dengar?”
Rangga menatap ibunya, menggeleng.
“Mama lupa pernah membaca pepatah itu dimana, yang pasti hal itu menunjukan bahwa wanita memang mudah untuk menangis, tetapi bukan berarti karena mereka lemah.”
“Tapi, ma,” , Rangga menanggapi, “Ada beberapa juga yang malah memanfaatkan tangisan itu sebagai senjata agar orang lain mengasihaninya, ma.”
Gelak tawa halus terdengar dari mulut ibunya begitu mendengar tanggapan dari putranya itu, “Hahaha, iya kau benar.”
“Benar ‘kan? Hal itu membuatku bingung, ma.” , tambah Rangga.
“Iya, iya. Memang ada beberapa orang licik yang memanfaatkan hal itu.” , ibunya menimpali.
Mereka kembali terdiam. Ibunya mengambil kembali bukunya dan melanjutkan kegiatan membacanya yang tertunda. Sedangkan Rangga termenung. Bayangan Adelia terus terputar dalam pikirannya. Bayangan ingatannya tentang Adelia yang sebelumnya beraturan sesuai dengan atmosfer yang ia rasakan, kini semakin bias, tidak beraturan, acak, hingga pada akhirnya hati kecilnya memutuskan ingin menjadi ksatria pelindungnya.
“Ma, sepertinya aku menyukai seseorang..”
“Hm?” , ibunya menoleh.
Belum sempat Rangga menjawab, sebuah bayangan datang melewati wajahnya. Itu adalah adiknya, Kaila, yang sudah jaket abu - abu dengan tudung yang menutupi badannya.
“Kau mau kemana?” , tanya Rangga dengan mata yang mengikuti gerak langkah adiknya.
Tanpa menatap sang kakak yang bertanya itu, ia melangkah turun ke jalan menuju garasi, “Mau beli pulsa.” , katanya.
Rangga langsung teringat pada informasi yang diberitahukan oleh ibu guru sejarahnya saat di sekolah tadi mengenai orang messum yang suka berkeliaran saat malam akhir - akhir ini. Tentu ia langsung tidak setuju adiknya pergi seorang diri, ditambah sekarang ini sudah malam.
“Tunggu! Aku ikut denganmu.” , sahut Rangga.
Ia meletakkan bukunya dan langsung menyusul adiknya itu.
“Kau ini tidak tahu bahaya di malam hari ya?” , omel Rangga seraya mengapit leher adiknya pada ketiaknya.
“Biasanya juga aku sendiri,” , protes Kaila, “Auh! Kakak! Jangan begini, dong!” , ia meronta - ronta berusaha lepas dari apitan kakaknya yang lebih tinggi darinya itu.
Tetapi tinggi badan Rangga yang seratus tujuh puluh lima itu tidak sebanding dengan tingginya yang baru menyentuh angka seratus lima puluh empat. Tentu saja dengan proposi tubuh kakaknya yang lebih tinggi dan lebih besar darinya itu, ia tidak bisa melepaskan diri begitu saja.
“Aku harus melakukan ini agar kau tidak kabur.” , balas Rangga sambil tersenyum senang. Ia terus mengapit adiknya meskipun mereka sudah keluar pagar.
Ibu mereka hanya melihat kelakuan kedua anaknya itu dengan tertawa renyah seraya menggeleng - gelengkan kepalanya.
“Mereka ini.. Tidak berubah sejak dulu.” , katanya di sela - sela tawanya.
“Kakak ih lepaskan! Lepas!” , ronta Kaila tidak bisa diam berusaha lepas dari apitan lengan kakaknya.
Merasa sudah cukup puas menjahili adiknya, Rangga pun melepaskan. Kaila langsung menjauh menjaga jarak dari kakaknya. Rambutnya yang sudah ia tata rapi sebelumnya, sekarang sudah kembali acak - acakan seperti baru saja terkena badai, tetapi dimana ada badai di malam cerah seperti ini. Pelaku yang melakukannya hanya cengengesan berjalan di sampingnya.
Kaila menyisir - nyisirkan lagi rambutnya dengan tangannya, berharap bisa kembali seperti semula, “Kakak ini kenapa sih? Tidak biasanya seperti ini. Lagipula tempat membeli pulsanya dekat. Tidak sejauh ke sekolahku.” , tanya Kaila yang sekaligus mengeluh.
“Kau ini tidur saat guru memberikan informasi padamu ya?” , Rangga mengubah posisinya menjadi di sisi kiri Kaila atau lebih tepatnya berada tepat di sisi jalan raya, “Memangnya di sekolahmu tidak memberikan peringatan soal orang m***m yang suka menunjukan k*********a?”
Kaila langsung membelalakan matanya terkejut sekaligus bergidik ngeri, “Benarkah kak?” , Kaila merapat lebih dekat dengan kakaknya, “Ada orang seperti itu di lingkungan kita?” , tanya Kaila dengan mata membulat.
Rangga menarik hidung adiknya itu gemas lalu menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri, “Iyaa~ Makanya kau jangan sekali - kali berani keluar malam sendirian.” , peringat Rangga kemudian melepaskan tangannya dari hidung adiknya.
“Aku mana tahu. Mungkin aku sedang ke kamar mandi saat guruku memberikan informasi itu.” , ujar Kaila beralasan.
‘Auh! Kau ini! Malah pergi disaat yang penting. Coba kutebak, setelah itu kau justru terus di ruang kelas sampai waktunya pulang, ya kan?”
Yang ditanya malah nyengir lebar hingga matanya tertutup sebagai jawaban iya.
Rangga hanya bisa menghela nafasnya. Ia tidak bisa mengerti mengapa adiknya begitu polos dan lugu, atau lebih tepatnya, ia ingin menyebutnya bodoh.
Malam itu begitu cerah. Rangga mendongak ke atas, matanya langsung bertemu dengan rembulan yang malam ini terlihat begitu besar dan bersinar. Ia sudah melihatnya sebelumnya saat duduk bersama ibunya tadi, tetapi untuk melihat yang kedua kalinya, menurutnya yang kali ini pemandangannya lebih menakjubkan. Mungkin karena saat ini pandangannya begitu luas tanpa ada yang menghalangi, tidak seperti tadi saat ia melihatnya dari teras depan rumahnya.
Saat memperhatikan sosok bulan tersebut lebih lama, Rangga merasa betapa tulusnya bulan tersebut. Disaat orang - orang membanding - bandingkan sosoknya dengan matahari yang jelas akan memenangkan pilihan di hati orang - orang, Rangga merasa bulan sama mulianya seperti sang mentari. Memang pada kenyataannya ia tidak bisa mengeluarkan cahaya sendiri dan hanya bisa memantulkan cahaya dari matahari, tetapi tanpanya malam akan sangat gelap.
Mungkin jika hal itu terjadi, tidak akan ada yang berani berjalan sendirian di malam hari, pikirnya.
Jika bulan benar - benar tidak ada, malam akan menjadi sangat mencekam. Tidak lagi ada malam yang indah karena sosoknya yang ikut meramaikan kanvas langit malam yang dihiasi bintang - bintang yang bertaburan. Rangga memberikan sebuah senyum manisnya pada bulan yang bersinar di atasnya, berterima kasih dengan tersirat.
Seakan malu - malu karena telah disenyumkan oleh Rangga, tiba - tiba saja angin malam yang tiba - tiba datang, ikut meniup awan yang ada untuk menutupi bulan tersebut. Pada awalnya hanya menyisakan separuh bagian dari bulan yang masih bisa terlihat, kini semua bagian tertutup oleh awan, dan hanya terlihat cercah - cercah cahayanya yang masih terlihat muncul dari balik awan yang menutupinya.
Meski telah diterangi oleh lampu - lampu yang ada di sisi jalan, suasana malam tetap terlihat menjadi lebih gelap karena cahaya dari bulan telah tertutup. Rangga langsung teringat pada Adelia yang bekerja sampai malam. Hatinya tergerak untuk datang sekedar untuk memeriksa, tetapi sedetik kemudian ia ingat disana juga ada Dira, teman sekelasnya. Mengingat kedekatan mereka dari sepenglihatannya, perasaan tidak suka muncul dalam hatinya. Namun, disisi lain ia merasa lega setidaknya ada seseorang yang bisa menemaninya pulang hari ini. Keselamatan Adelia untuk saat ini menjadi prioritasnya, tidak peduli Adelia ditemani oleh Dira atau laki - laki lain yang tanpa ia ketahui lebih dekat darinya.
“Kakak sedang memikirkan apa?” , tanya Kaila menginterupsi lamunannya, “Kenapa wajah kakak terlihat murung begitu?”
“Hm?” , Rangga menoleh pada adiknya, “Tidak ada.” , katanya singkat diakhiri dengan senyuman sebelum kembali menatap lurus ke depan.
“Apa sih kakak ini.. Jelas terlihat sedang murung begitu, masih tidak mau mengaku.” , gerutu Kaila menggeser tubuhnya ke samping, menjaga jarak dengan kakaknya.
***
Jam pada ponsel Adelia sudah menunjukkan waktu delapan lewat dua puluh lima menit dan toko sudah tutup beberapa saat yang lalu. Biasanya, Adelia akan pulang lebih awal karena ia menggunakan sepeda. Tetapi begitu ia melangkahkan kakinya keluar toko, angin malam dan juga pemandangan awan - awan yang menyelimuti bulan, membuat semuanya menjadi terlihat begitu mencekam.
Angin dingin menyapa kulit Adelia membuatnya merinding kedinginan. Angin terus bertiup seolah - olah menyuruh Adelia masuk kembali ke dalam toko. Baru saja menggenggam gagang pintu erat - erat, seseorang dari dalam menarik pintunya yang membuat Adelia ikut terbawa masuk ke dalam dan bertabrakan tubuhnya menabrak orang yang membuka pintu. Rupanya itu adalah Dira yang baru saja hendak keluar.
Mereka sama - sama terkejut. Beruntung Adelia sempat menghadang dengan tangannya sehingga badannya tidak benar - benar bertabrakan dengan badan Dira. Hal ini ia pelajari dari insiden serupa yang terjadi padanya dengan Rangga di dalam bus beberapa pekan lalu.
Adelia mundur beberapa langkah untuk melihat dengan benar orang yang bertabrakan dengannya.
"Kau ini kenapa?" , tanya Dira terdengar ketus. Sangat berbeda dengan Rangga.